PERALIHAN
HAK MILIK ATAS TANAH KARENA PEWARISAN
Tinjauan Yuridis terhadap Peralihan Hak
Milik Atas Tanah karena Pewarisan dihubungkan dengan UU No. 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juncto PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah
Masalah pertanahan
adalah masalah yang tidak terlepas dari perkembangan dan pembangunan kota.
Bahkan oleh Pemerintah khusus mengenai persoalan tanah mengisyaratkan agar
penanganannya dilakukan dengan hati-hati. Berbagai kasus pertanahan yang muncul
saat ini menunjukkan betapa masalah pertanahan menjadi prioritas.
Secara akademis dapat dikemukakan bahwa penyebab terjadinya konflik di bidang
pertanahan antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan
dalam struktur penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama
pengelola negara mengenai makna penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi,
dan ketidaksinkronisasian. Ini baik secara vertikal maupun secara horizontal
peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan tanah, praktek-praktek
manipulasi dalam perolehan tanah pada masa lalu dan di era reformasi muncul
kembali gugatan, dualisme kewenangan (pusat-daerah) tentang urusan pertanahan
serta ketidakjelasan mengenai kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adat
dalam sistem perundang-undangan agraria.
Sebagaimana diketahui bahwa tanah, khususnya bagi masyarakat mempunyai
kedudukan sentral, baik sebagai sumber daya produksi maupun sebagai tempat
pemukiman. Oleh karena itu masalah tanah selalu mendapat perhatian dan
penanganan yang khusus pula. Lebih-lebih lagi dalam era pembangunan ini, bahwa
pembangunan menjangkau berbagai macam aktifitas dalam membangun manusia
Indonesia seutuhnya, yang sedikit atau banyak akan berkaitan dengan bidang
tanah.
Pembangunan sendiri dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, baik
untuk prasarana maupun sarana, memerlukan tanah. Demikian pula seluruh lapisan
masyarakat, dalam usaha meningkatkan kualitas hidupnya memerlukan tanah. Oleh
karena itu gejala hubungan timbal balik antara manusia dengan tanah ini dilihat
dari satu sudut : manusia semakin lama semakin meningkat mutu dan jumlahnya
(kualitas dan kuantitasnya) sehingga kebutuhan manusia akan tanah yang relatif
semakin sempit ini, semakin bertambah.
Menghadapi hubungan timbal balik ini serta sekaligus untuk menata hubungan
dimaksud, dicetuskan gagasan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan pendataan
penguasaan tanah yang selalu mutakhir, terutama untuk keperluan
perpajakan, perencanaan dan pengawasan serta dibalik itu juga bagi masyarakat
memberikan jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanahnya.
Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33
ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Adapun pengejawantahan lebih lanjut
mengenai hukum tanah banyak tersebar dalam berbagai peraturan
perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah; Peraturan
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas
Tanah; dan lain-lain.
Kebijakan hukum tentang pembatasan kepemilikan hak atas tanah yang diterapkan
dalam pasal-pasal UUPA tersebut dalam tatanan teoritis idealis tampak
mencerminkan cita-cita dari pembentukan UUPA itu sendiri yang pada pokoknya
bertujuan untuk:
- meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
- meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
- meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyar keseluruhan.
Dalam tatanan praktis, bukan hal mudah untuk mewujudkan cita-cita pembentukan
UUPA tersebut karena konflik kepentingan antara berbagai pihak senantiasa
menjadi duri dalam pencapaian tujuan tersebut sehingga pelaksanaan
kebijakan yang mengatur masalah hak-hak atas tanah tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Perselisihan yang terjadi baik secara horizontal maupun vertikal
banyak mewarnai ranah pertanahan Indonesia, khususnya mengenai hak milik ini
sehingga pada akhirnya banyak melahirkan sengketa hak milik.
Dalam Pasal 19 UU no. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(Undang-Undang Pokok Agraria atau disingkat UUPA) dikatakan bahwa pendaftaran
tanah dimaksudkan untuk memeberikan kepastian hukum dan yang dimaksud dengan
kepastian hukum adalah memberikan kepastian hak-hak atas tanah.[1] Adapun cara-cara pendaftaran
tanah yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hak-hak atas tanah.
Pendaftaran peralihan hak yang diesbabkan oleh pewarisan, pemohon hanya cukup
menyertakan bukti sebagai ahli waris yang sah, yang kesemuanya tertuang dalam
fatwa waris, mengapa harus menyertakan bukti penunjukan sebagai ahli waris yang
sah? Karena ahli waris berhak secara sah “……menggantikan kedudukan hukum dari
orang yang meninggal dalam kedudukan hukum mengenai harta kekayaannya”.[2] Maka dengan sendirinya hak
penguasaan atas tanah dan atau bangunan jatuh secara otomatis pada ahli waris.
Namun demikian seperti halnya perbuatan hukum lain, ahli waris harus
mendaftarkan peralihan haknya tersebut pada kantor Pertanahan terlebih dahulu
guna kepastian hukum atas tanah yang didapat dari pewarisan tersebut.
Setelah
dilakukan pendaftaran tanah, maka akan diperoleh sertifikat. Sertifikat
merupakan salinan buku tanah dan surat ukur yang dijahit menjadi satu. Di
dalamnya disebut dengan lengkap identitas subyek pajak yang bersangkutan dan
keterangan secara terperinci obyek haknya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang yang namanya tercantum di dalam
sertifikat adalah pemilik hak atas tanah yang bersangkutan.
Seharusnya sertifikat tertulis atas nama seseorang. Namun di dalam praktek
sehari-hari sering juga terjadi sertifikat hak atas tanah yang tercatat atas
nama beberapa orang.
Kemungkinan bahwa dalam satu sertifikat tercatat lebih dari satu nama bisa saja
terjadi, karena ada 2 (dua) orang atau lebih yang bersama-sama membeli adalah
para ahli waris dari seseorang, yang namanya mula-mula tercantum dalam
sertifikat tersebut.
Salah satu contoh kasus tentang sengketa warisan ialah pada tahun 1986, ayah A
meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. Beberapa tahun kemudian, ibu A
juga meninggal dunia karena sakit keras. Sebelum ibu A meninggal dunia, ia
telah memberikan wasiat agar seluruh harta warisannya dibagi dua; A dan kakak
A, dibagi dua sama rata. Orang tua A meninggalkan sebidang tanah dan kebun.
