PATUH-Oi

Thursday, December 17, 2015

Implikasi Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Penyidikan Tindak Pidana Korupsi


 Implikasi  Undang-Undang  RI  Nomor 30 Tahun 2014  tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Alif Sayyidul Qadr

Sejalan dengan pemberlakuan UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang telah diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2014 yang lalu ternyata memancing perebatan dan diskursus oleh perbagai segmen baik dari pengamat hukum, pemerhati hukum, penegak hukum,  akademisi hingga praktisi-praktisi hukum tentang gugurnya kapasitas penyidik dalam menilai suatu perbuatan termasuk dalam ranah penyalahgunaan wewenang karena telah beralih kepada Pengadilan Tata Usaha Negara untuk diuji terlebih dahulu.
Apakah benar demikian adanya?
Setidaknya orang-orang yang berkesimpulan demikian mengambil pengertian tersebut dari bunyi ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU Administasi Pemerintahan tersebut, yaitu sebagai berikut :
Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan
Sedangkan yang dimaksud dengan Pengadilan pada ayat di atas dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 18 UU yang sama, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara.
Frasa menyalahgunakan kewenangan/ penyalahgunaan wewenang dapat kita temukan dalam rumusan Pasal 3 UU PTPK, yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut :
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dengan demikian unsur “menyalahgunakan kewenangan” sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diartikan memiliki pengertian yang sama dengan “penyalahgunaan kewenangan” sebagaimana disebut dalam Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, atau lebih jauh lagi bahwa ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tersebut dianggap telah mencabut kewenangan yang dimiliki penyidik dalam melakukan penyidikan dalam rangka mengetahui apakah telah terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh seorang tersangka selaku pejabat pemerintahan yang mana menurut hal tersebut seharusnya menjadi objek untuk diuji terlebih dahulu di Peradilan Tata Usaha Negara.
Sesungguhnya diskursus ini hanya mengulang kembali perdebatan lama di antara para ahli hukum tentang adanya keterkaitan antara hukum administrasi negara dengan hukum pidana yang dalam hal ini khususnya mengenai tindak pidana korupsi. Keterkaitan tersebut menimbulkan kesulitan dalam membedakan kapan seorang aparatur negara itu melakukanperbuatan melawan hukum yang masuk dalam ruang lingkup hukum pidana dan kapan dapat dikatakan melakukan penyalahgunaan wewenang yang masuk dalam ruang lingkup hukum administrasi negara.
Penyalahgunaan kewenangan mempunyai karakter atau ciri :
1.    Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian kewenangan;
2.    Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas legalitas;
3.    Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik;
Secara substansial, asas spesialitas (specialialiteit beginsel) mengandung makna bahwa setiap kewenangan memiliki tujuan tertentu. Penyimpangan terhadap asas ini akan melahirkan penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir). Parameter peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik dipergunakan untuk membuktikan instrumen  atau modus penyalahgunaan kewenangan (penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3 UUPTPK), sedangkan penyalahgunaan kewenangan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana apabila berimplikasi terhadap kerugian negara atau perekonomian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap, gratifikasi, dan pemerasan), Tersangka mendapat keuntungan, masyarakat tidak dilayani, dan perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela.
Pada kenyataannya, tanpa bermaksud untuk ikut larut dalam perdebatan akademis tersebut, sesungguhnya hukum pidana menganut prinsip “personal responsibility” yang artinya tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. Hal ini secara langsung telah memberi garis batas yang jelas dalam hal ditemukan adanya “wilayah abu-abu” dalam peririsan antara hukum administrasi dengan hukum pidana. Pada hukum administrasi berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan), sedangkan dalam hukum pidana berlaku prinsip pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility). Dalam hal ini penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparatur negara dengan tujuan-tujuan yang tidak dibenarkan dan khususnya untuk tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang tersebut mengakibatkan kerugian negara atau perekonomian negara maka hal tersebut merupakan perbuatan melawan hukum yang dipertanggung jawabkan secara pribadi dan masuk ruang lingkup hukum pidana.
Untuk memberi kesimpulan yang jelas bahwa pengertian “penyalahgunaan wewenang” sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 3 UUPTPK tidak bisa ditafsirkan secara paralel melalui ketentuan di luar hukum pidana marilah kita simak Putusan Mahkamah Agung RI No. 979 K/Pid/2004 yang mana salah satu pertimbangannya berbunyi sebagai berikut :
Menimbang, bahwa sehubungan dengan unsur tindak pidana tersebut, terlebih dahulu perlu dikemukakan pendapat-pendapat Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H. dalam makalahnya “Antara Kebijakan Publik” (Publiek Beleid, Azas Perbuatan Melawan Hukum Materiel dalam Prespektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia)” yang pada pokoknya adalah Pengertian “menyalahgunakan wewenang” dalam hukum pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi tidak memiliki pengertian yang eksplisitas sifatnya. Mengingat tidak adanya eksplisitas pengertian tersebut dalam hukum pidana, maka dipergunakan pendekatan ektensif berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen tentang kajian “De Autonomie van het Materiele Strafrecht” (Otonomi dari hukum pidana materiel). Intinya mempertanyakan apakah ada harmoni dan disharmoni antara pengertian yang sama antara hukum pidana, khususnya dengan Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara dimana kita memberikan pengertian dalam Undang-Undang Hukum Pidana dengan isi lain mengenai pengertian yang sama bunyinya dalam cabang hukum lain, ataupun dikesampingkan teori, fiksi dan konstruksi dalam menerapkan hukum pidana pada cabang hukum lain. Kesimpulannya dikatakan bahwa mengenai perkataan yang sama, Hukum Pidana mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika hukum pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Dengan demikian apabila pengertian “menyalahgunakan kewenangan” tidak ditemukan eksplisitasnya dalam hukum pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya;, sebagai suatu cabang hukum lainnya. Di sini akan diupayakan keterkaitan pengertian yang sama bunyinya antara cabang ilmu hukum pidana dengan cabang ilmu hukum lainnya. Apakah yang dimaksud dengan disharmoni dalam hal-hal

