PELANGGARAN/KEJAHATAN PEMILU DAN
PROSES PENYELESAIANNYA
A. Ancaman Pelanggaran Terhadap Proses
Demokratisasi
SECARA umum demokrasi diartikan sebagai pemerintahan
yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Salah satu prinsip
demokrasi yang penting adalah adanya Pemilu yang bebas sebagai perwujudan nyata
kedaulatan rakyat atas keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kenyataan menunjukkan bahwa membumikan ide yang mulia tersebut tidaklah semudah
mengucapkannya.
Ada beberapa
prasyarat yang harus dipenuhi agar pemilu benar-benar menghasilkan pemerintahan
yang demokratis secara substantif dan bukan sekedar prosesi ritual. Prasyarat
tersebut antara lain adalah : tersedianya aturan main yang jelas dan adil bagi
semua peserta, adanya penyelenggara yang independen dan tidak diskriminatif,
pelaksanaan aturan yang konsisten, dan adanya sanksi yang adil kepada semua
pihak. Tahapan penyelenggaraan pemilu 2014 telah diawali dengan permasalahan hukum
seperti penyerahan data kependudukan atau Data Penduduk Potensial Pemilih
Pemilu (DP4) oleh Pemerintah kepada KPU yang tidak lengkap dan proses
pembentukan struktur KPU di daerah yang tidak sesuai jadwal, keterlambatan
pembuatan beberapa aturan, kesalahan pengumuman DCT dan pengumuman DPT yang
belum final.
Beberapa
REGULASI tentang penyelenggaraan PEMILU 2014
Regulasi / Produk Hukum
|
Tentang
|
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2012
|
|
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011
|
|
UU No.12 Tahun 2008
|
|
UU No. 8 Tahun 2005
|
|
UU No. 32 Tahun 2004
|
|
UU No. 42 tahun 2008
|
|
UU No. 10 tahun 2008
|
|
UU No. 22 tahun 2007
|
Banyaknya persoalan
menyangkut Pemilu ini berkibat pada penanganan pelanggaran yang inkonsisten
atau justru mendorong pembiaran atas pelanggaran karena peraturan yang ada
tidak cukup menjangkau. Demi untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang
berkualitas dan memiliki integritas tinggi maka perlu dilakukan penyempurnaan
terhadap aturan yang telah ada melalui penambahan aturan, penegasan maksud dan
sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan yang ada salah satu diantaranya
adalah melalui pembuatan instrumen-instrumen komplain atas terjadinya
pelanggaran pemilu yang lengkap, mudah diakses, terbuka, dan adil. Lebih
penting lagi adalah memastikan bahwa aturan main yang ditetapkan tersebut
dijalankan secara konsisten.
Tersedianya
aturan yang konkrit dan implementatif penting untuk menjamin kepastian dan
keadilan hukum sehingga pemilu memiliki landasan legalitas dan legitimasi yang
kuat sehingga pemerintahan yang dihasilkan melalui pemilu tetap mendapatkan
dukungan masyarakat luas. Untuk itu maka segala pelanggaran yang terjadi dalam
proses pelaksanaan pemilu harus diselesaikan secara adil, terbuka dan
konsisten.
B. Pelanggaran Pemilu 2014
Terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu 2014 sudah tidak terhindarkan. Pelanggaran dapat
terjadi karena adanya unsur kesengajaan maupun karena kelalaian. Pelanggaran
pemilu dapat dilakukan oleh banyak pihak bahkan dapat dikatakan semua orang
memiliki potensi untuk menjadi pelaku pelanggaran pemilu. Sebagai upaya
antisipasi, UU 10 Tahun 2008 tentang Pemiliham Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
(UU Pemilu) mengaturnya pada setiap tahapan dalam bentuk kewajiban, dan
larangan dengan tambahan ancaman atau sanksi. Potensi pelaku pelanggaran pemilu
dalam UU pemilu antara lain:
1.
Penyelenggara Pemilu yang meliputi anggota KPU, KPU Propinsi, KPU
Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu pusat, Bawaslu Propinsi, bawaslu Kabupaten
Kota, Panwas Kecamatan, jajaran sekretariat dan petugas pelaksana lapangan
lainnya;
2. Peserta
pemilu yaitu pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPD, DPRD, tim
kampanye;
3. Pejabat
tertentu seperti PNS, anggota TNI, anggota Polri, pengurus BUMN/BUMD,
Gubernur/pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa, dan badan lain lain yang
anggarannya bersumber dari keuangan negara;
4. Profesi
Media cetak/elektronik, pelaksana pengadaan barang, distributor;
5. Pemantau
dalam negeri maupun asing;
6. Masyarakat
Pemilih, pelaksana survey/hitungan cepat, dan umum yang disebut sebagai “setiap
orang”.