Karena A tidak bisa mengurusi maka harta warisan itu dikelola kakak A. A
terkadang mendapat bagian hasil dari pengelolaan tanah tersebut, tetapi juga
tidak. Meski demikian A tidak begitu menuntut. Yang penting, tanah tersebut
terawat dengan baik.
Sekitar
2 tahun sepeninggal ibu A, ada salah satu tetangga yang menggugat kakak A ke
pengadilan. Isi gugatan tersebut menyatakan bahwa sawah yang kini dikelola
kakak A adalah milik orang tua tetangga tersebut. Menurut tetangga tersebut,
tanah garapan itu bisa ke tangan orang tua A, sebab tanah itu dulu digadaikan
oleh orang tua tetangga tersebut, tetapi ia tidak bisa menebusnya. Hal itu
berlangsung bertahun-tahun hingga orang tua dia meninggal dunia, tanah itu
masih dikuasai orang tua A. Tetapi A tidak percaya, karena A mempunyai
bukti-bukti bahwa tanah tersebut milik orang tua A.
Masalah tersebut kemudian bergulir ke pengadilan. Di Pengadilan Negeri, kakak A
kalah. Kakak A kemudian naik banding ke Pengadilan Tinggi. Di tingkat ini,
kakak A menang. Pihak penggugat kemudian naik banding ke Mahkamah Agung. Di
Mahkamah Agung, kakak A mengalami kekalahan. Demikian adalah salah satu contoh
kasus mengenai sengketa hak atas tanah karena warisan.
Berdasarkan latar
belakang penulisan tersebut di atas, maka yang menjadi pokok masalah yang akan
dibahas dalam penelitian ini adalah:
- Apakah ahli waris yang memeperoleh hak milik atas tanah karena pewarisan harus mendaftarakan peralihan haknya tersebut menurut ketentuan PP Nomor 24 Tahun 1997?
- Bagaimanakah kekuatan sertifikat bagi pemegang hak atas tanah menurut UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997?
Tinjauan Umum tentang Peralihan Hak
Milik Atas Tanah
A. Hak Milik Atas Tanah
Dalam ruang lingkup
agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah
yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan
hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang
disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1)
UUPA yaitu “atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam
Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.[3]
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional membagi
hak-hak atas tanah dalam dua bentuk:[4]
- hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP).
- hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak menyewa atas tanah pertanian.
Dari berbagai macam hak atas tanah tersebut, hak milik merupakan satu-satunya
hak primer yang mempunyai kedudukan paling kuat dibandingkan dengan hak-hak
yang lainnya. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA yang
berbunyi:
“Hak milik adalah hak turun temurun,
terkuat, terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat
ketentuan dalam Pasal 6.”
Turun temurun artinya hak milik
atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila
pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli
warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat
artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan dengan hak atas tanah yang
lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan
pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah
memberi wewenang kepada pemiliknya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas
tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, dan
penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang
lain.[5]
Pernyataan di atas
mengandung pengertian betapa penting dan berharganya menguasai hak atas tanah
dengan title “Hak Milik” yang secara hukum memiliki kedudukan terkuat dan
terpenuh sehingga pemilik hak dapat mempertahankan haknya terhadap siapapun.
Namun demikian bukan berarti bahwa sifat terkuat dan terpenuh yang melekat pada
hak milik menjadikan hak ini sebagai hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak
dapat diganggu gugat, karena dalam situasi dan kondisi tertentu hak milik ini
dapat pula dibatasi. Pembatasan yang paling nyata diatur dalam ketentuan UUPA
antara lain terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut:
- Pasal 6 : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi social ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya.
- Pasal 7: Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
- Pasal 17 : Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
- Pasal 18 : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
- Pasal 21 ayat (1) : Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
Mengenai
keabsahan dan kehalalan hak milik, telah dikenal dua asas, pertama asas “Nemo
plus juris transfere potest quam ipse habel”, artinya tidak seorangpun
dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak
miliknya atau apa yang dia punyai. Kedua, asas “Nemo sibi ipse causam
possessionis mutare potest”, artinya tidak seorangpun mengubah bagi dirinya
atau kepentingan pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan objeknya.[6]
Kedua asas tersebut
semakin mengukuhkan kekuatan sifat terkuat dan terpenuh hak milik atas tanah.
Kewenangan yang luas dari pemiliknya untuk mengadakan tindakan-tindakan di atas
tanah hak miliknya, kekuatan pemiliknya untuk selalu dapat mempertahankan hak
miliknya dari gangguan pihak lain, dan segala keistimewaan dari hak milik
mempunyai nilai keabsahan dan kehalalan yang dijamin kedua asas tersebut.
B. Peralihan Hak Milik Atas Tanah
Peralihan hak atas
tanah, yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan
dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan
hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang
dibuat oleh PPAT yang berwenang. Dengan demikian berarti setiap peralihan hak
milik atas tanah, yang dilakukan dalam bentuk jual beli, tukar menukar atau
hibah harus dibuat di hadapan PPAT. Jual beli, tukar menukar atau hibah ini
dalam konsepsi hukum adat adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat terang dan
tunai. Dengan terang dimaksudkan bahwa perbuatan hukum tersebut harus dibuat di
hadapan pejabat yang berwenang yang menyaksikan dilaksanakan atau dibuatnya
perbuatan hukum tersebut. Sedangkan dengan tunai diartikan bahwa dengan
selesainya perbuatan hukum dihadapan PPAT berarti pula selesainya tindakan
hukum yang dilakukan dengan segala akibat hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum
tersebut tidak dapat dibatalkan kembali, kecuali terdapat cacat cela secara
substansi mengenai hak atas tanah (hak milik) yang dialihkan
tersebut, atau cacat mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak atas
bidang tanah tersebut.
