PEMBUKTIAN DAN ALAT-ALAT BUKTI PERKARA PERDATA
oleh : Alif Sayyidul Qadr
oleh : Alif Sayyidul Qadr
A. Umum
Hukum pembuktian (law of evidence) dalam
berperkara merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses litigasi.
Keadaan kompleksitasnya makin rumit, karena pembuktian berkaitan dengan
kemampuan merekonstruksi kejadian peristiwa masa lalu dan suatu
kebenaran (truth).
Kesulitan mengungkap kebenaran dalam proses pembuktian karena alat bukti mengandung:
- adanya dugaan dan prasangka;
- faktor kebohongan;
- unsur kepalsuan.
B. Prinsip Umum Pembuktian
Prinsip umum pembuktian
adalah landasan penerapan pembuktian. Semua pihak termasuk hakim harus
berpatokan yang digariskan prinsip tersebut. Memang di samping itu masih
terdapat lagi prinsip-prinsip khusus yang berlaku untuk setiap jenis
alat bukti, sehingga harus juga dijadikan patokan dalam penerapan sistem
pembuktian.
1. Mewujudkan Kebenaran Formil (Formeel Waarheid)
Sistem pembuktian yang dianut Hukum Acara Perdata, tidak bersifat stelsel negatif menurut UU (negatief wettelijk stelsel),
seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian
kebenaran dengan alat bukti sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
dan didukung keyakinan oleh hakim ─ atau disebut mencari kebenaran
materiil ─ (beyond a reasonable doubt). Hukum acara perdata pada
prinsipnya ”Mencari Kebenaran Formil”, meskipun demikian Mahkamah Agung
dalam Putusan No. 3136 K/Pdt/1983, menegaskan bahwa pengadilan dalam
mengadili perkara perdata tidak dilarang mencari dan menemukan kebenaran
materil. Namun apabila kebenaran materil tidak ditemukan dalam
peradilan perdata, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan
kebenaran formil.
Dalam rangka mencari kebenaran formil, hakim perlu memegang prinsip sebagai berikut:
Tugas dan Peran Hakim Bersifat Pasif
Hakim hanya terbatas menerima
dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan penggugat dan
tergugat. Oleh karena itu, fungsi dan peran hakim dalam proses perkara
perdata, hanya terbatas mencari dan menemukan kebenaran formil, yang
kebenaran itu diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang
diajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung.
Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta
Hakim tidak dibenarkan
mengambil putusan tanpa pembuktian. Kunci ditolak atau dikabulkannya
gugatan, mesti berdasarkan pembuktian yang bersumber dari fakta-fakta
yang diajukan para pihak. Pembuktian hanya dapat ditegakkan berdasarkan
dukungan fakta-fakta, sehingga pembuktian tidak dapat ditegakkan tanpa
adanya fakta-fakta yang mendukungnya (Vide Putusan MA No.2775
K/Pdt/1983).
2. Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Pekara
Pada prinsipnya, pemeriksaan
perkara sudah berakhir apabila salah satu pihak memberikan pengakuan
yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok perkara. Apabila tergugat
mengakui secara murni dan bulat atas materi pokok yang didalilkan
penggugat, dianggap perkara yang disengketakan telah selesai, karena
dengan pengakuan itu telah dipastikan dan diselesaikan hubungan hukum
yang terjadi antara para pihak. Namun menurut Putusan MA No. 288
K/Sip/1973, bahwa pengakuan yang diberikan tidak benar, hakim berwenang
menilai apakah pengakuan tersebut mengandung kebenaran atau kebohongan.
Patokan dari sebuah pengakuan tergugat adalah sebagai berikut:
- pengakuan yang diberikan tanpa syarat atau dinyatakan secara tegas;
- tidak menyangkal dengan cara berdiam diri (silence);
- menyangkal tanpa alasan yang cukup.
3. Fakta-Fakta yang tidak Perlu Dibuktikan
Tidak semua fakta harus
dibuktikan. Fokus pembuktian ditujukan kepada kejadian atas peristiwa
hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan sesuai dengan yang
didalilkan gugatan pada satu sisi dan apa yang disangkal tergugat pada
sisi lain.
Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan sebagai berikut:
a. hukum positif tidak perlu dibuktikan, yang bertitik tolak dari doktrin curia novit jus, yakni pengadilan dianggap mengetahui segala hukum positif dan hukum yang hidup di masyarakat (living law);
b. fakta yang diketahui umum tidak dibuktikan, yang ditemukan di doktrin hukum pembuktian terminus notoir feiten,
yaitu hukum menganggap berlebihan membuktikan sesuatu keadaan yang
telah diketahui masyarakat umum (Vide H.R, 24 Maret 1022, W. 10913 dan
Pasal 184 ayat (2) KUHAP);
c. fakta
yang tidak dibantah, tidak perlu dibantah karena secara logis dianggap
telah terbukti kebenarannya yang dilakukan pihak lawan dengan mengakui
secara tegas (expressis verbis) dalil dan fakta atau bantahan yang diajukan tanpa dasar alasan;
d. fakta
yang ditemukan selam proses persidangan tidak perlu dibuktikan, karena
fakta sudah diketahui, dialami, dilihat atau didengar hakim selama
proses pemeriksaan persidangan berlangsung.
4. Bukti Lawan (Tegenbewijs)
Salah satu prinsip umum
pembuktian, memberi hak kepada pihak lawan mengajukan bukti lawan (Vide
Pasal 1918 KUH Perdata) yang diajukan tergugat untuk kepentingan
pembelaannya terhadap dalil dan fakta yang diajukan penggugat. Sebagai
contoh, menurut Putusan MA No. 3360 K/Sip/1983, bahwa nilai pembuktian
akta otentik adalah sempurna (volledig), akan tetapi hal itu
melekat sepanjang tidak diajukan bukti lawan oleh pihak tergugat yang
melumpuhkan (Vide Pasal 1870 KUH Perdata dan Pasal 314 RBG).
C. Beban Pembuktian
Salah satu bagian penting dalam sistem pembuktian perkara perdata adalah beban pembuktian (bewijslast), yang
bertujuan tidak adanya kekeliruan dalam pembebanan pembuktian dan
menghindari kesewenang-wenangan terhadap pihak yang dibebani.
1. Prinsip Beban Pembuktian
Pedoman dari pembuktian sebagai berikut:
- tidak bersikap berat sebelah atau imparsialitas. Hal ini berdasarkan Pasal 163 HIR, yang menegaskan bahwa barang siapa mendalilkan suatu hak atau tentang adanya suatu fakta untuk menegakkan hak maupun untuk menyangkal hak orang lain, harus membuktikan hakn tersebut atau fakta lain;
- menegakkan risiko alokasi pembebanan pembuktian. Hal ini dapat dilihat dalam Putusan MA No. 3565 K/Pdt/1984 dan Putusan MA No. 2418 K/Pdt/1984.
2. Penerapan Pembuktian Masalah Yuridis
Penerapan beban pembuktian
merupakan masalah yurudis atau hukum. Oleh karena masalah yuridis,
penerapannya dapat diperjuangkan sampai ke tingkat kasasi di Mahkamah
Agung. Artinya apabila Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi salah
meletakkan pembagian pembebanan pembuktian, pihak yang merasa dirugikan
dapat menjadikan kesalahan itu sebagai alasan kasasi (Vide Putusan MA
No. 578 K/Pdt/1984 dan No. 1855 K/Pdt/1984).
3. Pedoman Pembagian Beban Pembuktian
3.1. Berdasarkan Undang-Undang
Sebagai pedoman pembagian
beban pembuktian digariskan dalam Pasal 163 HIR, Pasal 283 RBG dan Pasal
1865 KUH Perdata yang menegaskan bahwa setiap orang yang mendalilkan
bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna menegakkan haknya sendiri
maupun membantah sesuatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa,
diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Dalam sistem hukum Common Law pedoman pembagian pembuktian dikenal dengan Burder Of Proof dengan kalimat, ”Ho Who Asserts Must Prov”, artinya siapa yang menyatakan sesuatu, mesti membuktikannya.
Dalam Putusan MA No. 3164
K/Pdt/1983 ditegaskan bahwa beban pembuktian ada ditangan penggugat,
karena ia yang mengemukakan sesuatu hak dan berarti pihak yang dibebani
wajib membuktikan dalil gugatannya.