Meski banyak
sekali bentuk pelanggaran yang dapat terjadi dalam pemilu, tetapi secara garis
besar UU Pemilu membaginya berdasarkan kategori jenis pelanggaran pemilu
menjadi:
(1) pelanggaran
administrasi pemilu;
(2) pelanggaran
pidana pemilu; dan
(3)
perselisihan hasil pemilu.
(1) Pelanggaran
Administrasi Pasal 248 UU Pemilu mendefinisikan perbuatan yang termasuk dalam
pelanggaran administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan UU Pemilu yang
tidak termasuk dalam ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur
dalam Peraturan KPU. Dengan demikian maka semua jenis pelanggaran, kecuali yang
telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori pelanggaran
administrasi. Contoh pelanggaran administratif tersebut misalnya: tidak
memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu, menggunakan fasilitas
pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye, tidak
melaporkan rekening awal dana kampanye, pemantau pemilu melanggar kewajiban dan
larangan.
(2) Tindak
Pidana Pemilu Pasal 252 UU Pemilu mengatur tentang tindak pidana pemilu sebagai
pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana. Pelanggaran ini merupakan
tindakan yang dalam UU Pemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai contoh
tindak pidana pemilu antara lain adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang
lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara dan merubah hasil suara.
Seperti tindak pidana pada umumnya, maka proses penyelesaian tindak pidana
pemilu dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada yaitu kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan.
(3)
Perselisihan Hasil Pemilu Yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilu
menurut pasal 258 UU Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu
mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional.
Perselisihan tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan
penghitungan perolehan hasil suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi
peserta pemilu. Sesuai dengan amanat Konstitusi yang dijabarkan dalam UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka perselisihan mengenai hasil
perolehan suara diselesaikan melalui peradilan konstitusi di MK. Satu jenis
pelanggaran yang menurut UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu
(UU KPU) menjadi salah satu kewenangan Panwaslu Kabupaten/Kota untuk
menyelesaikannya adalah pelanggaran pemilu yang bersifat sengketa. Sengketa
adalah perbenturan dua kepentingan, kepentingan dan kewajiban hukum, atau
antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum (konflik) yang dalam konteks
pemilu dapat terjadi antara peserta dengan penyelenggara maupun antara peserta
dengan peserta. Pada pemilu 2004, tata cara penyelesaian terhadap jenis
pelanggaran ini diatur dalam satu pasal tersendiri (pasal 129 UU 12/2003).
Terhadap
sengketa pemilu ini yaitu perselisihan pemilu selain yang menyangkut perolehan
hasil suara, UU 10/2008 tidak mengatur mekanisme penyelesaiannya. Sengketa juga
dapat terjadi antara KPU dengan peserta pemilu atau pihak lain yang timbul
akibat dikeluarkannya suatu Peraturan dan Keputusan KPU. Kebijakan tersebut,
karena menyangkut banyak pihak, dapat dinilai merugikan kepentingan pihak lain
seperti peserta pemilu (parpol dan perorangan), media/pers, lembaga pemantau,
pemilih maupun masyarakat.
Berbeda dengan
UU 12/2003, yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat,
dalam UU KPU dan UU Pemilu tidak ada ketentuan yang menegaskan bahwa Keputusan
KPU bersifat final dan mengikat. Dengan demikian maka Keputusan KPU yang
dianggap merugikan terbuka kemungkinan untuk dirubah. Persoalannya, UU Pemilu
juga tidak memberikan “ruang khusus” untuk menyelesaikan ketidakpuasan
tersebut.
Contoh KASUS
yang telah nyata ada adalah :
1) sengketa
antara calon peserta pemilu dengan KPU menyangkut Keputusan KPU tentang
Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. Keputusan KPU tersebut dianggap
merugikan salah satu atau beberapa calon peserta pemilu.
2) sengketa
antara partai politik peserta pemilu dengan anggota atau orang lain mengenai
pendaftaran calon legislatif. Pencalonan oleh partai politik tertentu dianggap
tidak sesuai dengan atau tanpa seijin yang bersangkutan.
C. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran
Meski jenis pelanggaran bermacam-macam, tetapi tata
cara penyelesaian yang diatur dalam UU hanya mengenai pelanggaran pidana.
Pelanggaran administrasi diatur lebih lanjut melalui Peraturan KPU dan selisih
hasil perolehan suara telah diatur dalam UU MK.