Dengan demikian berarti, agar peralihan hak atas tanah, dan khususnya hak milik
atas tanah tersebut dapat terselenggara secara benar, maka seorang PPAT yang
akan membuat peralihan hak atas tanah harus memastikan kebenaran mengenai hak
atas tanah (hak milik) tersebut, dan mengenai kecakapan dan kewenangan
bertindak dari mereka yang akan mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas
tanah tersebut. Sehubungan dengan obyek hak atas tanah yang dipindahkan PPAT
harus memeriksa kebenaran dari dokumen-dokumen:
- mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, sertifikat asli hak yang bersangkutan. Dalam hal serifikat tidak diserahkan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau
- mengenai bidang tanah yang belum terdaftar:
·
surat
bukti yang membuktikan hak atas tanah yang lama yang belum dikonversi atau
surat keterangan Kepala Desa/ Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan
menguasai bidang tanah tersebut dengan itikad baik, dan tidak pernah ada
permasalahan yang timbul sehubungan dengan penguasaan tanahnya tersebut; dan
·
surat
keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum
bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah
yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan
dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/ Kelurahan; dan dalam hal surat tersebut
tidak dapat diserahkan maka PPAT wajib menolak membuat akta pemindahan hak atas
tanah tersebut termasuk hak milik atas tanah yang akan dialihkan tersebut.
Tinjauan Umum tentang Pendaftaran Tanah
A. Pengertian Pendaftaran Tanah
Mengenai jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi hak milik atas tanah
terdapat penegasannya lebih lanjut yaitu melalui suatu mekanisme yang dinamakan
‘Pendaftaran Tanah” atau “Recht Kadaster.”
Pasal 1 angka (1) Ketentuan
Umum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
dinyatakan bahwa Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik
dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mngenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda
bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas
satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Berkaitan dengan
hal ini terdapat 2 macam asas hukum, yaitu asas itikad baik dan asas nemo
plus yuris.[7]
- Asas itikad baik, yaitu bahwa orang yang memperoleh sesuatu hak dengan itikad baik akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum. Asas ini bertujuan untuk melindungi orang yang beritikad baik.
- Asas nemo plus yuris, yaitu bahwa orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya. Asas ini bertujuan melindungi pemegang hak yang selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun.
Dari kedua asas tersebut melahirkan 2 sistem pendaftaran tanah, yaitu:
- Sistem publikasi positif, yaitu bahwa apa yang sudah terdaftar itu dijamin kebenaran data yang didaftarkannya dan untuk keperluan itu pemerintah meneliti kebenaran dan sahnya tiap warkah yang diajukan untuk didaftarkan sebelum hal itu dimasukkan dalam daftar-daftar. Jadi kelebihan pada sistem pendaftaran ini adalah adanya kepastian dari pemegang hak, oleh karena itu ada dorongan bagi setiap orang untuk mendaftarkan haknya. Kekurangannya adalah bahwa pendaftaran tersebut tidak lancar dan dapat saja terjadi pendaftaran atas nama orang yang tidak berhak dapat menghapuskan hak orang yang berhak.
- Sistem publikasi negatif, yaitu bahwa daftar umum tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga terdaftarnya seseorang dalam daftar umum tidak merupakan bukti bahwa orang tersebut yang berhak atas hak yang telah didaftarkan. Kelebihan dari system pendaftaran ini yaitu kelancaran dalam prosesnya dan pemegang hak yang sebenarnya tidak dirugikan sekalipun orang yang terdaftar bukan orang yang berhak. Tetapi kekurangannya adalah bahwa orang yang terdaftarkan akan menanggung akibatnya bila hak yang diperolehnya berasal dari orang yang tidak berhak sehingga orang menjadi enggan untuk mendaftarkan haknya.
Pendaftaran tanah dapat dilakukan melalui pendaftaran tanah secara sistematis
dan sporadis yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan secara serentak
yang meliputi semua bidang tanah di suatu wilayah atau bagian wilayah suatu
desa/kelurahan, baik tanah dipunyai dengan suatu hak atas tanah maupun tanah
negara. Yang dimaksud dengan suatu hak adalah hak atas tanah menurut hukum adat
dan hak atas tanah menurut UUPA.
B. Landasan Hukum Pendaftaran Tanah.
Dengan keluarnya Undang-Undang
Pokok Agraria, maka dualisme hak-hak atas tanah dihapuskan, dalam memori
penjelasan dari UUPA dinyatakan bahwa untuk pendaftaran tanah sebagaimana
dimaksud Pasal 19 UUPA, yang ditujukan kepada pemerintah agar melaksanakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan untuk menjamin
kepastian hukum yang bersifat Recht Kadaster, untuk menuju kearah pemberian
kepastian hak atas tanah telah diatur di dalam Pasal 19 UUPA yang menyebutkan :
- Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
- Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
·
Pengukuran,
perpetaan dan pembukuan tanah.
·
Pendaftaran
hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
·
Pemberian
surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan
masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria. Dalam Peraturan
Pemerintah diatas biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk
dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan
dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Kalau di atas ditujukan kepada pemerintah, sebaliknya pendaftaran yang dimaksud
Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA ditujukan kepada para pemegang hak, agar
menjadikan kepastian hukum bagi mereka dalam arti untuk kepentingan hukum bagi
mereka sendiri, di dalam Pasal tersebut dijelaskan :
- Pasal 23 UUPA :
- Ayat 1 : Hak milik, demikian pula
setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus
didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
- Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam
ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta
sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
- Pasal 32 UUPA :
- Ayat 1 : Hak guna usaha, termasuk
syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak
tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
- Pasal 19.
- Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam
ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya
hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya
berakhir.
- Pasal 38 UUPA :
- Ayat 1 : Hak guna bangunan, termasuk
syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya dak
tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
Pasal 19.
- Ayat 2 : Pendaftaran termaksud dalam
ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan
serta sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka
waktunya berakhirnya.
Dari ketentuan pasal-pasal di atas dapatlah disimpulkan bahwa pendaftaran yang
dilakukan oleh pemegang hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan adalah
merupakan alat pembuktian yang kuat serta untuk sahnya setiap peralihan,
pembebanan dan hapusnya hak-hak tersebut.
B.
Tujuan Pendaftaran Tanah
Usaha
yang menuju kearah kepastian hukum atas tanah tercantum dalam
ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah,
dalam pasal 19 UUPA disebutkan untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak atas
tanah, UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah
diseluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat ‘Rech Kadaster” artinya yang
bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan di selenggarakannya pendaftaran
tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status
hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batas-batasnya,
siapa yang empunya dan beban-beban apa yang melekat di atas tanah tersebut.
Menurut
para ahli disebutkan tujuan pendaftaran ialah untuk kepastian hak seseorang,
disamping untuk pengelakkan suatu sengketa perbatasan dan juga untuk penetapan
suatu perpajakan:[8]
1. Kepastian hak seseorang
Maksudnya dengan suatu pendaftaran, maka hak seseorang itu menjadi jelas
misalnya apakah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak- hak
lainnya.
