LATAR BELAKANG
Maraknya kasus-kasus kecelakaan lalu
lintas di jalan raya yang terjadi akhir-akhir ini, sebagai catatan sebut saja
mulai dari kasus kecelakaan tunggal yang menimpa artis dangdut Saipul Jamil
bersama sang istri Virginia di ruas tol Cipularang yang mengakibatkan
meninggalnya istri Saipul Jamil; Kasus tabrakan Xenia maut yang dikendarai
Afriani Susanti hingga menewaskan 9 orang di daerah Tugu Tani Jakarta; Kasus
tabrakan beruntun Honda Jazz maut yang dikemudikan oleh Hadi Reski Ramadhani
seorang pelajar/siswa SMP yang menabrak 15 orang dan mengalami luka-luka di
Makassar; Kasus tabrakan Mercy Maut yang dilakukan oleh Darsan Sutrisna yang
menabrak orang-orang di pinggir Bundaran HI sehingga mengakibatkan satu orang
tewas dan dua orang lainnya luka-luka;
Selanjutnya kasus tabrakan yang
cukup menghebohkan dilakukan oleh seorang model Novi Amalia yang menabrak 7
orang di kawasan Taman Sari, Jakarta Barat, yang mengakibatkan korban-korban
mengalami luka ringan; Kasus kecelakaan Livina Maut yang dilakukan oleh Andika
Pradipta yang mengakibatkan 2 orang tewas, dan 5 orang mengalami luka-luka di
sekitar jalan Ampera Jakarta; hingga kasus kecelakaan lalu lintas yang baruini
terjadi menimpa Rasyid Amrullah, pengemudi BMW X5, anak dari Menteri Hatta
Rajasa, yang mengakibatkan merenggut dua nyawa di Tol Jagorawi.
Faktor dominan dalam terjadinya
kasus-kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi adalah kelalaian atau kekurang
hati-hatian pengemudi, hal ini bisa disebabkan karena dugaan mengemudi dalam
keadaan mengantuk, sampai kepada mengemudi di bawah pengaruh narkoba dan
alkohol.
DASAR HUKUM DAN SANKSI PIDANA BAGI PENGE-
MUDI KENDARAAN YANG MENGAKIBATKAN LUKA-LUKA DAN KEMATIAN DALAM KECELAKAAN LALU
LINTAS
Dalam setiap kasus kecelakaan lalu
lintas yang terjadi di jalan raya, tentunya mempunyai konsekwensi hukum bagi
pengemudi kendaraan tersebut. Ketentuan hukum yang mengatur terkait
kecelakaan maut yang mengakibatkan luka-luka ataupun meninggalnya seseorang,
secara umum adalah KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan secara khusus
adalah diatur dalam Undang Undang (UU) No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas.
Sering kali masyarakat memandang bahwa kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan
luka-luka dan kematian, mutlak kesalahannya selalu pada pengemudi kendaraan
yang bersangkutan. Sedangkan menurut teori hukum yang berlaku bahwa kesalahan
seseorang dilihat dari faktor kejadian yang sebenarnya, faktor apa yang
menyebabkan kecelakaan lalu lintas tersebut. Hal ini dapat diungkapkan dari
kronologis kejadian, kesaksian-kesaksian termasuk saksi mata yang melihat
terjadinya kecelakaan.
Dalam KUHP, pasal yang dapat digunakan
untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kematian dalam
kecelakaan lalu lintas adalah Pasal 359 KUHP, yang berbunyi:
Pasal 359
“Barang siapa karena kesalahannya
(kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”
Kemudian terdapat peraturan
perundang-undangan yang lebih khusus mengatur lebih khusus, rinci dan tegas
lagi tentang berlalu-lintas di jalan raya/tol dan kecelakaan lalu lintas,
termasuk mengatur tentang kelalaian/kealpaan didalam mengemudikan kendaraan
hingga menyebabkan luka-luka dan kematian, yaitu Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), Di dalam UU LLAJ
tersebut, pasal-pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi
kendaraanyang karena kelalaiannya mengakibatkan luka-lua dan kematian bagi
orang lain adalah diatur dalam Pasal 310 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU LLAJ,
yang berbunyi:
(1) “Setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu
Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan
dan/atau denda paling banyak Rp1 juta.”
(2) “Setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu
Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara
paling lama satu tahun dan/atau denda paling banyak Rp2 juta.”
(3) “Setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu
Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4),
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling
banyak Rp10 juta.”
(4) ”Dalam hal kecelakaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal
dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda
paling banyak Rp12 juta.”