Batas Waktu Penanganan Pelanggaran Pemilu
1. Mekanisme
Pelaporan Penyelesaian pelanggaran pemilu diatur dalam UU Pemilu BAB XX. Secara
umum, pelanggaran diselesaikan melalui Bawaslu dan Panwaslu sesuai dengan
tingkatannya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan
terhadap setiap tahapan pelaksanaan pemilu. Dalam proses pengawasan tersebut,
Bawaslu dapat menerima laporan, melakukan kajian atas laporan dan temuan adanya
dugaan pelanggaran, dan meneruskan temuan dan laporan dimaksud kepada institusi
yang berwenang. Selain berdasarkan temuan Bawaslu, pelanggaran dapat dilaporkan
oleh anggota masyarakat yang mempunyai hak pilih, pemantau pemilu dan peserta
pemilu kepada Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota paling lambat
3 hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu.
Bawaslu
memiliki waktu selama 3 hari untuk melakukan kajian atas laporan atau temuan
terjadinya pelanggaran. Apabila Bawaslu menganggap laporan belum cukup lengkap
dan memerlukan informasi tambahan, maka Bawaslu dapat meminta keterangan kepada
pelapor dengan perpanjangan waktu selama 5 hari.
Berdasarkan
kajian tersebut, Bawaslu dapat mengambil kesimpulan apakah temuan dan laporan
merupakan tindak pelanggaran pemilu atau bukan.
Dalam hal laporan
atau temuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran, maka Bawaslu membedakannya
menjadi:
1) pelanggaran
pemilu yang bersifat administratif ; dan
2) pelanggaran
yang mengandung unsur pidana.
Bawaslu
meneruskan hasil kajian tersebut kepada instansi yang berwenang untuk
diselesaikan. Aturan mengenai tata cara pelaporan pelanggaran pemilu diatur
dalam ketentuan pasal 247 UU 10/2008 yang diperkuat dalam Peraturan Bawaslu No.05
/2008.
2. Mekanisme
penyelesaian pelanggaran administrasi Pelanggaran pemilu yang bersifat
administrasi menjadi kewenangan KPU untuk menyelesaikannya. UU membatasi waktu
bagi KPU untuk menyelesaikan pelanggaran administrasi tersebut dalam waktu 7
hari sejak diterimanya dugaan laporan pelanggaran dari Bawaslu. Sesuai dengan
sifatnya, maka sanksi terhadap pelanggaran administrasi hendaknya berupa sanksi
administrasi. Sanksi tersebut dapat berbentuk teguran, pembatalan kegiatan,
penonaktifan dan pemberhentian bagi pelaksana pemilu.
Aturan lebih
lanjut tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi dibuat dalam
peraturan KPU. Peraturan KPU mengenai hal tersebut sampai saat ini belum ada.
Meski kewenangan menyelesaikan pelanggaran administrasi menjadi domain KPU, KPU
Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Pemilu
pasal 248-251, tetapi UU Pemilu juga memberikan tugas dan wewenang kepada
Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Propinsi dan Bawaslu untuk menyelesaikan
temuan dan laporan pelanggaran terhadap ketentuan kampanye yang tidak
mengandung unsur pidana (lihat UU 10/2008 pasal 113 ayat (2), pasal 118 ayat
(2), dan 123 ayat (2).
Terhadap
pelanggaran yang menyangkut masalah perilaku yang dilakukan oleh penyelenggara
pemilu seperti anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan jajaran
sekretariatnya, maka Peraturan KPU tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat
diberlakukan. Hal yang sama juga berlaku bagi anggota Bawaslu, Panwaslu
Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan jajaran sekretariatnya, yang terikat
dengan Kode Etik Pengawas Pemilu.
3. Mekanisme Penyelesaian
Pelanggaran Pidana Pemilu.
3.1. Proses
Penyidikan. Sebenarnya penanganan tindak pidana pemilu tidak berbeda dengan
penanganan tindak pidana pada umumnya yaitu melalui kepolisian kepada kejaksaan
dan bermuara di pengadilan. Secara umum perbuatan tindak pidana yang diatur
dalam UU Pemilu juga terdapat dalam KUHP. Tata cara penyelesaian juga mengacu
kepada KUHAP. Dengan asas lex specialist derogat lex generali maka
aturan dalam UU Pemilu lebih utama. Apabila terdapat aturan yang sama maka
ketentuan yang diatur KUHP dan KUHAP menjadi tidak berlaku.
Mengacu kepada
pasal 247 angka (9) UU Pemilu, temuan dan laporan tentang dugaan pelanggaran
pemilu yang mengandung unsur pidana, setelah dilakukan kajian dan didukung
dengan data permulaan yang cukup, diteruskan oleh Bawaslu kepada penyidik
Kepolisian. Proses penyidikan dilakukan oleh penyidik polri dalam jangka waktu
selama-lamanya 14 hari terhitung sejak diterimanya laporan dari Bawaslu.
