PATUH-Oi

Wednesday, September 21, 2016

HAK UNTUK MENGAJUKAN UPAYA HUKUM PASCA PUTUSAN TINGKAT PERTAMA

HAK UNTUK MENGAJUKAN UPAYA HUKUM
PASCA PUTUSAN TINGKAT PERTAMA


UPAYA HUKUM BANDING
Perkara Pidana.
Ketentuan tentang banding dalam perkara pidana diatur dalam Pasal 233 KUHAP sampai dengan Pasal 243 KUHAP.
Jangka waktu untuk mengajukan permintaan banding adalah dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (vide Pasal 196 ayat (2) KUHAP).
Permintaan banding diajukan oleh Terdakwa/ Penasihat Hukumnya atau Penuntut Umum ke Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri yang memutus perkara (vide Pasal 233 ayat (1) KUHAP.
Terhadap putusan perkara pidana yang dijatuhkan Pengadilan Negeri  baik Terdakwa/ Penasihat Hukumnya dan /atau Penuntut Umum dapat mengajukan upaya hukum banding, kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 67 KUHAP). Sedangkan untuk tindak pidana dengan acara pemeriksaan cepat (untuk tindak pidana ringan dan tindak pidana lalu lintas) pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, namun apabila kepada Terdakwa dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan banding (vide Pasal 205 ayat 3 KUHAP).
Perkara Perdata
Ketentuan tentang banding dalam perkara perdata diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan.
Terhadap putusan perkara perdata yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama, salah satu atau para pihak yang berperkara dapat meminta pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi, kecuali putusan yang dijatuhkan tanpa hadirnya tergugat. Tergugat yang tidak hadir tidak dapat mengajukan banding melainkan perlawanan (verzet) dan bila tergugat sudah mengajukan perlawanan, maka Penggugat tidak dapat lagi mengajukan permintaan banding.
Khusus untuk putusan yang bukan putusan akhir seperti halnya putusan sela yang menolak eksepsi tergugat dapat dimintakan banding hanya bersama-sama dengan putusan akhir.
Jangka waktu untuk mengajukan permintaan banding adalah 14 (empat belas) hari terhitung  setelah putusan diucapkan atau diberitahukan bagi pihak yang tidak hadir.
Permintaan banding diajukan oleh pihak berperkara atau Kuasanya ke Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri yang memutus perkara.
KASASI
Ketentuan tentang Kasasi diatur dalam Pasal 28, 29 dan Pasal 30 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009.
Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari Semua Lingkungan Peradilan (Pasal 29 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985). Namun  dalam Pasal 45 A ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dikecualikan untuk perkara tertentu tidak dapat diajukan kasasi, yaitu :
a.        putusan tentang praperadilan ;
b.        perkara pidana yang diancam pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda ;
c.        perkara tata usaha Negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan ;
Mahkamah Agung dalam Tingkat Kasasi membatalkan Putusan atau penetapan Pengadilan-pengadilan dari Semua Lingkungan Peradilan, karena :
a.       tidak berwenang atau melampai batas wewenang ;
b.      salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku ;
c.       lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan ;
Menurut Pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung bahwa permohonan kasasi dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari. Adapun yang dapat mengajukan kasasi adalah pihak dalam perkara tersebut atau Kuasanya. Sedangkan dalam perkara pidana yang dapat mengajukan permohonan kasasi adalah Terdakwa/ Penasihat Hukumnya  atau Penuntut Umum ;
Selain kasasi biasa, dalam Hukum Acara Pidana dikenal pula Kasasi Demi Kepentingan Hukum. Kasasi ini hanya dapat diajukan  1 (satu) kali saja yaitu terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pihak  yang dapat mengajukan adalah Jaksa Agung.
Kasasi demi kepentingan hukum diajukan secara tertulis oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung R.I. melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara pada tingkat pertama.
 Kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh  merugikan pihak yang berkepentingan.
Salinan putusan demi kepentingan hukum oleh Makamah Agung disampaikan kepada Jaksa Agung dan kepada Pengadilan yang bersangkutan dengan disertai berkas perkara.
PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP.
Menurut Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009bahwa Peninjauan Kembali (PK) dapat diajukan hanya 1 (satu) kali dan permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan.
Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana.
Diatur secara Khusus dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dari Pasal 263 sampai dengan Pasal 269.
Permintaan Peninjauan Kembali (PK) dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan PK ke Mahkamah Agung (Pasal 263 ayat 3 KUHAP).
Ahli waris hanya dapat mengajukan permintaan PK dalam hal Terpidana telah meninggal dunia.
Selama persidangan pemeriksaan alasan PK oleh  Majelis Hakim yang ditunjuk walaupun telah ada Kuasanya/ Penasihat Hukumnya, apabila permintaan itu diajukan oleh terpidana, maka ia diharuskan hadir dipersidangan (Pasal 265 ayat 2 KUHAP dan Rakernas Jakarta tahun 2011). Sedangkan apabila terpidana telah meninggal dunia  dan yang mengajukan permintaan PK adalah ahli warisnya, maka Ahli warisnya  harus hadir dipersidangan. Hal ini dapat dipahami dari ketentuan Pasal 265 ayat 2 KUHAP bahwa Pemohon PK dan Jaksa ikut hadir dipersidangan, padahal menurut  Pasal 263 ayat (1)  KUHAP Pemohon PK dapat diajukan oleh Terpidana atau Ahli warisnya.
Dalam praktek dan yurisprudensi terhadap putusan bebas dapat diajukan PK dan terhadap Termohon PK dijatuhi pidana.
Khusus untuk permintaan Peninjauan Kembali dalam perkara pidana tidak dibatasi dengan jangka waktu (Pasal 264 ayat 3 KUHAP).
Permintaan Peninjauan Kembali (PK)  dilakukan atas dasar : 
  1. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan ;
  2. apabila dalam pelbagai putusan, terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilapan hakim suatu kekeliruan nyata.
Ketua Pengadilan setelah menerima permintaan PK menunjuk Majelis Hakim/ hakim    yang tidak memeriksa perkara semula.
Selanjutnya Majelis Hakim yang ditunjuk memeriksa permohonan PK dan setelah memberikan kesempatan kepada Jaksa untuk menyampaikan pendapatnya, Majelis memberikan kesempatan kepada Pemohon PK dan Jaksa untuk mengajukan bukti dan selanjutnya Majelis Hakim memberikan pendapat yang dituangkan dalam Berita Acara Pendapat.
Berita Acara Persidangan ditanda tangani oleh Majelis Hakim, Jaksa, Pemohon PK dan Panitera, sedangkan Berita Acara Pendapat hanya ditandatangani oleh Majelis Hakim dan Panitera.
Setelah kelengkapan berkas terpenuhi maka berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung R.I.
Putusan Mahkamah Agung dapat menerima  atau menolak/tidak menerima Permohonan PK. Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan permohonan PK (menerima), Mahkamah Agung membatalkan putusan yang diminta PK dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa  :
  1. Putusan bebas ;
  2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum ;
  3. Putusan tidak dapat menerima tuntutan ;
  4. Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Peninjauan Kembali dalam Perkara Perdata.
PK dalam Perkara Perdata dapat diajukan pihak yang berperkara berdasarkan atas alasan :
  • Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu ;
  • Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan ;
  • Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut ;
  • Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya ;
  • Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah memberi putusan yang bertentangan satu dengan yang lain ;
  • Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kehilapan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata ;
Permohonan PK tersebut harus diajukan ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama oleh para pihak yang berperkara, ahli warisnya atau  wakilnya yang secara secara khusus memperoleh kuasa untuk itu.
Tenggang waktu pengajuan permohonan PK adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk :
a.   yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahu kepada pihak yang berperkara ;
b.    yang disebut huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh Pejabat yang berwenang ;
c.       yang disebut c, d dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara ;
d.      yang disebut huruf e sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahu kepada pihak yang berperkara.
Terhadap permohonan PK tersebut pihak lawannya berhak mengajukan jawaban dan setelah berkas berkas telah lengkap berkas dikirim ke Mahkamah Agung. Selanjutnya Mahkamah Agung dalam memutus permohonan PK dapat mengabulkan permohuan PK  dengan membatalkan putusan yang dimohon PK dengan memeriksa dan memutuskan sendiri perkaranya. Demikian pula Mahkamah Agung dapat menolak permohonan PK.



Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet).
Perlawanan oleh Pihak ketiga terhadap sita eksekusi atau sita jaminan tidak hanya dapat diajukan atas dasar hak milik, tetapi juga atas dasar hak lainnya.
Dalam praktek selain perlawanan terhadap sita eksekusi atau sita jaminan dikenal pula perlawanan terhadap eksekusi oleh pihak ketiga. Perlawanan ini juga tidak hanya dapat dilakukan atas dasar hak milik,  tetapi juga dapat dilakukan atas dasar hak-hak lainnya, seperti hak pakai, HGB, HGU, hak tanggungan, hak sewa dan lain-lain.
Menurut Prof. Dr Supomo,SH. sebagaimana dikutif oleh Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo,SH., dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia bahwa perlawanan terhadap eksekusi riel, tidak diatur dalam H.I.R, sekalipun demikian dapat diajukan.
Perlawanan pihak ketiga ini adalah upaya hukum luar biasa dan pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi. namun apabila perlawanan tersebut diyakini benar dan beralasan, maka eksekusi ditangguhkan setidaknya sampai dijatuhkan putusan oleh Pengadilan Negeri.
Dalam praktek Ketua Pengadilan Negeri sering menangguhkan pelaksanaan  eksekusi karena adanya perlawanan, dengan pertimbangan apabila eksekusi tersebut dijalankan, apalagi jika ekskusi tersebut adalah eksekusi riel yang bersifat pembongkaran atas bangunan atau penjualan (lelang), maka apabila ternyata perlawanannya tersebut dikabulkan, maka dapat merugikan pelawan, bahkan sulit mengembali objek pada keadaan semula.
Selanjutnya perlu untuk diketahui bahwa perlawanan terhadap eksekusi ini diajukan setelah adanya penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri yang berisi perintah dilaksanakannya eksekusi dan apabila eksekusinya telah selesai dilaksanakan, maka pihak ke tiga dapat diajukan gugatan biasa.
Terhadap putusan ini dapat diajukan upaya hukum.
Dihimpun oleh Ahmad Shalihin, SH.MH., Ketua Pengadilan Negeri Manado.
Di posting oleh PATUH-Oi.