Unsur-unsur pidana yang terkandung
dan harus terpenuhi dalam aturan Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ antara lain:
(1) Setiap orang;
(2) Mengemudikan kendaraan bermotor;
(3) Karena lalai; dan
(4) Mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
Atas ke-empat unsur dalam Pasal 310
UU LLAJ tersebut, umumnya unsur ke (3) yang lebih memerlukan waktu agar dapat
terbukti. Melalui penyidikan, aparat penegak hukum, dalam hal ini pihak
kepolisian hendaklah harus membuktikan adanya unsur kelalaian itu.
Atas kedua aturan tersebut atas
apabila apabila dalam kasus kecelakaan tersebut mengakibatkan kematian bagi
seseorang. Maka menurut Hukum yang harus dikenakan bagi pengemudi kendaraan
tersebut adalah jeratan pidana yang diatur dalam UU LJAJ, dalam Hal ini sesuai
dengan ketentuan yang mengacu pada Pasal 63 ayat (2) KUHP menyebutkan bahwa:
Pasal 63 ayat (2)
“Jika suatu perbuatan masuk dalam
suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus,
maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
Acuan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP
tersebut, karena kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian telah
diatur dalam UU LLAJ sebagai peraturan yang bersifat khusus, maka penuntut umum
dalam surat dakwaannya dan Majelis Hakim dalam mengadili dengan menerapkan
ketentuan dalam Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ dengan ancaman pidana maksimum 6
(enam) tahun, dan bukan Pasal 359 dalam KUHP.
Lain lagi jika dalam kasus
kecelakaan lalu lintas yang terjadi, pengemudi tersebut mengemudikan
kendaraan dalam kondisi tertentu yang bisa membahayakan orang lain, ancaman
hukuman pidananya lebih tinggi apabila korbannya meninggal dunia, yaitu ancaman
hukumannya 12 tahun penjara.
Secara lengkap diatur ketentuan
pasal 311 UU LLAJ, yang berbunyi:
Pasal 311
(1) Setiap orang yang dengan sengaja
mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi
nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan
Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka
ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka
berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak
Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda
paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Unsur-unsur
pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan Pasal 311 ayat (5) UU
LLAJ antara lain:
(1) Setiap orang;
(2) Mengemudikan kendaraan bermotor;
(3)Dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor
(1) Setiap orang;
(2) Mengemudikan kendaraan bermotor;
(3)Dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor
dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau
barang
(4) Mengakibatkan orang lain
meninggal dunia.
Dalam ketentuan Pasal 311 UU
LLAJ ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) sebenarnya serupa dengan Pasal 310
UULLAJ, akan tetapi yang membedakan dalam pasal 311 UU LLAJ ini adalah terdapatnya
unsur kesengajaan pengemudi yang mengemudikan kendaraan dengan cara atau
keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang. Hal inilah yang
menyebabkan hukuman pidana dalam pasal 311 UU LLAJ lebih berat jika
dibandingkan dengan Pasal 310 UU LLAJ.
Sebagai tambahan informasi, jika
dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi, pengemudi kendaraan yang
menabrak tidak mempunyai Surat Izin Mengemudi (SIM) yang dengan jenis Kendaraan
Bermotor yang dikemudikan, maka kemudian dapat ditambahkan pengenaan terhadap
pasal 281 UU LLAJ, yang berbunyi:
Pasal 281
“Setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah)”.
Untuk memperjelas pasal diatas,
bunyi Pasal 77 ayat (1) UU LLAJ tersebut adalah:
Pasal 77 ayat (1)
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan”
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan”
KONTROVERSI PENERAPAN HUKUM PIDANA
DALAM KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS
Hal kontroversi atas penerapan hukum
pidana atas kasus kecelakaan lalu lintas jalan raya-pun pernah terjadi, masih
ingat kasus meninggalnya istri Saeful Jamil, berawal dari kecelakaan maut mobil
Toyota Avanza yang dikemudikan oleh Saipul Jamil di kilometer 97 jalan tol
Cipularang-Jawa Barat pada tahun 2011 yang lalu yang mengakibatkan meninggalnya
istrinya sendiri. Segera setelah peristiwa kecelakaan tersebut, pihak aparat kepolisian
meminta pertanggungjawaban hukum terhadap Saipul Jamil akibat kelalaian-nya
hingga mengakibatkan matinya seseorang, yaitu istrinya sendiri.
Hal ini kemudian tentunya langsung
menimbulkan polemik, pro dan kontra-pun terjadi. Bagi pihak yang “pro”
berpendapat; bahwa memang proses hukum harus tetap dilaksanakan dan harus
ditegakkan tanpa pandang bulu (rule of law dan law enforcement). Saipul Jamil,
yang saat itu mengemudikan kendaraan bersama istri dan saudar-saudaranya yang
lain, karena “kelalaiannya” yang termasuk delik culpa/kealpaan yaitu pada saat
mengemudikan kendaraan hingga menyebabkan terjadinya kecelakaan dan berakibat
meninggalnya sang istri, tetaplah harus diproses secara hukum. Sedangkan pihak
yang “kontra” berpendapat, bahwa tidaklah mungkin Saipul Jamil sebagai suami
dari (Alm) Virginia Anggraeni sampai tega atau dengan sengaja
mencelakakan kendaraan-nya sendir, dengan tujuan agar diri-nya atau bahkan
istrinya sampai meninggal dunia.