3.2. Berdasarkan Teori Hak
Berdasarkan teori hak, beban
pembuktian ada di Penggugat, karena ia pihak yang mengemukakan haknya.
Sehingga yang harus dibuktikan adalah fakta menyangkut kualitas dari
para pihak untuk melakukan tindakan hukum, fakta yang menimbulkan,
mengahalangi dan menghapuskan hak.
3.3. Berdasarkan Teori Hukum
Beban pembuktian berdasarkan
teori hukum adalah proses pemeriksaan dan penyelesaian perkara hakim
harus melaksanakan hukum ─ artinya peraturan perundang-undangan yang
berlaku ─ baik yang tertulis maupun tidak tertulis (living law).
D. Batas Minimal Pembuktian
Batas minimal pembuktian adalah suatu jumlah alat bukti yang sah paling sedikit ─ dalam KUHAP, dua alat bukti dan memenuhi asas unus testis nullus testis
─ harus terpenuhi, agar alat bukti itu mempunyai nilai kekuatan
pembuktian untuk mendukung kebenaran yang didalilkan atau dikemukakan.
Pengajuan alat bukti yang
efektif mencapai batas minimal pembuktian, didasarkan pada faktor
kualitas alat bukti yang bersangkutan. Menurut hukum, alat bukti yang
berkualitas dan sah sebagi berikut:
1. Alat Bukti Yang Memenuhi Syarat Formil
a. orang yang tidak dilarang sebagai saksi berdasarkan Pasal 1910 KUH Perdata, Pasal 145 Jo. Pasal 172 HIR;
b. memberi keterangan di persidangan sesuai dengan ketentuan Pasal 144 HIR dan Pasal 1905 KUH Perdata;
- mengucapkan sumpah menurut agama atau keyakinan berdasarkan Pasal 1907 KUH Perdata dan Pasal 171 HIR.
2. Alat Bukti yang Memenuhi Syarat Materiil
a. keterangan
yang diberikan didukung oleh alasan dan pengetahuan yang jelas sesuai
ketentuan Pasal 1907 KUH Perdata dan Pasal 171 HIR;
b. fakta
peristiwa yang diterangkan bersumber dari pengalaman, penglihatan, dan
mendengar sendiri tentang hal yang benar-benar berkaitan langsung dengan
perkara yang disengketakan sesuai Pasal 1907 KUH Perdata dan Pasal 171
HIR;
c. keterangan
yang diberikan saling bersesuaian antara yang satu dengan yang lain
atau dengan alat bukti lain berdasarkan Pasal 1906 KUH Perdata dan Pasal
170 HIR. .
E. Alat-Alat Bukti
1. Umum
alat bukti (bewijsmiddel)
bermacam-macam bentuk dan jenis, yang mampu memberi keterangan dan
penjelasan tentang masalah yang diperkirakan di pengadilan. Alat bukti
diajukan para pihak untuk membenarkan dalil gugatan atau dalil bantahan.
Jadi para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil
gugatan dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang mereka kemukakan
dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu.
2. Jenis Alat Bukti
Alat bukti yang diakui dalam hukum acara perdata diatur secara enumeratif dalam Pasal 1866 KUH Perdata (burgerlijk wetboek) dan Pasal 164 HIR yang terdiri dari:
a. Tertulis/tulisan;
b. saksi;
c. persangkaan;
d. pengakuan;
e. sumpah.
3. Alat Bukti Tulisan
Salah satu syarat pokok surat atau tulisan sebagai alat bukti, harus tercamtum di dalamnya tanda tangan (handtekening, signature). Tanpa tanda tangan, suatu surat tidak sah sebagai alat bukti tulisan. Tanda tangan tersebut harus memenuhi syarat, pertama menuliskan nama penanda tangan dengan atau tanpa menambah nama kecil, kedua tanda tangan dengan cara menuliskan nama kecil, ketiga ditulis tangan oleh penanda tangan, tidak dibenarkan dengan stempel dengan huruf cetak, keempat dibenarkan mencamtumkan kopi tanda tangan si penanda tangan, kelima tanda tangan dengan mempergunakan karbon.