Friday, June 24, 2016

Mengawal Laporan/Pengaduan di Kepolisian

Mengawal Laporan/Pengaduan di Kepolisian

By. Alif Sayyidul Qadr
Di sadur dari tulisan  Ilman Hadi

Mungkin ada diantara kita yang pernah mengadukan masalahnya kepada pihak kepolisian, dan atau pernah melaporkan suatu tindak pidana yag disaksikan, namun setelah menunggu sekian lama proses pemeriksaan tidak berlanjut sesuai dengan harapan, tulisan ini mungkin bisa memberikan solusi jika hal tersebut terjadi.

Antara Laporan dan Pengaduan  
Dalam praktik hukum acara pidana dikenal adanya istilah laporan dan pengaduan. Apa perbedaannya? Pengertian laporan berdasarkan Pasal 1 angka 24 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

Sedangkan, pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya (Pasal 1 angka 25 KUHAP). Lebih lanjut Anda dapat membaca artikel Perbedaan Pengaduan dengan Pelaporan.

Salah satu kewenangan polisi adalah menerima laporan sebagaimana diatur dalamPasal 15 ayat (1) huruf a UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”). Melayani masyarakat merupakan tugas utama polisi (lihat Pasal 13 huruf c jo. Pasal 14 ayat (1) huruf k UU Kepolisian).

Pengaturan lebih lanjut mengenai laporan tindak pidana diatur dalam Perkapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana(“Perkapolri 14/2012”). Ketika masyarakat melakukan pelaporan, maka polisi akan membuat laporan polisi berdasarkan laporan masyarakat yang disebut dengan Laporan Model B (Pasal 5 ayat (3) Perkapolri 14/2012).

Memang sudah sepatutnya laporan mengenai suatu tindak pidana ditindaklanjuti oleh polisi. Akan tetapi, terkadang laporan tersebut tidak kunjung mengalami perkembangan. Pelapor dalam hal ini dapat melakukan upaya pengaduan masyarakat (“Dumas”) sebagaimana diatur dalam Perkapolri No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 2/2012”).

Menurut Pasal 4 ayat (1) Perkapolri 2/2012 Dumas dapat disampaikan langsung maupun tidak langsung.

Dumas secara langsung (Pasal 4 ayat [2] Perkapolri 2/2012), merupakan pengaduan yang disampaikan oleh pengadu secara langsung melalui:
a. Sentra Pelayanan Dumas; dan
b. setiap Pegawai Negeri pada Polri.

Sedangkan, Dumas secara tidak langsung, merupakan pengaduan yang disampaikan oleh pengadu melalui :
1.    surat
2.    Tromol Pos 7777 atau kotak pos Dumas Mabes Polri atau pada masing-masing kesatuan kewilayahan;
3.    website dan e-mail Polri;
4.    telepon, faksimili, atau SMS;
5.    media massa dan jejaring sosial;
6.    surat Dumas melalui lembaga kemasyarakatan:
a.    Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); dan
b.    Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau Advokat;
7.    Surat Dumas melalui Tokoh Agama (Toga), Tokoh Masyarakat (Tomas), Tokoh Adat (Todat), atau Tokoh Pemuda (Toda)

Dumas dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung mengenaikomplain atau ketidakpuasan terhadap pelayanan anggota Polri dalam pelaksanaan tugas, serta permintaan klarifikasi atau kejelasan atas penanganan perkara yang ditangani Polri atau tindakan kepolisian (Pasal 5 huruf a dan d Perkapolri 2/2012).

