Implikasi Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Alif Sayyidul Qadr
Sejalan dengan pemberlakuan UU RI
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang telah diundangkan pada tanggal 17 Oktober
2014 yang lalu ternyata memancing perebatan dan diskursus oleh perbagai segmen baik dari pengamat hukum, pemerhati hukum, penegak hukum, akademisi hingga praktisi-praktisi hukum tentang gugurnya kapasitas penyidik
dalam menilai suatu perbuatan termasuk dalam ranah penyalahgunaan wewenang
karena telah beralih kepada Pengadilan Tata Usaha Negara untuk diuji terlebih
dahulu.
Apakah benar demikian adanya?
Setidaknya orang-orang yang
berkesimpulan demikian mengambil pengertian tersebut dari bunyi ketentuan Pasal
21 ayat (1) UU Administasi Pemerintahan tersebut, yaitu sebagai berikut :
Pengadilan berwenang menerima,
memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang
dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan
Sedangkan yang dimaksud dengan
Pengadilan pada ayat di atas dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 18 UU
yang sama, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara.
Frasa menyalahgunakan kewenangan/
penyalahgunaan wewenang dapat kita temukan dalam rumusan Pasal 3 UU PTPK, yang
bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut :
Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dengan demikian unsur “menyalahgunakan
kewenangan” sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diartikan memiliki pengertian
yang sama dengan “penyalahgunaan kewenangan” sebagaimana disebut dalam Pasal 21
ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, atau
lebih jauh lagi bahwa ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun
2014 tersebut dianggap telah mencabut kewenangan yang dimiliki penyidik dalam
melakukan penyidikan dalam rangka mengetahui apakah telah terjadi
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh seorang tersangka selaku pejabat
pemerintahan yang mana menurut hal tersebut seharusnya menjadi objek untuk
diuji terlebih dahulu di Peradilan Tata Usaha Negara.
Sesungguhnya diskursus ini hanya
mengulang kembali perdebatan lama di antara para ahli hukum tentang adanya
keterkaitan antara hukum administrasi negara dengan hukum pidana yang dalam hal
ini khususnya mengenai tindak pidana korupsi. Keterkaitan tersebut menimbulkan
kesulitan dalam membedakan kapan seorang aparatur negara itu melakukanperbuatan melawan hukum yang
masuk dalam ruang lingkup hukum pidana dan kapan dapat dikatakan melakukan penyalahgunaan wewenang yang
masuk dalam ruang lingkup hukum administrasi negara.
Penyalahgunaan kewenangan mempunyai karakter atau ciri :
1.
Menyimpang dari tujuan atau maksud
dari suatu pemberian kewenangan;
2.
Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam
kaitannya dengan asas legalitas;
3.
Menyimpang dari tujuan atau maksud
dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik;
Secara substansial, asas spesialitas
(specialialiteit beginsel)
mengandung makna bahwa setiap kewenangan memiliki tujuan tertentu. Penyimpangan
terhadap asas ini akan melahirkan penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir). Parameter
peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik
dipergunakan untuk membuktikan instrumen
atau modus penyalahgunaan kewenangan (penyalahgunaan kewenangan
dalam Pasal 3 UUPTPK), sedangkan penyalahgunaan kewenangan baru dapat
diklasifikasikan sebagai tindak pidana apabila berimplikasi terhadap kerugian
negara atau perekonomian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap,
gratifikasi, dan pemerasan), Tersangka mendapat keuntungan, masyarakat tidak
dilayani, dan perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela.
Pada kenyataannya, tanpa bermaksud
untuk ikut larut dalam perdebatan akademis tersebut, sesungguhnya hukum pidana
menganut prinsip “personal responsibility” yang artinya tanggung jawab pidana
adalah tanggung jawab pribadi. Hal ini secara langsung telah memberi garis
batas yang jelas dalam hal ditemukan adanya “wilayah abu-abu” dalam peririsan
antara hukum administrasi dengan hukum pidana. Pada hukum administrasi berlaku
prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan), sedangkan dalam hukum
pidana berlaku prinsip pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility).
Dalam hal ini penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparatur negara
dengan tujuan-tujuan yang tidak dibenarkan dan khususnya untuk tindak pidana
korupsi penyalahgunaan wewenang tersebut mengakibatkan kerugian negara atau
perekonomian negara maka hal tersebut merupakan perbuatan melawan hukum yang
dipertanggung jawabkan secara pribadi dan masuk ruang lingkup hukum pidana.
Untuk memberi kesimpulan yang jelas
bahwa pengertian “penyalahgunaan wewenang” sebagaimana termuat dalam ketentuan
Pasal 3 UUPTPK tidak bisa ditafsirkan secara paralel melalui ketentuan di luar
hukum pidana marilah kita simak Putusan Mahkamah Agung RI No. 979 K/Pid/2004
yang mana salah satu pertimbangannya berbunyi sebagai berikut :
Menimbang,
bahwa sehubungan dengan unsur tindak pidana tersebut, terlebih dahulu perlu
dikemukakan pendapat-pendapat Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H. dalam
makalahnya “Antara Kebijakan Publik” (Publiek Beleid, Azas Perbuatan Melawan
Hukum Materiel dalam Prespektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia)” yang pada
pokoknya adalah Pengertian “menyalahgunakan wewenang” dalam hukum pidana,
khususnya dalam tindak pidana korupsi tidak memiliki pengertian yang
eksplisitas sifatnya. Mengingat tidak adanya eksplisitas pengertian tersebut
dalam hukum pidana, maka dipergunakan pendekatan ektensif berdasarkan doktrin
yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen tentang kajian “De Autonomie van het Materiele Strafrecht” (Otonomi dari
hukum pidana materiel). Intinya mempertanyakan apakah ada harmoni dan
disharmoni antara pengertian yang sama antara hukum pidana, khususnya dengan
Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara dimana kita memberikan pengertian
dalam Undang-Undang Hukum Pidana dengan isi lain mengenai pengertian yang sama
bunyinya dalam cabang hukum lain, ataupun dikesampingkan teori, fiksi dan
konstruksi dalam menerapkan hukum pidana pada cabang hukum lain. Kesimpulannya
dikatakan bahwa mengenai perkataan yang sama, Hukum Pidana mempunyai otonomi
untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam
cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika hukum pidana tidak menentukan lain,
maka dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Dengan
demikian apabila pengertian “menyalahgunakan kewenangan” tidak ditemukan
eksplisitasnya dalam hukum pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan
pengertian dan kata yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum
lainnya;, sebagai suatu cabang hukum lainnya. Di sini akan diupayakan
keterkaitan pengertian yang sama bunyinya antara cabang ilmu hukum pidana
dengan cabang ilmu hukum lainnya. Apakah yang dimaksud dengan disharmoni dalam
hal-hal