Kepolisian mengartikan 14 hari tersebut termasuk hari libur. Hal ini mengacu
kepada KUHAP yang mengartikan hari adalah 1 x 24 jam dan 1 bulan adalah 30
hari.
Guna mengatasi
kendala waktu dan kesulitan penanganan pada hari libur, pihak kepolisian telah
membentuk tim kerja yang akan menangani tindak pidana pemilu. Setiap tim
beranggotakan antara 4-5 orang. TIM PENYIDIK TINDAK PIDANA PEMILU POLRI
BARESKRIM: 7 TIM (4 Dalam Negeri + 3 Luar Negeri), POLDA: 5 TIM, POLWIL: 3 TIM,
POLRES: 10 TIM.
Dengan adanya
tim kerja tersebut maka penyidikan akan dilakukan bersama-sama. Setelah menerima
laporan pelanggaran dari Bawaslu, penyidik segera melakukan penelitian
terhadap:
1) kelengkapan
administrasi laporan yang meliputi : keabsahan laporan (format, stempel,
tanggal, penomoran, penanda tangan, cap/stempel), kompetensi Bawaslu terhadap jenis
pelanggaran, dan kejelasan penulisan; dan
2)
materi/laporan yang antara lain : kejelasan indentitas (nama dan alamat)
pelapor, saksi dan tersangka, tempat kejadian perkara, uraian
kejadian/pelanggaran, waktu laporan.
Berdasarkan
indentitas tersebut, penyidik melakukan pemanggilan terhadap saksi dalam waktu
3 hari dengan kemungkinan untuk memeriksa saksi sebelum 3 hari tersebut yang
dapat dilakukan di tempat tinggal saksi. 14 hari sejak diterimanya lapaoran
dari Bawaslu, pihak penyidik harus menyampaikan hasil penyidikan beserta berkas
perkara kepada penuntut umum (PU).
3.2. Proses
Penuntutan. UU Pemilu tidak mengatur secara khusus tentang
penuntut umum dalam penanganan pidana pemilu. Melalui Surat Keputusan
(September 2008) Jaksa Agung telah menunjuk jaksa khusus pemilu di seluruh
Indonesia (31 Kejaksaan Tinggi, 272 kejaksaan Negeri, dan 91 Cabang Kejaksaan
Negeri). Masing-masing Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri ditugaskan
2 orang jaksa khusus untuk menangani pidana pemilu tanpa menangani kasus lain
di luar pidana pemilu.
Di tingkat
Kejaksaan Agung ditugaskan 12 orang jaksa yang dipimpin Jaksa Agung Muda Pidana
Umum (Jampidum) untuk menangani perkara pemilu di pusat dan Luar Negeri.
Penugasan ini dituangkan dalam Keputusan Jaksa Agung No. 125/2008.
Jika hasil
penyidikan dianggap belum lengkap, maka dalam waktu paling lama 3 hari penuntut
umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai dengan
petunjuk untuk melengkapi berkas bersangkutan. Perbaikan berkas oleh penyidik
maksimal 3 hari untuk kemudian dikembalikan kepada PU. Maksimal 5 hari sejak
berkas diterima, PU melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan. Karena sejak
awal penanganan kasus di kepolisian pihak kejaksaan sudah dilibatkan untuk
mengawal proses penyidikan maka duduk perkara sudah dapat diketahui sejak
Bawaslu melimpahkan perkara ke penyidik.
Dengan demikian
maka PU dapat mempersiapkan rencana awal penuntutan/matrik yang memuat
unsur-unsur tindak pidana dan fakta-fakta perbuatan. Pada saat tersangka dan
barang bukti dikirim/diterima dari kepolisian maka surat dakwaan sudah dapat
disusun pada hari itu juga. Karena itu masalah limitasi waktu tidak menjadi
kendala. Untuk memudahkan proses pemeriksaan terhadap adanya dugaan pelanggaran
pidana pemilu, Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah membuat kesepahaman
bersama dan telah membentuk sentra penegakan hukum terpadu (Gakumdu). Adanya
Gakumdu memungkinkan pemeriksaan perkara pendahuluan melalui gelar perkara.
3.3. Proses
Persidangan. Tindak lanjut dari penanganan dugaan pelanggaran pidana pemilu
oleh Kejaksaan adalah pengadilan dalam yuridiksi peradilan umum. Mengingat
bahwa pemilu berjalan cepat, maka proses penanganan pelanggaran menggunakan
proses perkara yang cepat (speed trial).
Hakim dalam
memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana pemilu menggunakan KUHAP
sebagai pedoman beracara kecuali yang diatur secara berbeda dalam UU Pemilu.