Tanda tangan tidak hanya
tertulis, namun juga dapat berupa cap jempol yang dipersamakan dengan
tanda tangan, sesuai yang ditegaskan oleh Pasal 1874 ayat (2) KUH
Perdata, St. 1919-776 dan 286 ayat (2) RBG. Namun untuk keabsahannya
harus, pertama dilegalisir pejabat yang berwenang (waarmerking), kedua dilegalisasi diberi tanggal, ketiga pernyataan dari yang melegalisir, bahwa orang yang membubuhkan cap jempol dikenal atau diperkenalkan kepadanya, keempat isi akta telah dijelaskan kepada yang bersangkutan, kelima pembubuhan cap jempol dilakukan dihadapan pejabat tersebut.
Dalam hukum perdata, dikenal tiga macam tulisan:
Akta Otentik
Akta otentik adalah suatu
akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan UU oleh atau dihapadan
pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta yang dibuat (Vide
Pasal 1868 KUH Perdata). Kekuatan pembuktian akta otentik secara formil
menurut Pasal 1871 KUH Perdata, bahwa segala keterangan yang tertuang di
dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan penanda tangan kepada
pejabat yang membuatnya. Dalam Putusan MA No.3917 K/Pdt/1986, ditegaskan
juga bahwa pada dasarnya apa yang tertuang dalam akta notaris, harus
dianggap benar merupakan kehendak para pihak.
Syarat-syarat dari akta otentik adalah sebagai berikut:
- dibuat dihadapan pejabat yang berwenang;
- dihadiri para pihak;
- kedua belah pihak dikenal atau dikenalkan kepada pejabat;
- dihadiri dua orang saksi;
- menyebut identitas notaris (pejabat), penghadap para saksi;
- menyebut tempat, hari, bulan dan tahun pembuatan akta;
- notaris membacakan akta di hadapan para penghadap;
- ditanda tangani semua pihak;
- penegasan pembacaan, penerjemahan, dan penandatanganan pada bagian penutup akta.
Akta Bawah Tangan
Menurut Pasal 1874 KUH
Perdata dan Pasal 286 RBG, akta bawah tangan adalah tulisan atau akta
yang ditanda tangani di bawah tangan yang tidak ditanda tangani pejabat
yang berwenang, tetapi dibuat sendiri oleh seseorang atau para pihak.
Syarat-syarat dari akta bawah tangan sebagai berikut:
- tertulis/tulisan;
- dibuat oleh dua pihak atau lebih, tanpa bantuan pejabat yang berwenang;
- ditanda tangani oleh para pihak;
- mencamtumkan tanggal dan tempat penandatanganan.
Akta Pengakuan Sepihak
Akta pengakuan sepihak secara
tersirat diatur dalam Putusan MA No. 1363 K/Pdt/1996, Pasal 1878 KUH
Perdata, dan Pasal 291 RBG. Menurut ketiga peraturan ini akta pengakuan
sepihak harus tunduk pada Pasal 1878 KUH Perdata, dengan syarat seluruh
isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si penanda
tangan dan paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang
disebut di dalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda
tangan.
Syarat-syarat dari akta pengakuan sepihak sebagai berikut:
a. tertulis;
b. mencamtumkan identitas;
c. menyebut dengan pasti, misalnya waktu pembayaran;
d. ditulis tangan oleh penanda tangan;
e. ditanda tangani penulis akta.
4. Alat Bukti Saksi
Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi ”pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”.
Jadi prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis
sengketa perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa hanya
dapat dibuktikan dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat
diterapkan.
Alat bukti saksi yang
diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR merupakan kewajiban
para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi apabila pihak yang
berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara sukarela, meskipun telah
berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang bersangkutan sangat
relevan, menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat menghadirkannya
sesuai dengan tugas dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan
merupakan tindakan unproffesional conduct.
Saksi yang tidak datang
diatur dalam Pasal 139-142 HIR, di mana saksi yang tidak datang, para
pihak dapat meminta Pengadilan Negeri untuk menghadirkannya meskipun
secara paksa (Vide Pasal 141 ayat (2) HIR).