Dumas dapat disampaikan kepada Sentra Pelayanan Dumas mulai dari tingkat Polsek hingga tingkat Mabes Polri (Pasal 6 ayat (1) Perkapolri 2/2012).

Penanganan dumas ditangani oleh pihak-pihak yang diatur dalam Pasal 24 Perkapolri 2/2012 yaitu
a.     Itwasum Polri, untuk lingkungan Polri;
b.  Biro Pengawasan Penyidikan (Rowassidik) Bareskrim Polri, untuk lingkungan Bareskrim Polri;
c.  Bagian Pelayanan Pengaduan (Bagyanduan) Divpropam Polri, untuk lingkungan Divpropam
         Polri;
d.     Itwasda, untuk lingkungan Polda, Polres, dan Polsek;
e.      Bagwassidik Polda, untuk lingkungan Ditreskrim Polda;
f.       Bidpropam Polda, untuk lingkungan Bidpropam Polda; dan
g.     Siwas, untuk lingkungan Polres dan Polsek.

Jadi, pelapor yang laporannya tidak ditindaklanjuti oleh polisi dapat melakukan upaya pengaduan masyarakat melalui cara yang telah dijelaskan sebelumnya. Pengaduan masyarakat dapat ditujukan untuk komplain atau ketidakpuasan terhadap pelayanan anggota Polri dalam pelaksanaan tugas, serta permintaan klarifikasi atau kejelasan atas penanganan perkara yang ditangani Polri.

Demikian Ulasan dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
3.      Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara 
         Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia

Friday, April 22, 2016

  WEWENANG PEMBERIAN HAK TERHADAP TANAH NEGARA
oleh ALIF SQ

1.    PENDAHULUAN

Sering kali kita mendengar sebidang tanah disebut sebagai tanah Negara jika ditanyakan apa yang dimaksud dengan tanah Negara, kenapa disebut demikian, apakah ada perbedaan dengan tanah jenis yang lain, dimana kita menemukan tanah Negara, dimana diatur mengenai tanah Negara ini, dan siapa yang berwenang mengaturnya. Untuk apa tanah Negara apakah kita bisa memiliki tanah Negara. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu maka sesuai dengan isu yang hendak dikemukakan yakni tanah Negara dan wewenang pemberian haknya diawali dari pengertian atau makna, selanjutnya sejarah dan ketentuan hukum wewenang pemberian haknya.