Perbedaan tersebut terutama menyangkut masalah waktu yang lebih singkat dan
upaya hukum yang hanya sampai banding di Pengadilan Tinggi.
Tujuh hari
sejak berkas perkara diterima Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara pidana pemilu. Batasan waktu ini akan berimbas kepada beberapa
prosedur yang harus dilalui seperti pemanggilan saksi dan pemeriksaan khususnya
di daerah yang secara geografis banyak kendala. Untuk itu maka UU memerintahkan
agar penanganan pidana pemilu di pengadilan ditangani oleh hakim khusus yang
diatur lebih lanjut melalui Peraturan MA (Perma).
PERMA No.
03/2008 menegaskan bahwa Hakim khusus sebagaimana dimaksud berjumlah antara 3 –
5 orang hakim dengan kriteria telah bekerja selama 3 tahun. MA juga telah
mengeluarkan Surat Edaran No. 07/A/2008 yang memerintahkan kepada Pengadilan
Tinggi untuk segera mempersiapkan/menunjuk hakim khusus yang menangani tindak
pidana pemilu.
Dalam hal
terjadi penolakan terhadap putusan PN tersebut, para pihak memiliki kesempatan
untuk melakukan banding ke Pengadilan Tinggi. Permohonan banding terhadap
putusan tersebut diajukan paling lama 3 hari setelah putusan dibacakan.PN
melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada PT paling lama 3 hari
sejak permohonan banding diterima.
PT memiliki
kesempatan untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud
paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding diterima. Putusan banding
tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga tidak
dapat diajukan upaya hukum lain.
3.4. Proses
Pelaksanaan Putusan. Tiga hari setelah putusan pengadilan dibacakan, PN/PT
harus telah menyampaikan putusan tersebut kepada PU. Putusan sebagaimana
dimaksud harus dilaksanakan paling lambat 3 hari setelah putusan diterima
jaksa. Jika perkara pelanggaran pidana pemilu menurut UU Pemilu dipandang dapat
mempengaruhi perolehan suara peserta pemilu maka putusan pengadilan atas
perkara tersebut harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan
hasil pemilu secara nasional.
Khusus terhadap
putusan yang berpengaruh terhadap perolehan suara ini, KPU, KPU Propinsi dan
KPU Kabupaten/Kota dan peserta harus sudah menerima salinan putusan pengadilan
pada hari putusan dibacakan. KPU berkewajiban untuk menindaklanjuti putusan
sebagaimana dimaksud. Demikian pengecualian hukum beracara untuk menyelesaikan
tindak pidana pemilu menurut UU 10/2008 yang diatur berbeda dengan KUHAP.
Sesuai dengan sifatnya yang cepat, maka proses penyelesaian pelanggaran pidana
pemilu paling lama 53 hari sejak terjadinya pelanggaran sampai dengan
pelaksanaan putusan oleh jaksa.
Pengaturan ini
jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan UU 12/2003 yang memakan waktu 121
hari.
4. Perselisihan
Hasil Perolehan Suara
Sesuai dengan
Konstitusi yang dijabarkan dalam ketentuan UU 24/2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, perselisahan tentang hasil perolehan suara pemilu diselesaikan
melalui MK.
Tata cara penyelesaian
perselisihan perolehan hasil suara pemilu 2014 telah diatur dalam PMK No. 14/2008 tentang
Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Permohonan diajukan oleh peserta pemilu paling lambat 3 x 24 jam sejak KPU mengumumkan
penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Pengajuan permohonan
disertai dengan alat bukti pendukung seperti sertifikat hasil penghitungan
suara, sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan setiap jenjang, berita acara
penghitungan beserta berkas pernyataan keberatan peserta, serta dokumen
tertulis lainnya. Apabila kelengkapan dan syarat permohonan dianggap tidak
cukup, panitera MK memberitahukan kepada pemohon untuk diperbaiki dalam tenggat
1 x 24 jam. Apabila dalam waktu tersebut perbaikan kelengkapan dan syarat tidak
dilakukan, maka permohonan tidak dapat diregistrasi. Tiga hari kerja sejak
permohonan tercatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi panitera
mengirimkan permohonan kepada KPU. Dalam permohonan tersebut disertakan juga
permintaan keterangan tertulis KPU yang dilengkapi dengan bukti-bukti hasil
penghitungan suara yang diperselisihkan. Keterangan tertulis tersebut haraus
sudah diterima MK paling lambat 1 hari sebelum hari persidangan. Mahkamah
menetapkan hari sidang pertama dala mwaktu 7 hari kerja sejak permohonan
diregistrasi. Penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada pemohon dan
KPU paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.