Syarat-syarat alat bukti saksi adalah sebagai berikut:
4. 1. Orang yang Cakap
Orang yang cakap adalah orang
yang tidak dilarang menjadi saksi menurut Pasal 145 HIR, Pasal 172 RBG
dan Pasal 1909 KUH Perdata antara lain, pertama keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak menurut garis lurus, kedua suami
atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai (Vide Putusan
MA No.140 K/Sip/1974. Akan tetapi mereka dalam perkara tertentu dapat
menjadi saksi dalam perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (2)
HIR dan Pasal 1910 ayat (2) KUH Perdata. Ketiga anak-anak yang belum cukup berumur 15 (lima belas) tahun (Vide Pasal 145 ke-3 HIR dan Pasal 1912 KUH Perdata), keempat orang gila meskipun terkadang terang ingatannya (Vide Pasal 1912 KUH Perdata), kelima orang yang selama proses perkara sidang berlangsung dimasukkan dalam tahanan atas perintah hakim (Vide Pasal 1912 KUH Perdata).
4.2. Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan
Alat bukti saksi disampaikan
dan diberikan di depan sidang pengadilan, sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 144 HIR, Pasal 171 RBG dan Pasal 1905 KUH Perdata. Menurut
ketentuan tersebut keterangan yang sah sebagai alat bukti adalah
keterangan yang disampaikan di depan persidangan.
4.3. Diperiksa Satu Persatu
Syarat ini diatur dalam Pasal
144 ayat (1) HIR dan Pasal 171 ayat (1) RBG. Menurut ketentuan ini,
terdapat beberapa prinsip yang harus dipenuhi agar keterangan saksi yang
diberikan sah sebagai alat bukti. Hal ini dilakukan dengan cara, pertama menghadirkan saksi dalam persidangan satu per satu, kedua memeriksa identitas saksi (Vide Pasal 144 ayat (2) HIR), ketiga menanyakan hubungan saksi dengan para pihak yang berperkara.
4.4. Mengucapkan Sumpah
Syarat formil yang dianggap
sangat penting ialah mengucapkan sumpah di depan persidangan, yang
berisi pernyataan bahwa akan menerangkan apa yang sebenarnya atau voir dire,
yakni berkata benar. Pengucapan sumpah oleh saksi dalam persidangan,
diatur dalam Pasal 147 HIR, Pasal 175 RBG, dan Pasal 1911 KUH Perdata,
yang merupakan kewajiban saksi untuk bersumpah/berjanji menurut agamanya
untuk menerangkan yang sebenarnya, dan diberikan sebelum memberikan
keterangan yang disebut dengan ”Sistim Promisoris”.
4.5. Keterangan Saksi Tidak Sah Sebagai Alat Bukti
Menurut Pasal 169 HIR dan Pasal 1905 KUH Perdata, keterangan seorang saksi saja tidak dapat dipercaya, sehingga minimal dua orang saksi (unus testis nullus testis) harus dipenuhi atau ditambah alat bukti lain.
4.6. Keterangan Berdasarkan Alasan dan Sumber Pengetahuan
Keterangan berdasarkan
alasan dan sumber pengetahuan diatur dalam Pasal 171 ayat (1) HIR dan
Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata. Menurut ketentuan ini keterangan yang
diberikan saksi harus memiliki landasan pengetahuan dan alasan serta
saksi juga harus melihat, mendengar dan mengalami sendiri.
4.7. Saling Persesuaian
Saling persesuaian diatur
dalam Pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH Perdata. Dalam ketentuan ini
ditegaskan bahwa, keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti,
hanya terbatas pada keterangan yang saling bersesuain atau mutual confirmity antara yang satu dengan yang lain. Artinya antara keterangan
saksi yang satu dengan yang lain atau antara keterangan saksi dengan
alat bukti yang lain, terdapat kecocokan, sehingga mampu memberi dan
membentuk suatu kesimpulan yang utuh tentang persitiwa atau fakta yang
disengketakan.
5. Alat Bukti Persangkaan
Persangkaan diatur dalam Pasal 1915 KUH Perdata, Pasal 173 HIR dan Pasal 310 RBG. Menurut
Pasal 1915 KUH Perdata, persangkaan adalah kesimpulan yang oleh UU atau
oleh hakim ditarik dari satu persitiwa yang diketahu umum ke arah suatu
peristiwa yang tidak diketahui umum.
Dalam Kamus Hukum Engelbrecht, persangkaan (vermoedem)
adalah “kesimpulan yang ditarik oleh UU atau oleh hakim dari suatu hal
atau tindakan yang diketahui, kepada hal atau tindakan lainnya yang
belum diketahui”. Artinya bertitik tolak dari fakta-fakta yang
diketahui, ditarik kesimpulan ke arah suatu fakta yang konkret
kepastiannya yang sebelumnya fakta itu belum diketahui atau ditemukannya
fakta lain.