2.    KONSEP TANAH NEGARA

Sebutan untuk “ Tanah” ( land ) dapat mempunyai arti yang berbeda tergantung dari sudut pandang keilmuan untuk pengartikannya. Dalam konsep hukum tanah tidak sekedar permukaan bumi, namun mempunyai tiga dimensi yakni ruang angkasa, permukaan bumi dan dibawah tubuh bumi ( lihat Peter butt, 2001). Dalam konteks hukum tanah, tanah diartikan sebagai “ permukaan bumi” ( lihat pasal 4 ayat 1UUPA). 
“Tanah Negara” seperti hal sebutan tanah yang lain - misalnya tanah milik dan sebagainya - hal ini menunjukan suatu status hubungan hukum tertentu antara obyek dan subyeknya yang dalam konteks ini lebih kepada hubungan kepemilikanatau kepunyaan antara subyek dan obyek yang bersangkutan. Dalam pengertian tersebut maka jika kita menyebutkan tanah Negara artinya adalah tanah sebagai obyek dan Negara sebagai subyeknya dimana Negara sebagai subyek mempunyai hubungan hukum tertentu dengan obyeknya yakni tanah. adapun hubungan hukum itu dapat berupa hubungan kepemilikan kekuasaan atau kepunyaan.
Didalam konsep hukum Sebutan menguasai atu dikuasai dengan dimiliki ataupun kepunyaan dalam konteks yuridis mempunyai arti/makna berbeda dan menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula. Arti dikuasai tidak sama dengan pengertian dimiliki. Jika kita menyebutkan tanah tersebut dikuasai atau menguasai dalam arti “ possession” makna yuridisnya adalah tanah tersebut dikuasai seseorang secara fisik dalam arti factual digarap, dihuni, namun belum tentu bahwa secara yuridis dia adalah pemilik atau yang punya tanah tersebut. Demikian juga bila menyebutkan bahwa tanah tersebut di miliki atau kepunyaan dalam arti “ Ownership” dalam pengertian juridis maka dapat diartikan bahwa tanah tersebut secara yuridis merupakan tanah milik atau kepunyaan, namun bukan berarti juga dia secara fisik menguasai tanah tersebut, karena mungkin adanya hubungan kerjasama atau kontraktual tertentu. Bentuk lain bisa juga bahwa tanah tersebut diduduki oleh orang tanpa ijin yang berhak “ okupasi”. Makna okupasi atau “accupation” lebih kepada penguasaan secara pisik atau factual tanpa diikuti hak ( right) dalam arti sah secara hukum. “tanah Negara” diartikan sebagai pemilik dalam arti kepunyaan atas tanah dapat ditemukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda dimana Indonesia sebagai bagian dari kerajaan Belanda. Berasal dari latar belakang system ketatanegara yang berbentuk absolute / monarchi, ( system feodalisme). Tanah dalam wilayah kekuasaan adalah tanah milik Raja / ratu sebagai pemilik. Wilayah kekuasaan cakupannya termasuk daerah jajahan - Indonesia bagian dari wilayah kerajaan Belanda - dan disisi yang lain rakyat yang berada diwilayah tersebut berposisi sebagai penggarap atau penyewa tanah (lihat pula Curzon, 1989). Konsekuensi logis dari model hubungan antara Raja sebagai pemilik dan rakyat sebagai penyewa dikenal sebagai system kepemilikan tanah yang disebut sebagai dotrin “ land tenure”.
Dalam tataran politik hukum tanah pada waktu itu tanah Negara adalah tanah milik Negara ( Raja/Ratu) diterapkan di Indonesia melalui produk hukum dalam peraturan “ agrarisch besluit” yang diundangkan dalam lembaran Negara “Staatblad” no. 118 tahun 1870 ( S. 1870-118).
Dalam pasal 1, disebutkan:
“ behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet door anderen regt van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is”.
( dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 2 dan 3 Agrarisch Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein ( milik ) Negara). Ketentuan pasal 1 Agrarisch Besluit ini dikenal sebagai pernyataan kepemilikan     “ Domein Verklaring” dari Negara dan dikenal sebagai pernyataan domein umum     ( algemene Domein Verklaring ).  
Disamping itu, dikenal juga adanya pernyataan domein khusus ( speciale Domein Verklaring ) yang tercantum dalam peraturan perundangan tentang pengaturan hak erfpaht yang diundangkan dalam S. 1875 – 94f, S. 1877 – 55 dan S. 1888 – 55. Rumusannya sebagai berikut:
“ alle woeste gronden in de Gouvernementsladen op…. berhooren, voorzoover daarop door leden der inheemsche bevolking gene aan het ontginningsrecht ontleende rechten worden uitgeoefend, tot het Staatsdomein. Over dit tot het Staatsdomein behoorende gronden, berust behoudens het ontginningsrecht der bevolking, de beschikking iutluitend bij het Gouvernement” ( engelbrecht, 1960, halaman 2051).
“Semua tanah kosong dalam daerah pemerintahan langsung di… adalah domein Negara, kecuali yang diusahakan oleh para penduduk asli dengan hak-hak yang bersumber pada hak membuka hutan. Mengenai tanah-tanah Negara tersebut kewenangan untuk memutuskan pemberiannnya kepada pihak lain hanya ada pada pemerintah, tanpa mengurangi hak yang sudah dipunyai oleh penduduk untuk membukanya”.
Pernyataan kepemilikan ini menjadikan landasan hukum Negara /pemerintahan pada waktu itu untuk memberikan tanah dengan hak kepemilikan dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUUHPdt, seperti hak Erfpacht, hak Opstal dan lain2nya. Dalam rangka domein verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah dan sebagai alat pembuktian pemilikan tanah. ( lihat budi harsono, h. 43). Pernyataan domein Negara yang diatur dalam pasal 1 Agrarisch besluit ini paralel dengan yang diatur dalam BW. Dalam pasal 519 dan pasal 520 BW, mengatur bahwa setiap bidang tanah selalu ada yang memiliki. Kalau tidak dimiliki oleh perorangan atau badan hukum, maka negaralah pemiliknya.