Pemeriksaan
permohonan dibagi menjadi :
1) pemeriksaan
pendahuluan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Panel
Hakim yang terdiri atas 3 orang hakim konstitusi wajib memberi nasihat kepada
pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat
kekurangan paling lambat 1 x 24 jam.
2) pemeriksaan
persidangan yang dilakukan untuk memeriksa kewenangan MK, kedudukan pemohon,
pokok permohonan, keterangan KPU dan alat bukti oleh Panel Hakim dan/atau Pleno
Hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum. Putusan MK dijatuhkan paling lambat
30 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara
konstitusi. Putusan MK bersifat final dan selanjtunya disampaikan kepada
pemohon, KPU dan Presiden serta dapat disampaikan kepada pihak terkait. KPU,
KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti Putusan tersebut.
D. Beberapa Permasalahan
a) Waktu
Terjadinya Pelanggaran. Laporan pelanggaran pemilu oleh peserta pemilu,
pemantau dan pemilih harus disampaikan kepada Bawaslu paling lama 3 hari sejak
terjadinya pelanggaran. Dalam konteks hukum pidana, waktu kejadian perkara (tempus
delicti) terhitung sejak suatu tindak pidana atau kejadian dilakukan oleh
si pelaku dan bukan pada saat selesainya suatu perbuatan atau timbulnya
dampak/akibat hukum.
Ketentuan ini
secara sengaja telah menutup celah bagi proses hukum terhadap pelanggaran
pemilu yang tidak terjadi di ruang terbuka. Sebagai contoh pemberian atau
penerimaan dana kampanye yang melebihi jumlah yang telah ditentukan tetapi
dilakukan melalui transfer rekening antar bank pada hari jumat malam. Karena
membutuhkan proses administrasi dan terkendala hari libur maka dana baru
diterima setelah 3 hari. Secara konseptual terjadinya pelanggaran adalah hari
jumat sehingga pelanggaran tidak dapat diproses.
b) Penanganan
Laporan. Peraturan Bawaslu No. 05 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pelaporan
Pelanggaran Pemilu DPR, DPD, dan DPRD tidak memberikan rincian lebih jauh
dibandingkan dengan apa yang telah diatur dalam UU Pemilu. Beberapa format
laporan sebagai lampiran dari Peraturan dimaksud lebih menunjukkan bahwa
Peraturan mengarah kepada petunjuk teknis dan pedoman Bawaslu tentang
penerimaan laporan pelanggaran pemilu. Bawaslu perlu mengatur lebih detail
tentang tata cara penanganan laporan/temuan pelanggaran terkait dengan dokumen
bukti indentitas, informasi/keterangan yang cukup, jenis alat bukti minimal,
materi pelanggaran, dan standar laporan dan berkas yang akan diteruskan kepada
penyidik.
c) Tata Cara
Penyelesaian Pelanggaran Administrasi. Sampai saat ini KPU belum
menerbitkan Peraturan tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi
yang diamanatkan UU 10/2008. Belum adanya aturan mengenai masalah ini akan
mengakibatkan penanganan pelanggaran administrasi yang berbeda antara kasus
satu dengan yang lain bergantung kepada kemauan KPU sehingga tidak memberikan
kepastian hukum dan dapat mencederai rasa keadilan.
Karena itu KPU
harus segera membuat aturan tersebut sesegera mungkin sebagai pedoman bagi
semua pihak yang terlibat dan berkepentingan dengan penyelenggaraan pemilu.
Peraturan tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi setidaknya
mengatur mengenai kategorisasi tingkat pelanggaran, pemanggilan pelaku,
pembuktian, adanya kesempatan pelaku untuk membela diri, jenis sanksi yang
dapat dijatuhkan berdasar tingkat pelanggaran atau kesalahan, proses
pelaksanaan sanksi, dan ketersediaan waktu yang cukup dan pasti.
d) Penegasan
wewenang dan tanggung jawab penyelesaian pelanggaran administrasi. Terjadi
kerancuan pengaturan dalam ketentuan UU Pemilu antara pasal 248-251 dengan
pasal 113 ayat (2), pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2) serta UU KPU pasal 78
ayat (1) huruf c. Beberapa ketentuan yang bertolak belakang ini menyebabkan
ketidakpastian proses penanganan pelanggaran pemilu yang tidak mengandung unsur
pidana.