Persangkaan terbagi dua:
a. Persangkaan
UU, yaitu persangkaan berdasarkan suatu ketentuan khusus UU berkenaan
atau berhubungan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu (Vide
Pasal 1916 KUH Perdata);
b. Persangkaan hakim (presumtion of fact),
yaitu persangkaan berdasarkan kenyataan atau fakta yang bersumber dari
fakta yang terbukti dalam persidangan sebagai pangkal titik tolak
menyusun persangkaan, yang dilakukan oleh hakim karena UU memberikan
kewenangan dan kebebasan menyusunnya (Vide Pasal 173 HIR dan Pasal 310
RBG).
6. Alat Bukti Pengakuan
6.1. Pengertian
Pengakuan (bekentenis, confession)
adalah alat bukti yang berupa pernyataan atau keterangan yang
dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan,
yang dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan. Pengakuan
tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan pihak lawan benar
sebagian atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH Perdata dan Pasal 174
HIR).
6.2. Hal-Hal yang Dapat Diakui
Secara umum, para pihak
dapat mengakui segala hal yang berkenaan dengan pokok perkara yang
disengketakan. Tergugat dapat mengakui semua dalil gugatan yang
dikemukakan penggugat atau sebaliknya penggugat dapat mengakui segala
hal dalil bantahan yang diajukan tergugat. Pengakuan tersebut dapat
berupa, pertama pengakuan yang berkenaan dengan hak, kedua pengakuan mengenai fakta atau peristiwa hukum.
6.3 Yang Berwenang Memberi Pengakuan
Menurut Pasal 1925 KUH Perdata yang berwenang memberi pengakuan adalah sebagai berikut:
a. dilakukan principal sendiri yakni penggugat atau tergugat (Vide Pasal 174 HIR);
b. kuasa hukum penggugat atau tergugat.
6.4. Bentuk Pengakuan
Berdasarkan pendekatan analog
dengan ketentuan Pasal 1972 KUH Perdata, bentuk pengakuan dapat berupa
tertulis dan lisan di depan persidangan dengan cara tegas (expressis verbis), diam-diam dengan tidak mengajukan bantahan atau sangkalan dan mengajukan bantahan tanpa alasan dan dasar hukum.
7. Alat Bukti Sumpah
7.1. Pengertian
Sumpah sebagai alat bukti
diatur dalam Pasal 155 s/d 158, Pasal 177 HIR dan Pasal 1929 s/d 1945
KUH Perdata. Sumpah secara konsepsional adalah suatu keterangan atau
pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan. Tujuan dari sumpah adalah
agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu
menyampaikan yang benar dari yang sebenarnya, dan takut atas murka
Tuhan, apabila dia berbohong.
Dalam sumpah dapat juga dilakukan, pertama Sumpah Pemutus (Decisoir Eed),
yaitu sumpah yang oleh pihak satu (penggugat atau tergugat)
diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan
perkara atas pengucapan atau pengangkatan sumpah (Vide Pasal 1930 ayat
KUH Perdata). Kedua Sumpah Tambahan (Aanvullende Eed) yang
ditegaskan Pasal 1940 KUH Perdata, bahwa ”hakim karena jabatannya,
dapat memerintahkan salah satu pihak yang berperkara mengangkat sumpah,
supaya dengan sumpah itu dapat diputuskan perkara itu dan dapat
ditentukan jumlah uang yang akan dikabulkan”. Ketiga Sumpah Penaksir (Aestimatoire Eed),
yaitu sumpah yang secara khusus diterapkan untuk menentukan berapah
jumlah nilai ganti rugi atau harga barang yang digugat oleh penggugat.
Tujuan dari sumpah ini untuk menetapkan berapa jumlah ganti rugi atau
harga yang akan dikabulkan. Penerapan sumpah ini baru dapat dilakukan
apabila sama sekali tidak ada bukti dari kedua belah pihak yang dapat
membuktikan jumlah yang sebenarnya (Vide Pasal 155 ayat (1) HIR dan
Pasal 1940 KUH Perdata).