(Di sadur dari postingan Law of Causality)



Friday, December 4, 2015

Wednesday, August 12, 2015

PLAT MERAH DAN PLAT HITAM KENDARAAN BERMOTOR

Maraknya Prilaku Pejabat, dengan berbagai motivasinya baik untuk mengakali SUBSIDI BBM pemerintah hingga alasan untuk menghindari tindakan anarkis dari unjuk rasa warga masyarakat/mahasiswa yang berdemo serta berbagai tujuan lainnya, dengan 
merubah/mengganti PLAT KENDARAAN DINAS (PLAT MERAH) menjadi PLAT KENDARAAN PRIBADI/UMUM (PLAT HITAM) banyak menuai prokontra ditengah masyarakat, untuk memberikan kejelsaan atas perbuatan Pergantian PLAT MERAH ke PLAT HITAM atau sebaliknya tersebut berikut kami jelaskan perihal tersebut

Mengenai plat merah, dapat ditemukan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Registrasi Dan Identifikasi Kendaraan Bermotor (“Perkapolri 5/2012”).

Dalam Perkapolri 5/2012, plat kendaraan disebut dengan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (“TNKB”). TNKB adalah tanda regident kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai bukti legitimasi pengoperasian kendaraan bermotor berupa pelat atau berbahan lain dengan spefikasi tertentu yang diterbitkan Polri dan berisikan kode wilayah, nomor registrasi, serta masa berlaku dan dipasang pada kendaraan bermotor. (vide :Pasal 1 angka 10 Perkapolri 5/2012)
TNKB dibuat dari bahan yang mempunyai unsur-unsur pengaman sesuai spesifikasi teknis berupa logo lantas dan pengaman lain yang berfungsi sebagai penjamin legalitas TNKB.(Vide : Pasal 39 ayat (1) jo. ayat (2) Perkapolri 5/2012)

Sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (3) Perkapolri 5/2012 warna TNKB, ada beberapa warna TNKB sebagai berikut :
a.    dasar hitam, tulisan putih untuk kendaraan bermotor perseorangan dan kendaraan bermotor sewa;
b.    dasar kuning, tulisan hitam untuk kendaraan bermotor umum;
c.    dasar merah, tulisan putih untuk kendaraan bermotor dinas Pemerintah;
d.    dasar putih, tulisan biru untuk kendaraan bermotor Korps Diplomatik negara asing; dan
e.    dasar hijau, tulisan hitam untuk kendaraan bermotor di kawasan perdagangan bebas atau (Free Trade Zone) yang mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk dan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, bahwa kendaraan bermotor tidak boleh dioperasionalkan/dimutasikan ke wilayah Indonesia lainnya.