2. Pengelakkan suatu
sengketa perbatasan
Apabila sebidang tanah yang dipunyai oleh seseorang sudah didaftar, maka dapat
dihindari terjadinya sengketa tentang perbatasannya, karena dengan didaftarnya
tanah tersebut, maka telah diketaui berapa luasnya serta batas – batasnya.
3. Penetapan suatu
perpajakan
Dengan diketahuinya berapa luas sebidang tanah, maka berdasarkan hal tersebut
dapat ditetapkan besar pajak yang harus dibayar oleh seseorang. Dalam lingkup
yang lebih luas dapat dikatakan pendaftaran itu selain memberi informasi
mengenai suatu bidang tanah, baik penggunaannya, pemanfaatannya, maupun
informasi mengenai untuk apa tanah itu sebaiknya dipergunakan, demikian pula
informasi mengenai kemampuan apa yang terkandung di dalamnya dan demikian pula informasi
mengenai bangunannya sendiri, harga bangunan dan tanahnya, dan pajak yang
ditetapkan.
Untuk
memenuhi berbagai kebutuhan seperti tersebut di atas, maka untuk itu UUPA
melalui pasal-pasal pendaftaran tanah menyatakan bahwa pendaftaran itu diwajibkan
bagi pemegang hak yang bersangkutan
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dijelaskan bahwa
tujuan dari pendaftaran tanah tersebut adalah sebagai berikut::
- Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
- Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mcngadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
- Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Di
dalam kenyataannya tingkatan-tingkatan dari . pendaftaran tanah tersebut
terdiri dari:
- Pengukuran Desa demi Desa sebagai suatu himpunan yang terkecil.
- Dari peta Desa demi Desa itu akan memperlihatkan bermacam-macam hak atas tanah baik Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan maupun tanah-tanah yang masih dikuasai oleh negara.
- Dari peta-peta tersebut akan dapat juga diketahui nomor pendaftaran, nomor buku tanah, nomor surat ukur, nomor pajak, tanda batas dan juga bangunan yang ada di dalamnya.
C. Peralihan Hak Milik Atas
Tanah karena Warisan.
Salah satu sebab
berakhirnya kepemilikan seseorang atas tanah adalah karena kematian. Karena
dengan adanya peristiwa hukum ini mengakibatkan adanya peralihan harta kekayaan
dari orang yang meninggal, baik harta kekayaan material maupun immaterial
kepada ahli waris orang yeng meninggal tersebut. Dengan meninggalnya seseorang
ini maka akan ada pewaris, ahli waris dan harta kekayaan.
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta
kekayaan, sedangkan ahli waris adalah orang yang berhak atas harta kekayaan
dari orang meninggal. Dan harta kekayaan yang ditinggalkan bisa
immaterial maupun material, harta kekayaan material antara lain tanah, rumah
ataupun benda lainnya.
Hukum Waris adalah
suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal
dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih
berhak.
Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: Hukum Waris Adat, Hukum
Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang
berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerababatan yang mereka anut.
Peralihan hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 20 ayat 2 UUPA yaitu hak
milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pengertian tentang kata
“beralih” adalah suatu peralihan hak yang dikarenakan pemilik hak telah
meninggal dunia maka haknya dengan sendiri menjadi beralih kepada ahli
warisnya. Pasal 20 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa hak milik atas tanah dapat
beralih dan dapat dialihkan. Peralihan hak milik atas tanah dapat terjadi
karena perbuatan hukum dan peristiwa hukum. Peralihan hak milik atas
tanah karena perbuatan hukum dapat terjadi apabila pemegang hak milik atas
tanah dengan sengaja mengalihkan hak yang dipegangnya kepada pihak lain.
Sedangkan peralihan hak milik atas tanah karena peristiwa hukum, terjadi
apabila pemegang
hak milik atas tanah meninggal dunia,
maka dengan sendirinya atau tanpa adanya suatu perbuatan hukum disengaja dari pemegang
hak, hak milik beralih kepada ahli waris pemegang hak.
Pewarisan hak milik atas tanah tetap harus berlandaskan pada ketentuan
Undang – undang Pokok Agraria dan Peraturan Pelaksanaannya. Penerima peralihan
hak milik atas tanah atau pemegang hak milik atas tanah yang baru haruslah
berkewarganegaraan Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 9 Undang-undang
Pokok Agraria dan pasal 21 ayat (1) UUPA bahawa warga Negara Indonesia tunggal
saja yang dapat mempunyai hak milik, dengan tidak membedakan kesempatan antara
laki – laki dan wanita yang mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh
suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri
sendiri maupun keluarganya.
Sebenarnya seorang warga Negara Asing dapat atau bisa memperoleh hak milik
karena terbentur pasal 21 ayat (1), karena pasal tersebut menyebutkan bahwa
hanya warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik. Pasal 21 ayat (3)
menyebutkan bahwa warga asing yang sesudah berlakunya Undang – undang ini harus
mendaftarkan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun tidak mendaftarkan status
kewarganegaraannya.
Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 junto
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang
berhak menerima warisan wajib meminta pendaftaran peralihan hak
tersebut dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak meninggalnya orang yang semula
mempunyai hak milik tersebut dengan tidak melanggar ketentuan bahwa
menerima hak milik atas tanah harus sesuai dengan Undang – undang Pokok Agraria
pasal 21.
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Peralihan
Hak Milik Atas Tanah karena Pewarisan.
Hak-hak atas tanah mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan manusia
ini, karena semakin maju masyarakat, semakin padat penduduknya, maka akan
menambah lagi pentingnya kedudukan hak-hak atas tanah.
Di
dalam UUPA telah ditentukan bahwa tanah-tanah di seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia harus didaftarkan, hal ini sesuai dengan Pasal 19 ayat (1)
UUPA yang berbunyi:
“Untuk menjamin kepastian hukum oleh
Pemerintah diadkan Pendaftaran Tanah, yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”
Selain itu juga diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUPA
yang berbunyi sebagai berikut:
“Hak milik, demikian juga setiap
peralihan, hapusnya dan pembebanannya engan hak-hak lain harus didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksudnya dalam Pasal 19”
Sedangkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dala Pasal 19 ayat (1) UUPA
adalah Peraturan Pemerintah Noor 10 Tahun 1961 yang sekarang telah
disempurnakan dengn Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
Menurut Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
disebutkan:
(1) Hak atas tanah, hak
pengelolaan, tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah susun diadftar dengan
membukukannya dalam buku tanah yang memuat data yuridis dan adat fiisk bidang
tanah yang bersangkutan , dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula pada
surat ukur tersebut.