Atas dasar pasal 1 Agrarisch besluit ini maka dikenal adanya dua bentuk tanah Negara yakni:
Pertama, tanah – tanah Negara yang disebut dengan tanah Negara bebas “ vrij landsdomein” yaitu tanah Negara yang benar-benar bebas artinya bahwa tanah tersebut belum ada atau belum pernah dilekati oleh sesuatu hak apapun. Pengertian hak disini harus diartikan yuridis yang diatur dalam ketentuan hukum barat (BW) termasuk didalamnya hak rakyat atas tanah yang pada waktu itu tanah-tanah yang mendasarkan pada hukum adat setempat. Sepanjang tidak didaftarkan haknya dengan cara menundukkan diri secara suka rela kepada hukum barat maka tanah yang dikuasai rakyat merupakan bagian dari atau berstatus sebagai tanah Negara yang diistilahkan sebagai tanah Negara yang diduduki oleh rakyat.
Dalam perkembangannya ternyata pemerintah Hindia Belanda juga berpendapat bahwa sebutan tanah Negara bebas ini cakupannya dibedakan menjadi dua:
1. Tanah – tanah menjadi tanah Negara bebas karena dibebaskan dari hak-hak milik rakyat oleh suatu Instansi / departemen, dianggap tanah Negara dibawah penguasaan departemen yang membebaskan;
2. Tanah Negara bebas yang tidak ada penguasaan secara nyata diserahkan kepada suatu departemen, dianggap bahwa tanah tersebut dimasukkan kedalam penguasaan departemen dalam negeri ( Binnen van bestuur)

Kedua, tanah Negara yang tidak bebas “ onvrij landsdomein” yaitu tanah Negara yang diatasnya ada hak-hak rakyat atas tanah atau tanah yang dikuasai atau diduduki oleh rakyat berdasarkan pada hukum adat mereka ( hak ulayat masyarakat hokum adat).
Setelah kemerdekaan, sebelum terbitnya UU. No. 5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan sebutan UUPA, pengertian Tanah Negara, ditemukan dalam PP No. 8 tahun 1953 ( L.N. 1953, No. 14, T.L.N. No. 362). Dalam PP tersebut Tanah Negara dimaknai sebagai “ tanah yang dikuasai penuh oleh negara”.
Substansi dari pengertian tanah Negara ini adalah tanah-tanah memang bebas dari hak-hak yang melekat diatas tanah tersebut apakah hak barat maupun hak adat ( vrij landsdomein). Dengan terbitnya UUPA tahun 1960, pengertian tanah Negara ditegaskan bukan dikuasai penuh akan tetapi merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara (lihat, penjelasan umum II (2) UUPA), artinya negara di kontruksikan negara bukan pemilik tanah, Negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat yang bertindak selaku badan penguasa, yang diberikan wewenang oleh rakyat: a. Mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas ( bagian dari ) bumi, air dan ruang angkasa itu; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai buni, air dan ruang angkasa.” Substansi tanah Negara setelah UUPA, didalam berbagai peraturan perundangan disebutkan bahwa pengertian tanah Negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah.

Atas pemahaman konsep dan peraturan perundangan tentang pengertian tanah Negara dapat ditarik kesimpulan dalam tataran yuridis bahwa terdapat dua kategori tanah Negara dilihat dari asal usulnya:
1.    Tanah Negara yang berasal dari tanah yang benar-benar belum pernah ada hak atas tanah yang melekatinya atau disebut sebagai tanah Negara bebas;
2.    Tanah Negara yang berasal dari tanah-tanah yang sebelumnya ada haknya, karena sesuatu hal atau adanya perbuatan hukum tertentu menjadi tanah Negara. Tanah bekas hak barat, tanah dengan hak atas tanah tertentu yang telah berakhir jangka waktunya, tanah yang dicabut haknya, tanah yang dilepaskan secara sukarela oleh pemiliknya.