TNKB yang tidak dikeluarkan oleh Korlantas Polri, dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku.(Vide : Pasal 39 ayat (5) Perkapolri 5/2012)

Jadi pada dasarnya benar bahwa kendaraan bermotor dinas pemerintah menggunakan TNKB/plat berwarna merah. Sedangkan TNKB berwarna hitam diperuntukkan bagi mobil pribadi dan mobil sewa. Ini berarti mobil dinas pada dasarnya berwarna merah.

Jika tetangga Anda yang mengubah TNKB berwarna merah kendaraan dinasnya menjadi hitam, maka TNKB tersebut bukan TNKB resmi yang dikeluarkan oleh Korlantas Polri. Orang yang mengendarai mobil yang tidak dipasangi TNKB yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).(vide : Pasal 280 jo. Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) 

Contoh dalam praktik dapat di lihat di artikel Mobil Plat Merah Jadi Hitam Kena Tilang. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa dalam Operasi Zebra yang digelar Direktorat Lalulintas Polda Banten, pemalsuan plat nomor kendaraan dinas dari warna merah menjadi warna hitam dilakukan Sekretaris Dewan Pengurus Korpri Banten Wira Hadikusama. Nissan X-Trail silver plat nomor A 1231 yang dikendarai mantan Kepala Biro Umum dan Perlengkapan Setda Banten ini terjaring operasi di Jalan Raya Petir KM 3, Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang.

Lebih lanjut disebutkan bahwa semula kendaraan tersebut menggunakan plat warna hitam seperti layaknya kendaraan pribadi. Namun ketika polisi meminta pengendara menunjukkan surat-surat kendaraan, barulah diketahui bahwa kendaraan tersebut merupakan kendaraan dinas. Selanjutnya, kendaraan bermotor yang terkena tilang ini, akan dikembalikan ke Polisi Pamong Praja untuk diteruskan ke dinas yang bersangkutan dan akan memberi teguran kepada atasannya.

Dalam artikel Sebagian Anggota DPRD Pelalawan Ganti Plat Merah Mobil Dinas juga dapat dilihat bahwa memang pada praktiknya banyak yang mengubah plat merah kendaraan menjadi plat hitam. Sebanyak 14 unit mobil Nissan X-Trail sudah turun sebagai kendaraan dinas anggota DPRD Pelalawan. Tapi ada saja yang sudah mengganti plat merah dengan plat hitam.

Mengenai perubahan plat kendaraan dinas ini, Kasat Lantas Polres Banyuasin AKP Kadek Ary Mahardika SIK melalui KBO Lantas Ipda Yudhi kepada detiksumsel.com, Kamis (28/5/2015), sebagaimana kami akses dari artikel Pejabat Banyuasin Banyak Palsukan TNKB Kendaraan Dinas, menjelaskan bahwa mengubah plat nomor polisi kendaraan baik kendaraan dinas dan pribadi merupakan bentuk pelanggaran hukum dan itu ada sanksi hukumnya.


Demikian Pernjelasan dan uraian dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

2. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Registrasi Dan Identifikasi Kendaraan Bermotor.

Wednesday, June 3, 2015

Iwan Fals - Ibu

Akta Autentik

By. Alif sayyidul qadr


Ditinjau dari sisi bentuknya maka akta dapat dibagi menjadi dua yakni  akta autentik  dan akta dibawah tangan.       Akta autentik  adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan,  baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentngan. Akta autentik  terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat di hadapannya.

Pada  Pasal 165 HIR menjelaskan pengertian atau definisi tentang akta autentik  yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bakan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka; akan tetai yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta. Pejabat yang dimaksudkan antara lain ialah notaris, panitera, jurusita, pegawai pencatat sipil, hakim dan sebagainya.

Untuk melihat  Autentik  tidaknya suatu akta tidaklah cukup jika akta itu dibuat oleh dan di hadapan pejabat saja. Melainkan  prosedur dan tata cara membuat akta autentik  itu haruslah menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang.     Sutau akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa ada wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta autentik, akan tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan  apabila ditandatangani oleh pihak –pihak yang bersangkutan.         Hal ini juga dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (7) Undang-undang Jabatan Notaris, menyebutkan bahwa akta notaris adalah akta autentik  yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN. Dengan demikian apabila suatu akta dibuat oleh atau dihadapan notaris tapi tidak mengikuti bentuk dan tata cara yang ditetapkan undang undang maka sifat keontetikannya menjadi hilang atau tidak ada.