Dikuatirkan KPU
dan Bawaslu saling melepaskan tanggung jawab untuk menangani pelanggaran
tersebut. Perlu ada kesepakatan antara KPU dan Bawaslu mengenai pembagian tugas
dan wewenang penyelesaian pelanggaran administrasi. Wewenang Panwaslu
Kabupaten/Kota untuk menangani pelanggaran administrasi pada tahap kampanye
apakah merupakan suatu pengecualian, atau disepakati untuk dikesampingkan
karena bertentangan dengan asas kepastian dan keadilan. Kalau dianggap
pengecualian, maka bagaimana tata cara penyelesaiannya.
e) Pengertian
”hari”. UU Pemilu tidak meberikan definisi dan penjelasan mengenai “hari”
untuk menangani pelanggaran pemilu. Yang dimaksud apakah hanya hari kerja atau
termasuk hari libur dan yang diliburkan (cuti bersama). Akibatnya terjadi
perbedaan pemahaman antar instansi penegak hukum pemilu. Bawaslu, Kepolisian
dan Kejaksaan telah bersepakat bahwa yang dimaksud dengan hari adalah 1 x 24
jam (termasuk di dalamnya hari libur) tetapi MA dan MK menegaskan bahwa hari
adalah hari kerja. KPU, meski beberapa tahapan penyelenggaraan pemilu juga
dibatasi dengan hari, tidak mengatur mengenai hal tersebut. Tidak adanya
pengertian yang sama mengenai masalah ini akan berpotensi mengganggu proses
penanganan pelanggaran khususnya menyangkut batas waktu (daluarsa).
f) Tindakan
terhadap TNI. UU 12/2003 pasal 132 dengan tegas menyatakan bahwa tindakan
kepolisian terhadap pejabat negara seperti anggota DPR, DPD, DPRD, dan PNS
harus dengan ijin khusus sebagaiman diatur dalam UU 13/1970 tidak berlaku.
Ketentuan ini tidak terdapat dalam UU 10/2008, sehingga keputusan Kepolisian
dan Kejaksaan untuk memeriksa anggota legislatif dan PNS tanpa ijin tersebut
memiliki resiko hukum tersendiri. Selain itu, UU Pemilu juga tidak mengatur
keterlibatan POM TNI untuk memeriksa kasus yang menyangkut anggota TNI sementara
penyidik Kepolisian merasa tidak memiliki wewenang untuk memeriksa anggota TNI.
g) Gakkumdu.
Pembuatan nota kesepahaman antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan dan
kesepakatan pembentukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) belum menjawab
kebutuhan terhadap kecepatan penanganan perkara. Pasal 12 MOU menyangkut proses
pengembalian berkas perkara dari PU kepada Penyidik untuk diperbaiki
dimungkinkan terjadi 2 kali masing-masing 3 hari. Kesepakatan ini dapat
dianggap bertentangan ketentuan pasal 253 UU Pemilu yang memberikan kesempatan
pengembalian/perbaikan berkas dari PU ke Penyidik hanya satu kali (3 hari).
Pengulangan ini akan mengakibatkan perkara yang sampai ke PU telah melampaui
tenggat waktu dari yang telah ditentukan dalam UU Pemilu.
h) Banding.
Proses penanganan banding atas putusan PN dilakukan dalam waktu 7 hari yang
terhitung “sejak permohonan banding diterima”. Sementara proses pelimpahan
berkas perkara banding dari PN ke PT dapat dilakukan paling lama 3 hari yang
dihitung sejak “permohonan banding diterima”. Adanya titik hitung yang sama
untuk dua persoalan yang berkelanjutan mengakibatkan waktu pemeriksaan di
tingkat banding berkurang menjadi 4 hari. Dengan pemeriksaan yang sangat
singkat dikhawatirkan PT tidak cukup waktu untuk menangani perkara.
i) Jumlah
aparat. Khusus untuk menangani perkara pemilu Kejaksaan telah menugaskan 2
orang jaksa sementara PN dan PT harus menyediakan hakim khusus 3 – 5 orang
sebagaimana diatur dalam Perma No. 03 tahun 2008 dan SEMA 07/A/2008. Jumlah
aparat tersebut dapat menyebabkan proses penanganan perkara terbengkalai
apabila terjadi penumpukan perkara pada tahapan tertentu karena batasan waktu
yang singkat dalam penanganannya termasuk apabila pelanggaran terjadi di wilayah
yang memiliki kendala geografis.
j) Jenis
Pidana dan Hukum Acara Pemeriksaan. KUHP membedakan tindak pidana sebagai
pelanggaran (tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari 12 bulan ) dan
kejahatan (ancaman hukumannya 12 bulan ke atas).