3. WEWENANG PEMBERIAN HAK
Pada prinsipnya karena status tanah merupakan tanah Negara maka baik pada masa pemerintah Hindia Belanda maupun pada masa pemerintahan RI, wewenang pemberian hak atas tanah Negara ada pada Negara, jika masa pemerintahan Hindia Belanda yang diwakili oleh gubernur jenderal, setelah merdeka wewenang pemberian hak atas tanah Negara ada pada Menteri selaku pejabat Negara yang mendapatkan wewenang pendelegasian dari Presiden. Dan selanjutnya menteri atau pejabat yang memperoleh delegasi dari presidan melimpahkan tugas dan wewenang tersebut kepada pejabat jajaran yang ada dibawahnya.
Didalam UU No. 7 tahun 1958, tentang peralihan tugas dan wewenang agraria, adalah merupakan peraturan perundangan awal kemerdekaan yang mengatur pelimpahan wewenang kementerian agraria. Di dalamnya disebutkan : Tugas dan wewenang yang menurut peraturan2 undang-undang dan ketentuan2 tata usaha yang tercantum dalam daftar lampiran dari undang2 ini diberikan kepada: a. Gubernur jenderal, direktur van Binnenlands Bestuur dan Menteri Dalam negeri; b. Hoofd van Gewestelijk bestuur, gubernur, residen, Hoofd van Plaatselijk Bestuur, bupati, walikota, wedana,dan pejabat2 pamongpraja lainnya, termasuk tugas dan wewenang yang menurut sesuatu peraturan atau keputusan telah ada atau telah diserahkan kepada sesuatu badan penguasa; dengan berlakunya undang-undang ini beralih kepada menteri agraria.
Pengaturan peraturan perundang-undangan tentang wewenang pemberian hak atas tanah Negara, di atur dalam beberapa peraturan sebagai berikut:
1.    Keputusan Menteri Agraria No. SK. 112/Ka/ 61, tentang pembagian tugas wewenang agrarian; ditetapkan tanggal 1 April 1961, berlaku surut sejak tanggal 1 Mei 1960; Dengan berlakunya peraturan ini mencabut Keputusan tanggal 22 Oktober 1959, No. SK/495 / Ka/ 59, yang disempurnakan dengan Keputusan tanggal 4 Mei 1960, No. SK/599/Ka/ 60
2.    Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 12 September 1962, No. SK. XIII/ 17/ Ka/ 1962, tentang penunjukan pejabat yang dimaksud dalam pasal 14 PP No. 221/ 1962. ketentuan ini mengatur tentang wewenang pemberian hak milik atas tanah yang dibagikan dalam rangka Landreform;
3.    Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 21 Juli 1967, No. SK 4/ Ka, tentang perubahan keputusan Menteri Agraria No. SK. 112/ Ka/ 61. ketentuan ini merupakan pengaturan mengenai wewenang pemberian hak pakai yang menyimpang dari ketentuan yang diatur oleh Keputusan Menteri Agraria No. Sk. 112/ ka/61;.
4.    Keputusan Deputy Menteri Kepala Departemen Agraria tanggal 1 Juli 1966, No. SK. 45/ Depag/ 66, tentang Pembagian tugas dan wewenang agrarian dalam hubungannya dengan pemberian hak dan wewenang atas tanah;
Dengan berlakunya Peraturan ini maka peraturan wewenang yang diatur dalam Keputusan Menteri No. SK. 112/Ka/ 1961; Keputusan Menteri agrarian No. SK. XIII/ 5/ Ka; Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. SK. 4 / Ka; Keputusan Menteri Agraria No. SK. 336/ Ka; dan Keputusan Menteri Agraria No. SK. 3/ Ka/ 1962, sepanjang telah diatur dalam peraturan ini dicabut atau tidak berlaku.
5.    PMDN NO. 1 TAHUN 1967 Tentang pembagian tugas dan wewenang agrarian; jo. PERATURAN MENERI DALAM NEGERI NO. 88 TAHUN 1972 tentang sususnan organisasi dan tata kerja Direktorat Agraria Propinsi dan sub direktorat agrarian kabupaten/ Kotamadya. dengan berlakunya peraturan ini, maka Surat keputusan Menteri Agraria No. SK 112/Ka/1961 dan Surat Keputusan Deputy Menteri Kepala Departeman Agraria No. Sk 45/ Depag/ 1966 dicabut kembali.
6.    PMDN No. 6 tahun 1972, tentang pelimpahan wewenang pemberian Hak atas tanah;
7.    Permenag/ KBPN No. 3 tahun 1999, tentang Pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah Negara;
Dengan terbitnya PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NO. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah Negara, maka peraturan perundangan yang ada sebelumnya menjadi tidak berlaku. Peraturan ini mengatur sebagai berikut:
Didalam Pasal 2, disebutkan:
(1)  dengan peraturan ini kewenangan pemberian hak atas tanah secara individual dan secara kolektif, dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah dilimpahkan sebagian kepada kepala kantor wilayah BPN atau Kepala kantor Pertanahan kabupaten / kota madya
(2)  pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dalam peraturan ini meliputi pula keewenangan untuk menegasan bahwa tanah yang akan diberikan dengan sesuatu hak atas tanah adalah tanah Negara;
(3)  dalam hal tidak ditentukan secara khusus dalam pasal atau ayat yang bersangkutan, maka pelimpahan kewenangan yang ditetapkan dalam peraturan ini hanya meliputi kewenangan mengenai hak atas tanah Negara yang sebagian kewenangan mengusai dari Negara tidak dilimpahkan kepada instansi atau badan lain dengan hak pengelolaan.
Kewenangan Kepala Kantor untuk memberikan hak diatur dalam Pasal 3, 4 dan 5 sebagai berikut:

