PATUH-Oi

Sunday, November 5, 2017


Delik Pers  (Pencemaran Nama Baik)
Posted by Khair khalis syurkati, SH.MH.

PENGHINAAN atau PENCEMARAN NAMA BAIK seseorang adalah ketentuan hukum yang paling sering digunakan untuk melawan media massa.   Fitnah yang disebarkan secara tertulis dikenal sebagailibel, sedangkan yang diucapkan disebut slander.
Fitnah lazimnya merupakan kasus delik aduan. Seseorang yang nama baiknya dicemarkan bisa melakukan tuntutan ke pengadilan sipil, dan jika menang bisa mendapat ganti rugi. Hukuman pidana penjara juga bisa diterapkan kepada pihak yang melakukan pencemaran nama baik.
Ancaman hukum yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah menyangkut pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. Dalam KUHP setidaknya terdapat 16 pasal yang mengatur soal penghinaan. Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden diancam oleh pasal 134, 136, 137.
Penghinaan terhadap Raja, Kepala Negara sahabat, atau Wakil Negara Asing diatur dalam pasal 142, 143, 144. Penghinaan terhadap institusi atau badan umum (seperi DPR, Menteri, DPR, kejaksaan, kepolisian, gubernur, bupati, camat, dan sejenisnya) diatur dalam pasal 207, 208, dan 209. Jika penghinaan itu terjadi atas orangnya (pejabat pada instansi negara) maka diatur dalam pasal 316.
Penghinaan terhadap anggota masyarakat umum diatur dalam pasal 310, 311, dan 315. Selain itu, masih terdapat sejumlah pasal yang bisa dikategorikan dalam delik penghinaan ini, yaitu pasal 317 (fitnah karena pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa), pasal 320 dan 321 (pencemaran atau penghinaan terhadap seseorang yang sudah mati).
Pasal-Pasal tentang Penghinaan

Pasal 134, 136, 137
>>Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden, dengan cara menyiarkan,
menunjukkan, menempelkan di muka umum
>>Pidana 6 tahun penjara
Pasal 142
>>Penghinaan terhadap Raja/Kepala Negara sahabat
>>Pidana 5 tahun penjara
Pasal 143, 144
>>Penghinaan terhadap wakil negara asing
>>Pidana 5 tahun penjara
Pasal 207, 208, 209
>>Penghinaan terhadap Penguasa dan Badan Umum
>>Pidana 6 bulan penjara
Pasal 310, 311, 315, 316
>>Penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang, tuduhan
dengan tulisan
>>Pidana 9 bulan, 16 bulan penjara
Pasal 317
>>Fitnah pemberitahuan palsu, pengaduan palsu
>>Pidana 4 tahun penjara
Pasal 320, 321
>>Penghinaan atau pencemaran nama orang mati
>>Pidana 4 bulan penjara
(Diolah dari buku Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana yang Ada Kaitannya dengan Media Massa, Departemen Penerangan RI, 1998).