Dalam KUHAP
pelanggaran menggunakan hukum acara singkat dan kejahatan dengan hukum acara
biasa. tetapi UU 10/2008 tidak membedakannya. Tidak ada penjelasan acara apa
yang akan digunakan untuk mengadili, apakah pelimpahan dengan menggunakan acara
pemeriksaan singkat atau dengan pemeriksaan biasa. Karena menyangkut tanggung
jawab dari perkara inklusif perkara dan barang bukti. Apabila acara pemeriksaan
singkat maka meski berkas perkara telah dilimpahkan tetapi tanggungjawab
tersangka tetap ada pada jaksa sampai proses persidangan. Tetapi apabila
menggunakan acara pemeriksaan biasa, maka sejak pelimpahan berkas tanggung
jawab terhadap barang bukti dan tersangka menjadi tanggung jawab pengadilan.
Selain itu
sanksi pidana pemilu berbentuk kumulatif dengan rentang perbedaan yang cukup
tinggi sehingga dapat memunculkan disparitas putusan.
k) Pelaksanaan
Putusan. UU memerintahkan 3 hari sejak putusan PN/PT dijatuhkan maka harus
segera dilaksanakan oleh jaksa selaku eksekutor. Permasalahannya untuk
melakukan eksekusi mengharuskan jaksa memperoleh salinan putusan dari
pegadilan. Kalau dalam waktu 3 hari salinan putusan belum disampaikan apakah
eksekusi tetap dapat dilaksanakan? Karena terhadap tersangka jaksa tidak dapat
melakukan penahanan seperti pasal 21 KUHAP. Selain itu perlu juga ditegaskan
mengenai bentuk salinan putusan dimaksud, apakah salinan putusan yang diketik,
kutipan atau petikan putusan?
l) Sengketa
Putusan KPU. UU KPU dan UU Pemilu tidak menegaskan bahwa Keputusan KPU
bersifat final dan mengikat. Padahal Keputusan KPU berpotensi menimbulkan
sengketa. Namun begitu UU juga tidak mengatur mekanisme untuk menyelesaikan
sengketa tersebut. Sementara mekanisme gugatan melalui PTUN sulit dilakukan.
Pasal 2 huruf g UU PTUN (UU 5/1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9/2004)
menegaskan ”tidak termasuk ke dalam pengertian Keputusuan TUN adalah Keputusan
KPU baik di Pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilu”. Sekalipun yang
dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan pasal tersebut adalah mengenai
hasil pemilu, tetapi SEMA No. 8/2005 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Pilkada
mengartikan hasil pemilu ”meliputi juga keputusan-keputusan lain yang terkait
dengan pemilu”. Selain itu, dalam berbagai Yurisprudensi MA, telah digariskan
bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam
kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya.
Untuk mengisi kekosongan hukum dan menghindari penafsiran menyimpang tersebut
maka SEMA No. 8/2005 sebaiknya dicabut.
Alternatif Penyelesaian Sengketa Pemilu
Alternatif (I): Gugatan, permintaan pihak yang
merasa dirugikan kepada PTUN untuk membatalkan suatu Keputusan.
Alternatif
(II): Konsiliasi, mempertemukan pihak-pihak yg bersengketa untuk
mencapai suatu kesepakatan.
Alternatif
(III): Mediasi, memberi tawaran alternatif kepada pihak-pihak yang
bersengketa tetapi tidak mengikat.
Alternatif
(IV): Arbitrase, pembuatan satu keputusan untuk menyelesaikan
persengketaan yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang bersengketa.
E. Rekomendasi
Secara umum UU
Pemilu telah memberikan pedoman untuk menyelesaikan pelanggaran yang terjadi.
Pengaturan penyelesaian pelanggaran pemilu dengan batasan waktu yang singkat
bertujuan untuk mendorong penyelesaian kasus yang disesuaikan dengan tahapan
pelaksanaan pemilu sehingga ada jaminan bahwa pemilu diselenggarakan secara
bersih. Persoalannya beberapa ketentuan tidak cukup mampu untuk menindak
terjadinya pelanggaran pemilu apalagi mencegahnya. Hal ini karena ketentuan UU
Pemilu belum lengkap, multitafsir dan beberapa diantaranya kontradiksi.
Upaya mengatasi
permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui pembuatan peraturan tertentu
sebagaimana diamanatkan UU Pemilu, kesepakatan bersama antara KPU – Bawaslu dan
lembaga penegak hukum mengenai tata cara penanganan pelanggaran, serta
meningkatkan kapasitas aparat di masing-masing lembaga mengenai aturan
perundang-undangan pemilu. Penanganan pelanggaran secara jujur dan adil
merupakan bukti adanya perlindungan kedaulatan rakyat dari tindakan-tindakan
yang dapat mencederai proses dan hasil pemilu. Adalah kewajiban bagi pengawas,
penyelenggara dan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa semua pelanggaran
pemilu yang terjadi dapat diselesaikan secara adil dan konsisten.