(2) Pembukuan dalam buku
tanah serta pencatatannya dalam surat ukur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bukti bahwa hak yang bersangkutan beserta pemegang haknya dan boidang
tananhya yang diuraikan dalam surat ukur secara hukum telah didaftar menurut
Peraturan Pemerintah ini.
(3) Pembukuan hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan alat bukti yang
dimaksud dalam Pasal 23 dan berita acara pengesahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28”
Dengan sistem buku tanah berarti bahwa
setiap hak atas tanah yang wajib didaftarkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 harus dibuat salinana dari buku tanah untuk diterbitkannya
sertifikat.
Sertifikat adalah suatu tanda bukti hak atas tanah untuk
menjamin kepastian hukum yang terdiri dari atas salinan buku tanah dan surat
ukur yang dijahit menjadi satu bersama-sama dengan seuatu kertas sampul yang
dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional.
Sertifikat sebagai arsip di Badan Pertanahan nasional terdiri atas:
- Riwayat status tanah
- Surat ukur
- Kartu tanda penduduk yang bersangkutan
- Pajak Bumi dan Bangunan tahun terakhir
- Akta tanah.
Sedangkan pemohon menerika sertifikat atau tanda bukti hal yang berisi Buku
Tanah dan Suart Ukur (Gambar Situasi).
Buku tanah menerangkan Propinsi, Kabupaten, Kecamatan Desa, Nomor Buku Tanah,
biaya dan nomor Kantor Badan Pertanahan Nasional, buku tanah ini terdiri atas :
- Menjelaskan dari hak atas tanah, nomor dan desa;
- Nama jelas atau persil;
- Asal persil yang berisi: Tentang Konversi, pemberian hak, pemisahan, penggabungan, menunjuk UU Nomor 5 Tahun 1960 juncto Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 (TLN.2508) tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia Atas Tanah;
- Surat keputusan yang berisi ganti rugi atau uang wajib, lamanya hak berlaku dan kapan berakhir;
- Surat ukur atau gambar situasi yang berisi: nomor dan luas;
- Nama pemegang hak;
- Tanggal pendaftaran yang ditandatangani oleh Kepala Seksi Pendaftaran Tanah dan Kepala Badan Pertanahan Nasional atas nama Bupati;
- Pengeluaran sertifikat yang ditandatangani oleh Kepala Seksis Pendeftaran Tanah dan diketahui oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional atas nama Bupati;
- Penunjuk, yang berisi perubahan apabila ada;
10. Catatan mengenai pajak atau Pajak
Bumu dan Bangunan (PBB).
Penjelasan mengenai Gambar atau Situasi atau Surat Ukur terdiri atas nomor hak,
nomor surat ukur, Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, Desa, keadaan tanah,
situasi letak tanah dan penjelasan. Gabar Situasi itu ditanndatngani oleh
Kepala Seksi Pendaftaran Tanah atas nama Kepalaa Badan Pertanahan Nasional.
Pendaftaran peralihan hak karena pewarisan diwajibkan dalam rangka emberikan
perindungan hukum kepada para ahli waris dan demi ketertiban tata usaha
pendaftaran tanah, agar data yang tersimpan dan disajikan selalu menunjukkan
keadaan yang mutakhir.
Proses
pewarisan itu terjadi disebabkan oleh meninggalnya seseorang dengan
meninggalnya sejumlah harta kekayaan, baik yang materiil maupun immateriil
dengan tidak dibedakan antara barang bergerak dan barang tidak bergerak.
Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya
yang dinamakan pewarisan terjadi hanya karena kematian, oleh karena itu
pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga persayaratan yaitu:
- Ada seseorang yang meninggal dunia
- Ada orang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;
- Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.
Jika di antara harta peninggalan itu terdapat tanah hak milik maka hak atas
tanah itupun beralih kepada apara ahli waris tersebut.
Peralihan hak tidak lagi diuatn di hadapan Kepala Desa atau secara di bawah
tangan, tetapi harus dibuat di ahadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
diangkat oleh Menteri Dalam Negeri cq. Direktorat Jenderal Agraris, satu orang
untuk tiap satu atau lebih daerah Kecamatan. Sedangkan untuk suatu daerah
Kecamatan ang belum diangkat seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah, maka Camat
yang mengepalaia Kecamatan tersebut untuk sementara ditunjuk karena jabatannya
sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Untuk setiap perjanjian yang bermaksud mengalihkan hak atas tanah harus
dibuatkan suatu akta yang dibuat oleh Pejabat yang berwenang yaitu Pejabat
Pebuat Akta Tanah. Menuruut Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 menyebutkan bahwa:
“Dalam melaksanakan pendaftaran tanah,
Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Peerintah ini
dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”.
Sebelum Pejabat membuat akta peralihan hak atas tanah harus diperlihatkan lebih
dahuku sertifikat tanah yang bersangkutan, bila tanah itu telah didaftarkan
atau dibukukan dalam bentuk tanah pada Kantor Agraria Seksis Pendaftaran Tanah.
Bila tanah itu belum didaftarkan atau dibukukan dalam buku tanah maka sebagai
pengganti sertifiat tanah harus diserahkan surat keterangan pendaftaran tanah
dari Kantor Agraria Seksi Pendafataran Tanah setempat, bahwa tanah itu belum
mempunyai sertifikat atau sertifikat sementara.
Menurut ketentuan, akta harus ditandatangani oleh semua pihak, oleh PPAT dan
para saksi. Dan apad umumnya dibuat dalam rangkap empat, yaitu:
- Satu helai (yang asli) bermaterai Rp. 6.000,- untuk disimpan dalam protokol pejabat.
- Satu helai bermaterai Rp. 6000.,- untuk keperluan Kantor Pertanahan.
- Satu helai untuk keperluan lampiran permohonan izin (apabila diperlukan izin)
- Satu helai untuk yang berkepentingan
Untuk semua akta peralihan hak, sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961 dan Surat
Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 Nomor SK.104?DJA/1977
harus dioergunakan formulir-formulir yang tercetak di kantor Pos.