Atas kejadian proses hukum yang
terjadi bagi Saipul Jamil, kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan di benak kita,
seperti mengapa kasus kecelakaan tersebut harus tetap diproses hukum secara
pidana? apakah bisa gugur dengan sendirinya karena yang meninggal dunia adalah
istri dari Saipul Jamil itu sendiri?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan
tersebut, dapat dilihat jawabannya seperti yang tertuang dalam Pasal 235 ayat
(1) UU LLAJ yang berbunyi:
Pasal 235 ayat (1)
“Jika korban meninggal dunia akibat
Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c,
Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan
kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman
dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana”
Dalam pasal tersebut diatas ditegaskkan khususnya pada perkataan “tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana”. Artinya adalah walaupun pengemudi kendaraan sebagai pihak penabrak telah memberikan pembayaran sejumlah uang atau santunan oleh pihak penabrak kepada korban sebagai penggantian biaya pengobatan di rumah sakit atau memberikan biaya santunan bagi korban yang telah meninggal dunia kepada pihak korban/keluarga korban tetapi tetaplah tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana tersebut, atau dengan kata lain proses hukum harus tetap dilanjutkan. Hal inilah yang perlu disampaikan karena belum banyak orang yang tahu atas aturan tersebut.
Dalam pasal tersebut diatas ditegaskkan khususnya pada perkataan “tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana”. Artinya adalah walaupun pengemudi kendaraan sebagai pihak penabrak telah memberikan pembayaran sejumlah uang atau santunan oleh pihak penabrak kepada korban sebagai penggantian biaya pengobatan di rumah sakit atau memberikan biaya santunan bagi korban yang telah meninggal dunia kepada pihak korban/keluarga korban tetapi tetaplah tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana tersebut, atau dengan kata lain proses hukum harus tetap dilanjutkan. Hal inilah yang perlu disampaikan karena belum banyak orang yang tahu atas aturan tersebut.
Jika dikaitkan dengan kasus
kecelakaan lalu lintas sebagaimana tersebut di atas, baik kecelakaan lalu
lintas ringan, sedang maupun berat adalah termasuk tindak pidana. Hal ini
berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 230 UU LLAJ yang berbunyi:
Pasal 230
“Perkara Kecelakaan Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses
dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
Dalam proses persidangan terhadap
Saipul Jamil tersebut, akhirnya pada bulan September 2012 yang lalu Pengadilan
Negeri Purwakarta resmi dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman selama 5 bulan
penjara dengan masa percobaan 10 bulan.
UPAYA PERDAMAIAN PIDANA DALAM
KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS
Perdamaian dalam hukum pidana dalam
kasus kecelakaan lalu lintas sebenarnya juga sering terjadi dan diterapkan oleh
masyarakat Indonesia. Perdamaian kerap kali terjadi diantara pihak pengemudi
yang menabrak dengan pihak korban dengan cara pembayaran sejumlah uang atau
santunan oleh pihak penabrak kepada korban sebagai penggantian biaya pengobatan
di rumah sakit atau biaya santunan bagi korban yang telah meninggal dunia.
Biasanya pihak korban telah merasa adil sementara pihak pelaku sendiri dengan
tulus ikhlas membayarkan sejumlah uang tersebut.
Meskipun demikian, bagi penerapan
hukum pidana yang berlaku, maka pengemudi sebagai pihak penabrak tetaplah harus
diajukan ke sidang pengadilan untuk diproses secara hukum karena memang secara
aturan hukum tidak ada ketentuan pengecualian walaupun sudah terjadi perdamaian
diantara si penabarak dengan korban. Semua kasus pidana harus diselesaikan
lewat proses peradilan, tidak peduli apakah pengemudi tersebut telah membayar
sejumlah uang atau memberikan santunan kepada korban atau tidak.
Jika dikaitkan dengan kasus-kasus
kecelakaan lalu lintas sebagaimana tersebut di atas, baik itu kecelakaan lalu
lintas ringan, sedang maupun berat ataupun mengakibatkan kematian seseorang adalah
termasuk tindak pidana. Hal ini berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 230
UU LLAJ yang berbunyi:
Pasal 230
“Perkara Kecelakaan Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses
dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Demikian, semoga bermanfaat bagi
kita semua!
(Sumber Kompasiana)