Hak milik ( pasal 3), Kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya memberi keputusan mengenai:
1.    pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih
2.    pemberian hak milik atas atanh non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna usaha;
3.    pemberian hak milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program:
a.   transmigrasi; b. redistribusi; c. Konsolidasi; d. pendaftaran tanah secara masal baik dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadic
Hak Guna Bangunan (pasal 4), Kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya memberi keputusan mengenai:
a.   pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna bangunan;
b.   semua pemberian hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan;
Hak Pakai ( Pasal 5), Kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya memberi keputusan mengenai:
a.   pemberian hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha;
b.   pemberian hak pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna usaha;
c.    semua pemberian hak pakai atas tanah hak pengelolaan;
didalam pasal 6 perubahan hak, kepala kantor pertanahan memberi keputusan mengenai semua perubahan hak atas tanah, kecuali perubahan hak guna usaha menjadi hak lain;

Kewenangan Kantor Wilayah BPN Propinsi diatur dalam Pasal 7, 8, 9 dan 10 sebagai berikut:
Pasal 7, kepala kantor wilayah BPN propinsi memberi keputusan mengenai:
1. pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha;
2. pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 5000m2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada kepala kantor pertanahan kabupaten / kota madya sebagaimana dimaksud dalam pasal 3;
pasal 8 hak guna usaha, kepala kantor wilayah BPN propinsi memberikan keputusan mengenai pemberian hak guna usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 ha.
pasal 9 hak guna bangunan, kepala kantor wilayah BPN Propinsi emberi keputusan mengenai pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 150.000 m2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor pertanahan kabupaten / kotamadya.
Pasal 10 Hak pakai, Kepala kantor wilayah BPN Propinsi memberi keputusan mengenai:
a. pemberian hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha.
b. Pemberian hak pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 150.000 m2 kecuali kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaiman dimaksuf dalam pasal 5;
Pasal 11 pemberian hak lain, Kepala kantor wilayah BPN Propinsi memberi keputusan mengenai pemberian hak atas tanah yang sudah dilimpahkan kewenangan pemberiannya kepada kepala kantor pertanahan kabpaten / kotamadya sebagaimana dimaksud dalam bab II apabila atas laporan kepala kantor pertanahan kabupaten /kotamadya hal tersebut diperlukan berdasarkan keadaan dilapangan
Pasal 12 pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah, Kepala kantor wilayah BPN propinsi memberi keputusan mengenai:
a. pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang telah dikeluarkan oleh kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya
b. pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang kewenangan pemberian nya dilimpahkan kepada kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya dan kepada kepala kantor wilayah BPN propinsi, untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
pasal 13, Menteri Negara Agraria / kepala BPN menetapkan pemberian hak atas tanah yang diberikan secara umum. Selanjutnya didalam Pasal 14 disebutnya:
(1) Menteri Negara Agraria / KBPN memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tanah yang tidak dilimpahkan kewenangannya kepada kepala Kantor wilayah BPN Propinsi atau kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III
(2) Menteri Negara Agraria / KBPN memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tamah yang telah dilimpahkan kewenangannya kepada kepala kantor wilayah BPN Propinsi atau kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaimana dimaksud bab II dan III apabila atas laporan kepala kantor wilayah BPN ptropinsi hal tersebut diperlukan berdasarkan keadaan dilapangan.

4. KARAKTER SERTIFIKAT DAN AKIBAT HUKUMNYA

Konstruksi hukum Sertifikat yang lahir dari pendaftaran tanah yang berasal dari tanah yang berstatus Negara mempunyai karakter yang bersifat “konstitutif”. Sifat karekter ini timbul sebagai akibat adanya suatu keputusan atau penetapan dari badan / pejabat tata Usaha Negara dalam hal ini BPN yang menetapkan pemberian hak atas tanah kepada seseorang atau badan hukum yang mengajukan permohonan suatu hak atas tanah yang berstatus tanah Negara. Fungsi dari surat keputusan pemberian hak tersebut adalah sebagai tanda bukti kepemilikan bahwa seseorang atau badan hokum memperoleh hak atas suatu bidang tanah.

Surat keputusan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan oleh Badan/ Pejabat Tata Usaha berfungsi sebagai dasar atau alas hak pengakuan Negara terhadap seorang atau badan hokum atas sebidang tanah yang dikuasainya. Kenapa demikian, karena untuk dapatnya sesorang atau badan hokum memiliki atau mengusai hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara harus memenuhi persyaratan dan kewajiban yang diuraikan dalam surat keputusan tersebut. Bila mana syarat dan kewajiban dipenuhi maka harus didaftarkan agar memperoleh tanda bukti kepemilikan yang berupa sertifikat hak atas tanah.



Di sadur dari : Boedi Djatmiko