Menurut UUPA tidak cukup dibuatkan akta saja tetapi harus melakukan proses
balik nama untuk membuat sertifikat, untuk balik nama atau perusabahan
nama dari pemiliki lama kepada rekomendasi dari Pejabat Pebuat Akta Tanah.
Tetapi dengan adanya akta sudah cukup untuk memperoleh hak milik, karena haknya
sudah beralih, hanya saja belum memiliki kepastian hukum di kemudian hari.
Karena untuk menjamin kepastian hukum harus dibuktikan dengan sertifikat bukan
oleh kta.. akta hanya berfungsi sebagai tanda bukti hak. Adapun syarat balik
nama adalah:[9]
- Ada akta pejabat (akta peralihan hak)
- Bukti pelunasan yang menjadi kewajiban untuk peralihan hak tersebut.
- Rekomendasi atau surat pengantar balik nama dari PPAT.
Pasal 11 PP Nomor 24 Tahun 1997 mengatur kegiatan pelaksanaan Pendaftaran
Tanah, bahwa “Pelaksanaan Pendaftaran Tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah
untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah”. Pasal 12 PP Nomor
24 Tahun 1997 mengatur tentang rincian masing-masing kegiatan pelaksanaan
pendaftaran tanah sebagai berikut:
- Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:
- Pengumpulan dan pengolahan data fisik;
- Pengumulan dan pengolahan data yuridis;
- Pembuktian hak dan pembukuannya;
- Penerbitan sertifikat;
- Penyajian data fisik dan data yuridis;
- Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
- Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi:
- Pendaftaran peralihan dan pembebaban hak;
- Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya.
Sistem yang digunakan dalam pendaftaran tanah untuk pertama kali ada dua macam,
yaitu sistem pendaftaran tanah secara sistematik dan siste pendaftaran tanah
secara sporadik. Pendafatarn tanah secara sistematik, yaitu kegiatan
pendafataran tanah untuk pertama kaliyang dilakukan secara serentak yang
meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didfatra dalam wilayah atau
bagian wilayah suatu desa/keluarahan. Sedangkan pendaftaran tanah secara
sporadik, yaitu kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengeni satu atau
beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/keluarahan
secara individual atau massal.[10]
Dalam pendaftaran tanah untuk pertama kali dilakukan kegiatan ajudikasi, yaitu
kegiatan yang meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran ata fisik dan data
yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan
pendaftarannya. Pasal 13 PP Nomor 24 Tahun 1997 menetapkan sistem sistematik
dan sporadik sebagai berikut:
- Pendaftaran Tanah pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu renacan kerja dan dilaksaknakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri.
- Dalam suatu desa/kelurahan belum itetapkan sebagai wilayah Pendafataran Tanah secra sistematik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pendaftarannya dilaksanakana melalui Pendaftaran Tanah secara sporadik.
- Pendafataran Tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Pasal 36 PP nomor 24 Tahun 1997 mengatur tentang pemeliharaan data pendaftaran
tanah (data maintenance) sebagai berikut:
- Pemeliharaan data Pendaftaran tanah dilkukan apabila terjadi perubahan pada data fisik dan data yuridis obyek Pendaftaran tanah yang telah terdaftar.
- Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan sebagaimana simaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pertanahan.
Perubahan data dapat terjadi pada data yuridis berupa terjadinya peralihan hak
atas tanah karena danya perbuatan hukum jual beli tanah. Perubahan dalam
bentuk peralihan hak ini juga harus didaftarkan dalam rangka pemeliharaan data
pendaftaran tanah seperti diatur dalam Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997.
Selanjutnya
untuk pendaftaran peralihan hak milik atas tanah karena pewarisan yang wajib
dilakukan oleh pihak yang memperoleh tanah hak milik sebagai warisan diatur
dalam Pasal 42 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunyi
sebagai berikut:
“Untuk pendaftaran peralihan hak karena
pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah didaftar dan hak milik atas
satuan rumah susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah
atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan, surat kematian orang
yang namanya dicatat sebagai pmegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli
waris”.
Dari ketentuan di atas, apabila seseorang pemilik tanah meninggal dunia, maka
orang yang menerima warisan itu dalam waktu 6 (enam) bulan harus mendaftarkan
tanah warisannya tersebut ke Badan Pertanahan Nasional, waktu 6 (enam) bulan
itu dapat diperpanjang oleh Badan Pertanahan Nasional.
Menurut ketentuan pasal 61 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 :
“Untuk pendaftaran peralihan hak karena
pewarisan yang diajukan dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal meninggalnya
pewaris, tidak dipungut biaya pedaftaran”.
Sesuai dengan pasal tersebut di atas, bahwa penerima warisan (ahli waris) harus
mendaftarakan tanahnya ke Kantor Pertanahan. Tetapi harus diperhatikan terlebih
dahulu apakah tanahnya tersebut sudah dibukukan atau belum.
Untuk tanah yang telah dibukukan maka yang perlu diserahkan ke Kantor
Pertanahan adalah:
- Sertifikat pewaris
- Surat keterangan meninggal dunia dari Kepala Desa atau Lurah. Untuk memperoleh surat tersebut, ahli waris atau para ahli waris memohon surat yang disahkan oleh Ketua Rukun Tetangga (RT) dan diketahui oleh Kepala Rukum Wara (RW) dan dua orang saksi, dilampirkan surat keterangan pemakaman dari Kantor Pemakaman setempat.
- Surat keterangan waris.
- Surat keterangan Pajak Bumi dan bangunan (PBB) terakhir.
Apabila tanahnya belum dibukukan sesuai
dengan ketentuan Pasal 42 ayat (2) PP No. 24 tahun 1997 yang berbunyi sebagai
berikut:
“jika bidang tanah yang merupakan
warisan belum didaftar, wajib diserahkan juga dokumen0dokumen sebagaimana
dmaksud dalam pasal 39 ayat (1) huruf b”
Dokumen yang membuktikan adanya hak atas tanah pada yang mewariskan diperlukan
setelah pendaftaran untuk pertama kali hak yang bersangkutan atas nama yang
mewariskan. Hal tersebut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 42 ayat (2) PP Nomor
24 tahun 1997.
Dari ketentuan Psal 42 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 di atas maka:
- Ahli waris harus memperlihatkan surat bukti hak berupa bukti-bukti tertulis, keterngan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebanarannya oleh panitia Ajudikasi atau Kepala kantor Pertanahan dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
- Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.