7.2 Syarat-Syarat Sumpah
Agar sumpah sebagai alat bukti sah, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- ikrar diucapkan dengan lisan;
- diucapkan di muka hakim dalam persidangan (Vide Pasal 1929, 1944 KUH Perdata dan Pasal 158 ayat (1) HIR) atau dapat dilakukan dirumah kalau yang bersangkutan berhalangan atau rumah ibadah;
- dilaksanakan dihadapan pihak lawan atau dihadiri pihak lawan.
8. Pemeriksaan Setempat (Gerechtelijk Plaatsopneming)
8.1 Pengertian
Pemeriksaan setempat tidak
masuk alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1866 KUH Perdata,
Pasal 164 HIR, dan Pasal 284 RBG. Namun pemeriksaan setempat menjadi
penting untuk membuktikan kejelasan dan kepastian tentang lokasi,
ukuran, dan bata-batas objek sengketa, dan memperjelas objek gugatan
serta menghindari objek barang yang akan dieksekusi tidak jelas dan
tidak pasti.
Pemeriksaan setempat diatur
dalam Pasal 153 HIR dan SEMA No. 7 Tahun 2001 serta Putusan MA No. 3537
K?Pdt/1984. Secara konsepsional, pemeriksaan setempat adalah proses
pemeriksaan persidangan yang semestinya dilakukan di ruang sidang gedung
pengadilan, dipindahkan atau dilakukan di tempat lain, yaitu ditempat
letak objek barang yang disengketakan.
Hasil pemeriksaan setempat
nanti berguna sebagai dasar pertimbangan oleh hakim mengabulkan atau
menolak gugatan yang diajukan serta menentukan luas objek gugatan,
sehingga putusan tidak kabur (obscuur libel).
8.2. Yang Melakukan Pemeriksaan Setempat
Yang melakukan pemeriksaan
setempat adalah majelis hakim minimal satu orang dan dibantu panitera
karena jabatannya atas permintaan para pihak (Vide Pasal 153 HIR, Pasal
180 RBG dan Pasal 211 Rv) yang tidak memerlukan persetujuan tergugat.
Permintaan para pihak tersebut diputuskan dan dituangkan dalam Putusan
Sela (Interlocutoir Vonnis).
8.3. Syarat-Syarat Pemeriksaan Setempat
Syarat-syarat pemeriksaan setempat adalah sebagai berikut (Vide Pasal 153 HIR, Pasal 180 RBG dan Pasal 211 Rv):
a. dihadiri para pihak;
b. datang ketempat objek sengketa;
c. panitera membuat berita acara;
d. hakim membuat akta pendapat yang berisi penilaian atas hasil pemeriksaan yang dilakukan.
9. Pendapat Ahli
9.1 Pengertian
Pemeriksaan saksi ahli diatur
dalam Pasal 154 HIR maupun Pasal 215 s/d 229 Rv. Ahli adalah orang yang
memiliki pengetahuan khusus di bidang tertentu, yang menurut Raymond
Emson ”Specialized are as of Knowledge”, ”ahli merupakan orang
yang dapat memberi keterangan dan penjelasan serta membantu menemukan
fakta melebihi kemampuan pengetahuan umum orang biasa”.
9.2. Pengangkatan Ahli
Cara pengangkatan ahli
diatur dalam Pasal 154 ayat (1) HIR dan Pasal 215-216 Rv. Menurut
ketentuan ini, pengangkatan ahli dapat dilakukan sendiri oleh hakim
secara “Ex Officio” karena jabatannnya, dan atas permintaan salah satu pihak.
9.3. Alasan Pengangkatan Ahli
Alasan adanya pengangkatan ahli, pertama didasarkan karena keahliannya di bidang perkara yang disengketakan, kedua masih terdapat hal-hal yang belum jelas, ketiga berdasarkan
laporan atau keterangan ahli mampu memberi opini atau pendapat mengenai
kasus yang diperkarakan sesuai dengan spesialisasi yang dimilikinya.
9.4. Bentuk dan Penyampaian Pendapat Ahli
Bentuk dan penyampaian pendapat ahli dapat berupa (Vide Pasal 154 HIR):
- berupa laporan tertulis dan lisan;
- laporan disampaikan dalam persidangan;
- laporan dikuatkan dengan sumpah.