Delik Aduan
Ketentuan hukum penghinaan bersifat delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu. Artinya, masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers—nama baiknya tercemar atau merasa terhina—harus mengadu ke aparat hukum agar perkara bisa diusut.
Kasus penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, dan Instansi Negara, termasuk dalam delik biasa, artinya aparat hukum bisa berinisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan tanpa harus ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Logika dari ketentuan ini adalah presiden, wakil presiden, dan instansi negara adalah simbol negara yang harus dijaga martabatnya. Selain itu, posisi jabatannya tidak memungkinkan mereka bertindak sebagai pengadu.
Dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan, akibatnya perkara hukum yang terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subyektif. Seseorang dengan mudah bisa menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya, jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers, karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers atau wartawan.
Selain itu ketentuan ini juga sering dijuluki sebagai “pasal-pasal karet”, karena begitu lentur untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan. Terlebih-lebih jika pelanggaran itu terkait dengan presiden, wakil presiden, dan instansi negara..
Hakikat penghinaan adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, golongan, lembaga, agama, jabatan, termasuk orang yang sudah meninggal.
Dalam KUHP disebutkan bahwa penghinaan bisa dilakukan dengan cara lisan atau tulisan (tercetak). Adapun bentuk penghinaan dibagi dalam lima kategori, yaitu: pencemaran, pencemaran tertulis, penghinaan ringan, fitnah, fitnah pengaduan dan fitnah tuduhan. Kategorisasi penghinaan tersebut tidak ada yang secara khusus ditujukan untuk pers, meskipun demikian bisa dikenakan untuk pers, dengan ancaman hukuman bervariasi antara empat bulan hingga enam tahun penjara.
Pers sering harus berhadapan dengan anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Penafsiran adanya penghinaan atau pencemaran nama baik (dalam pasal 310 KUHP) ini berlaku jika memenuhi unsur:
1. Dilakukan dengan sengaja, dan dengan maksud agar diketahui umum (tersiar)
2. Bersifat menuduh, dalam hal ini tidak disertai bukti yang mendukung
tuduhan itu.
3. Akibat pencemaran itu jelas merusak kehormatan atau nama baik seseorang.
Misalnya, kasus yang terjadi pada tabloid Warta Republik yang menulis laporan Utama berjudul “Cinta Segitiga Dua Orang Jendral: Try Sutrisno dan Edi Sudradjat Berebut Janda”. Laporan yang dimuat pada edisi pertama, November 1998, itu ditulis tanpa ada wawancara atau konfirmasi dari sumber berita, melainkan hanya bersumber dari desas-desus. Pemimpin Redaksi Warta Republik diadukan ke pengadilan dijatuhi hukuman percobaan, karena mencemarkan nama baik pengadu, yaitu Jenderal TNI (purn.) Try Sutrisno dan Jendral TNI (purn.) Edi Sudradjat.
Dalam kasus itu wartawan tabloid Warta Republik memenuhi unsur sengaja melakukan penghinaan, menuduh tanpa bukti dan telah mencemarkan nama baik pengadu.
Kasus gugatan terhadap majalah Gatra yang diajukan oleh Tommy Soeharto berkaitan dengan tulisan berjudul “Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut” (Edisi No. 48, 17 Oktober 1998), ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta.
Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat Gatra telah telah melakukan peliputan yang sesuai dengan standar kode etik, dan berupaya melengkapi sumber-sumber yang bisa memberikan keterangan dalam melengkapi akurasi laporan.
Dua contoh di atas adalah kasus penghinaan yang bersifat delik aduan, yaitu anggota masyarakat yang merasa dirugikan pers mengadu, sehingga kasusnya diproses secara hukum. Namun,pasal-pasal delik penghinaan ini pada era Orde Baru sering digunakan untuk menekan pers itu untuk kepentingan kekuasaan.
Sejumlah Koran menjadi korban dari pasal-pasal penghinaan yang digunakan secara subjektif oleh aparat, salah satu contoh adalah yang menimpa majalah Sendi, pada 1972. Majalah itu dibredel, surat izin terbitnya dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Tentu saja tuduhan “penghinaan” tersebut tidak pernah dibuktikan dan tanpa melalui proses hukum.
Kasus
Beberapa Kasus Tuntutan Hukum kasus “penghinaan” terhadap berita media cetak
1.     Berita Buana, 4 November 1989
Judul: Banyak Makanan Yang Dihasilkan, Ternyata Mengandung Lemak Babi>>Kasus/dakwaan: menyiarkan berita bohong (pasal 160 KUHP), tidak meneliti kebenaran informasi
>>Hasil akhir: pidan 18 bulan penjara untuk redaktur pelaksana
2.    Pos Kota, Juni 1990
Judul: Permainan Sidang Tilan di PN Jakarta Pusat Semakin Gila
Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik jaksa. Tidak disengaja dan sudah
diralat
>>Hasil akhir: bebas
3.    Warta Republika, 25 Agustus 1999
Judul: Cinta Segitiga Dua Jenderal: Try Sutrisno dan Edi Sudradjat
Berebut Janda
Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik Try S dan Edi S. Sumber tidak jelas,
tidak konfirmasi
>>Hasil akhir: hukuman percobaan
4.    Majalah D&R, 6 Juni 1999
Judul: Tender Proyek, KKN Gubernur
Kasus/dakwaan: Pencemaran nama baik Gub. Sulsel
>>Hasil akhir: tidak jelas
5.    Majalah Gatra, 17 Oktober 1998
Judul: Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut
Kasus/dakwaan: Tommy menggugat 150 milyar atas perbuatan tidak
menyenangkan
>>Hasil akhir: Bebas, memenuhi kode etik
6.    Sriwijaya Pos, 26 AGustus 1999
Judul: KaBakin Terima 400 Milyar
Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik. Gugatan perdata dan pidana
>>Hasil akhir: hukuman percobaan
7.     Tajuk, 23 Juni 1999
Judul: Di Balik Setoran Pribadi itu
Kasus/dakwaan: digugat 10 miliar atas perbuatan melawan hukum
>>Hasil akhir: meminta maaf secara terbuka
8.    Info Bisnis 66/Tahun IV/1999
Judul: Baramuli danm Kredit Rp 800 Milyar
Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik
>>Hasil akhir: tidak jelas.*



(Sumber: www.dewanpers.org).*

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.