- Berdasarkan data butir 1 dan 2 di atas kemudian dibuatkan akta waris oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Kemudian pemohon (ahli waris)
mendaftarkan ke kantor Badan Pertanahan Nasional dengan persyaratan sebagai
berikut:
- Mengisi formulir permohonan
- Bukti identitas ahli waris
- Surat Kuasa dan photo copy KTP penerima kuasa bila dikuasakan.
- Sertifikat Hak Atas Tanah yang diwariskan.
- Surat Kematian atas nama pemegang hak
- Surat Tanda Bukti sebagai Ahli Waris:
- Wasiat dari pewaris; atau
- Putusan pengadilan; atau
- Surat Keterangan ahili Waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua0 orang saksi dan dikuatkan oleh Lurah atau Camat.
- Akta Pembagian hak Bersama (apabila langsung dibagi waris)
- Pajak Bumi dan Bangunan tahun terakhir.
Untuk pembagian hak bersama, Psal 51 ayat (1) PP Nomor. 24 tahun 1997
menyebutkan:
“Pembagian hak bersama atas tanah atau
hak milik atas satuan rumah susun menjadi hak masing-masing pemegang hak
bersama didaftra berdasarkan akta yang dibuat PPAT yang berwenang menurut
peraturan yang berlaku yang membuktikan kesepakatan antara pemegang hak bersama
mengenai pembagian hak bersama tersebut.’
Pada saatnya suatu hak bersama, baik yang diperoleh sebagai warisan maupun
sebab lain perlu dibagi sehingga menjadi hakl individu. Untuk itu kesepkatan
antara pemegang hak bersama terseut perlu dituangkan dalam akta PPAT yang akan
menjadi dasar bagi pendaftarannya. Dalam pembagiann tersebut tidak harus semua
pemegang hak bersama memperoleh bagian. Dalam pembagian harta waris seringkali
yang menjadi pemenagn hak individu hanya sebagian dari keseluruhan penerimaan
warisan, asalkan hal tersebut disepakati oleh seluruh penerima warisan sebagai
pemeang hak bersama.[11]
Selanjutnya setelah ahli waris mendaftarkan peralihan hak milik atas tanahnya
ke kanotr Pertanahan, maka akan dikeluarkan pengumuman di kantor Pertanahan dan
kantor Kepala Desa/Kelurahan dimana letak tanah yang bersangkutan berada.
Pengumuman ini dilaksanakan selama 60 hari untuk memberi kesemoaan kepada pihak
yang berkepentingan mengajukan keberatan.
Sertifikat akan diterbitkan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang
telah didaftar dalam buku tanah.
Demikianlah pelaksanaan peralihan ak milik atas tanah karena pewarisan yang
seharusnya dilakukan oleh para ahli waris, apabila mendaftarkan tanah miliknya
tersebut berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria juncto Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
B. Kekuatan Sertifikat bagi
Pemegang Hak Atas Tanah menurut UUPA dan PP nomor 24 Tahun 1997.
Sertifikasi hak atas tanah pada adasrnya mencerminkan Pendaftaran Tanah secara
hokum (rechtkadaster atau legal cadastre) dalam hal ini pemberian tanda bukti
hak kepada pemegang hak. Dala m konteks ini, maka fungsi sertifikat hak atas
tanah adalah sebagai tanda bukti hak, yang diatur dalam ketentuan UUPA yaitu:
- Pasal 19 ayat (2) huruf c, bahwa “sertifikat hak atas tanah adalah alat pembuktian yang kuat”;
- Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2).
Wujud konkret dari tujuan pendaftaran
tanah dalam hal menjamin kepastian hokum dan kepastian hak adalah peneribtan
sertifikat hak atas tanah. Sertifikat mempermudah pemegang hak untuk dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUPA, aka akibat hokum dari pendaftaran
hak atas tanah berupa penerbutan surat tanda bukti (sertifikat) yang berlaku
sebagai alat pembuktin yang kuat terhadap pemegang hak atas tanah.
Sertifikat hak atas tanah memberikan arti dan peranan penting bagi pemegang hak
yang bersangkutan yaitu sebagai:
- Alat bukti kepemilikan atas tanah apabila ada sengketa terhadap tanah yang bersangkutan;
- Jaminan pelunasan suatu hutang pada Bank, Pemerintah atau swasta.
Sertifikat merupakan alat bukti hak, maka ynang harus dibuktikan antara lain:
- Jenis hak atas tanah
Dapat diketahui pada sampul dalam
sertifikat dan kolom, pertama bagian atas atas dari Buku Tanah, jenis hak yang
dicntumkan antara lain yang disebutkan dalma Pasal 16 UUPA, yaitu:
- Hak Milik
- Hal Guna Usaha
- Haku Guna Bangunan
- Hak Pakai
Diharapkan dengan adanya hak atas tanah
dapat dilakukan perbuatan hokum oleh yang mempunyai hak atas tanah tersebut
kepada pihak lain, misalnya jual beli.
2. Pemegang hak.
Menyangkut nama orang atau badan hokum
yang mempunyai hubungan hokum sepenuhnya terhadap tanah yang bersangkutan,
pemegang hak dapat berubah, antara lain jika yang berhak meninggal dunia,
terjadi jual-beli atau hibah maka pemegang pertaa diganti oleh pemegang hak
yang berikutnya.
·
Keterangan
fisik tentang tanah
·
Beban
di atas tanah
·
Peristiwa
hukum yang terjadi dengan tanah.
Peristiwa hukum yang berakitan dengan
tanah tersebut yaitu pewarisan.
Dari seluruh bagian yang harus dapat
dibuktikan bahwa masing-masing mempunyai kepastian hukum
Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 mengatur tentang sertifikat sebagai
alat pembuktian yng kuat yaitu bahwa sertfikat merupakan surat tanda bukti hak
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai sata fisik dan data
yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fiisk dan data yuridis
tersebut sesuai dengan data yang ada dala Syrat Ukur dan Buku Tanah hak yang
bersangkutan.
Bertolak dari ketentuan Pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tersebut, selama
tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di
dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan
hokum sehari-hari maupun berperkara di pengadilan. Dalam konteks ini, data yang
dimuat dalam Surat Ukur dan Buku Tanah mempunyai sifat terbuka untuk umum,
sehingga pihak yang berkepentingan dapat mencocokkan data dalam sertifikatnay
dengan data yang ada dalam Surat Ukur dan Buku Tanah yang disajikan di kantor
Pertanahan.
Mengingat bagaiana rinci dan seksamanya pengaturan mengenai prosedur
pengumpulan data fisik dan data yuridis obyek yang akan dodaftar sapai dengan
pembukuan serta penerbitan sertifikatnya, jelas kiranya kesungguhan upaya
Pemerintah dalam mengusahakan terpenuhinya persyaratan untuk mewujudkan
pernyataan Pasal 19 UUPA, bahwa sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat.
Data dalam sertifikat harus sesuai dengan yang dimuat dalam Surat Ukur dan
Buku Tanah, karena data tersebut diambil dari Surat Ukur dan Buku Tanah
yang bersangkutan. Penerbitan sertifikat dimaksudkan agar pemegang hak dapat
dengan mudah membuktikan haknya.
Apabila dilihat dari kekuatan pembuktiannya, sertifikat mempunyai kedudukan
yang lebih kuat dibandingkan dengan bukti kepemilikan tanah adat, karena kohir
dan girik bukanlah tanda bukti hak atas tanah. Tetapi karena pada umumnya orang
tidak mempunyai bukti lain hak atas tanah yang dimilikinya maka kohir atau
girirk ini siterima sebagai bukti pengganti kepemilikan tanah tersebut.
Di
dalam perbuatan hokum hak atas tanah, asa Nemo Plus Juris dikenal disamping asa
iktikad baik, yaitu asas yang melindungi pemegang hak yang sebenarnya. Sasa ini
dalam hokum pertnahan mempunyai daya kerja untuk memberikan kekuatan pembuktian
bagi peta dan daftar uum yang ada di Kantor Pertanahan. Penerapan asas ini
berarti memberikan perlindungan kepada pemegang hak yang sebenarnya sehingga
selalu terbuka kemungkinan untuk mengadakan gugatan bagi pihak yang merasa
memiliki dan dapat membuktikan kepemilikannya kepada pihak lain yang meskipun
namanya telah terdaftar dalam daftar umum yang terdapat di Kantor Pertanahan.
Tetapi asas Nemo Plus Juris merupakan asas dimana seseorang tidak dapat
melakukan tindakan hokum yang melampaui hak yang dimilikinya dan akibat drai
pelanggaran tersebut adalah batal demi hokum (van rechtswegenietig). Batal demi
hokum berakibat perbuatan hokum tersenut dianggap tidak pernah ada dan karenanya
tidak mempunyai akibat hokum dan apabila tindakan hokum tersebut menimbulkan
kerugian, maka pihak yang dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada pihak-pihak
yang melakukan perbuatan huku tersebut.[12]
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diberikan kesimpulan terhadap
permasalahan yang telah dikemukakan terlebih dahulu, yaitu:
- Pelaksanaan peralihan hak milik atas tanah karena pewarisan setelah berlaku UUPA juncto PP No.24 Tahun 1997, apabila seorng pemilik tanah meninggal dunia maka orang yang menerima warisan tersebut dalam waktu 6 (enam) bulan harus endaftarkan tanah warisannya tersebut ke Badan Pertanahan Nasional. Dalam pelaksanaannya ahli waris meminta surat kematian dari desa, bukti diri dan surat keterangan waris yang dibuat oleh Kepala Desa. Apabila ahli waris akan membagikan warisan tersebut harus dibuatkan akta pembagian harta warisan ke PPAT dengan syarat-syarat yang telah ditentukan sesuai dengan Pasal 42 ayat (4) PP No. 24 Tahun 1997 dan selanjytnya didaftarkan atau melakukan proses balik nama kepada kantor Badan Pertanahan Nasional untuk dibuatkan sertifikat. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 UUPA, sertifkiat merupakan jaminan kepastian hokum atas tanah tersebut.
- Pada kenyataannya sertifikat hak atas tanah yang telah dimiliki masyarakat tidak cukup mempunyai kekuatan pembuktian walaupun telah melalui tahapan pendaftaran tanah yang benar. Hal tersebut dikarenakan berlakunya asas Nemo Plus Juris. Sertifikat hanya merupakan tanda bukti yang kuat dan bukan merupakan tanda bukti yang mutlak/sempurna menurut UUPA dan ketentuan dalam PP nomor. 24 Tahun 1997.
Saran
- Pemerintah melalui aparatnya yang terkait diharapkan lebih aktif emberikn penyuluhan dan pengarahan dalam rangka menyadarkan masyarakat tentang pelaksanaan peralihan hak milik atas tanah terutama karena pewarisan, hal ini untuk menghilangkan anggapan prosedur yang berbelit-belit serta baya yang bear, sehingga masyarakat dapat mematuhi dan melaksanakan UUPA juncto PP No. 24 Tahun 1997 yaitu dengan membuat akta di PPAT dan didaftarakan atau balik nama ke kantor BPN untk dibuatkan setfikat.
- Diharapkan dalam hal penebitan bagi pemegang hak dapat memberikan rasa aman karena hak atas tanahntya dijamin keberadaaanya oleh Peerintah sehingga dapat memberikan jaminanan kepastian dan perlindungan hukum.
[1] Penjelasan atas UU Nomor 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
[2] Hartono Soerjopratiknjo,
Hukum Waris tanpa Wasiat, Andi Offset, Yogyakarta, 1982, hlm. 1
[3] Urip Santoso, Hukum Agraria
& Hak-hak atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm
10.
[4] Supriadi, Hukum Agraria,
Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm 64.
[5] Urip Santoso, op.cit,
hlm 90-91.
[6] Adrian Sutedi, Peralihan
Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm8-9.
[7] Adrian Sutedi, ibid,
hlm 117-121.
[8] A.P.Parlindungan, Pendaftaran
Tanah Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm.6
[9] Direktorat Jenderal Agraria,
Departemen Dalam Negeri, Buku Tuntunan Bagi Para Pejabat Pembuat Akta Tanah,
Yayasan Hudaya Bina Sejahtera, Jakarta, 1983, hlm.12
[10] Irawan Soerodjo, Kepastian
Hukum Pendafataran Hak Atas Tanah di Indonesia, Penerbit Arkola, Surabaya,
2002, hlm. 166.
[11] Penjelasan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997.
[12] Irawan Soerodjo, op cit, hlm.
189