Dalam pasal 38 UUJN disebutkan bahwa :
(1) Setiap akta Notaris terdiri atas :
      a. Awal akta atau kepala akta;
      b. Badan akta; dan
      c. Akhir atau penutup akta.
(2) Awal akta atau kepala akta memuat :
a)    Judul akta;
b)    Nomor akta;
c)    Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan
d)    Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
(3) Badan akta memuat :
a)    Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
b)    Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c)    Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan
d)    Nama lengkap, tempat tinggal dan tanggal alhir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
(4) Akhir atau penutup akta memuat :
a)    Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam pasal 16  ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7);
b)    Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau
penerjemahan akta apabila ada;
c)    Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
d)    Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembutaan
akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa    penambahan, pencoretan atau penggantian.

Sebagai keterangan dari seorang pejabat, yaitu apa saja yang dikatakan oleh pejabat itu adalah sebagai yang dilihatnya dianggap benar terjadi di hadapannya, maka ketentuan pembuktiannya berlaku bagi setiap orang. Karena akta autentik  itu merupakan risalah dari pejabat, maka hanyalah merupakan bukti dari pada apa yang terjadi di hadapnnya saja.

Oleh karena dalam hal akta autentik  itu pejabat terikat pada syarat-syarat dan ketentuan dalam undang-undang, sehingga hal itu cukup merupakan jaminan dapat dipercayakannya pejabat tersebut, maka isi daripada akta autentik  itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri. Jadi dianggaplah bahwa akta autentik  itu dibuat sesuai dengan kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat itu, sampai dibuktikan sebaliknya.

Menurut beberapa ahli hukum, di antaranya Wiryono Prodjodikoro (1988 : 108), pengertian akta autentik  yaitu :
“Surat yang dibuat dengan maksud dijadikan bukti oleh atau dimuka seorang pejabat umum yang berkuasa untuk itu”



Selanjutnya akta autentik  menurut Soepomo (2002 : 87), adalah :
“surat yang dibuat oleh suatu dimuka seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat itu, dengan maksud menjadikan surat tersebut sebagai bukti”

Dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa :
“Akta autentik  adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan seorang pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”

Kata yang dibuat oleh dan dihadapan seorang pegawai umum sebagaimana tersebut dalam Pasal 1868 BW mengandung makna adanya 2 macam akta autentik  yaitu :

a. Ambtelijke acte/procesverbaal acte/relaas acte

Akta yang dibuat pejabat, digunakan untuk membuktikan perbuatan perbuatan dan kenyataan yang terjadi dihadapan notaris pada saat membuat akta dimaksud sedangkan isinya adalah kesaksian tertulis dari seorang pegawai umum, yang dalam hal ini notaris mencatat perbuatan serta kenyataan yang disaksikan pada waktu membuat akta. Notaris membuat laporan atas relaas sehingga apa yang dibuatnya itu disebut juga sebagai relaas akta.

b. Partij acte

Disebut juga sebagai akta (para) pihak yaitu (para) pihak menghadap pada seorang pejabat umum dalam ini seorang notaris, kemudian memberitahukan dan menerangkan kemauan atau kehendak mereka untuk mengadakan suatu perjanjian (mis : kerjasama, sewa menyewa, jual beli, tukar menukar, dsb) dan selanjutnya meminta kepada notaris tadi agar supaya tentang perjanjian tersebut dibuatkan suatu akta maka yang demikian itu adalah suatu akta yang dibuat dihadapan notaris itu.

Jadi disini notaris hanya mendengarkan kehendak para pihak yang menghadap itu, kemudian notaris memasukkan atau menyusun perjanjian yang dibuat para pihak kedalam suatu akta.
Prof Soebekti : Akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan suatu bukti tentang suatu peristiwa dan di tanda tangani atau dapat juga dikatakan bahwa suatu akta adalah surat yang diberi tanda tangan atau ditanda tangani. (Lihat Pasal 1874 BW Pasal 1 Ordonansi Tahun 1867 No 29) dan memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan dan dibuat sejak semula dengan sengaja untuk suatu pembuktian (bewijs). Oleh karenanya maka suatu akta memuat unsure unsure penting yang harus ada di dalam yaitu berupa unsur kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan unsure penandatanganan tulisan itu.

Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan., yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi untuk dapat digolongkan sebagai akta suatu surat harus ada tanda tangannya seperti yang disyaratkan dalam Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa suatu akta yang karena tdak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud, atau karena tidak berkuasa atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta autentik  namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ditanda tangani oleh para pihak. Keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain, jadi fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk member ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta karena identifikasi dapat dilihat dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta tersebut. Dalam Pasal 1888 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan- salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya.

Akta mempunyai dua fungsi yaitu fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi alat bukti (probations causa) (Sudikno Mertokusumo,1993 : 121). Formalitas causa artinya berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan hanya sahnya perbuatan hukum. Jadi adanya akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari.

Akta autentik  mempunyai kekuatan bukti formil dan materil. Formil yaitu bahwa benar para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta itu. Materilnya, bahwa apa yang diterangkan tadi adalah benar.
Kekuatan bukti yang sempurna yang bersifat akta party itu hanya berlaku antara kedua belah pihak atau ahli warisnya dan orang mendapat hak dari mereka. Terhadap pihak ketiga, akta autentik  berkekuatan hanya sebagai bukti bebas, artinya penilaiannya diserahkan pada pertimbangan hakim.

Akta autentik  merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Akta autentik  memberikan diantara para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/dinyatakan didalam akta.

Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat dalam suatu akta autentik  merupakan perpaduan dari beberapa keuatan pembuktian dan persyaratan yang terdapat pada akta. Ketiadaan salah satu kekuatan pembuktian ataupun persyaratan tersebut akan mengakibatkan suatu akta autentik  tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende) sehingga akta akan kehilangan keautentik annya.

Dalam suatu akta autentik  harus memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil, dan materil (Sudikno Mertokusumo,1993 : 121). Kekuatan pembuktian lahir yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir berarti kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir akta itu sendiri, dan sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa yang berarti suatu akta yang lainnya tampak sebagai akta autentik  serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta autentik  sampai terbukti sebaliknya.

Suatu akta notaris dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna apabila akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan memnuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidakbenarannya.

Dalam kaitan dengan jabatan notaris yang berwenang membuat akta autentik  khususnya yang berkaitan dengan peralihan hak atas tanah seperti yang dinyatakan dalam Pasal 15 Ayat (2) butir f Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) yang berbunyi:
“kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan”.

Tidak jarang terjadi bahwa ada oknum notaris yang terjebak dalam tindak pidana. Bahwa notaris sebagai salah satu pejabat negara dapat melakuan tindak pidana penggelapan biaya perolehan hak atas tanah (BPHTB) dengan tidak menulis nilai transaksi yang sebenarnya dalam akta yang dibuatnya sehingga terjadi pengurangan pajak yang seharusnya dikenakan,

Dalam hal ini notaris telah melanggar sumpah jabatannya yang tertuang dalam pasal 16 ayat (1) butir a UUJN, yang berbunyi:
“bertindak jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum”.

Tindak pidana penggelapan pajak merupakan tindakan yang sangat bertentangan dengan ketentuan yang mengatur tentang jabatan notaris, sehingga tindak pidana tersebut dapat dianggap telah melanggar sumpah jabatan yang pada waktu pelantikan diucapkan oleh semua pejabat notaris.

Penggelapan pajak juga melanggar ketentuan dalam pasal 266 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa:
“barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akte autentik  mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;”

Suatu akte notaril mengenai jual-beli sebagai bukti bahwa para pihak tidak saja memberikan keterangan tertentu kepada notaris, akan tetapi juga bahwa mereka telah membuat suatu perjanjian, menurut pasal 1458 KUHPerdata bahwa:
“jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayarkan”

Maka akte notaril harus juga membuktikan tentang harganya, jadi juga tentang kebenaran yang telah 
diberikan. Keterangan mengenai harga transaksi yang tidak sesuai sehingga terjadi penggelapan pajak merupakan tindak pidana Karena dapat menimbulkan kerugian menurut pasal 266 ayat (1) KUHP, Kerugian yang dimaksud dalam pasal ini tidak perlu timbul tapi cukup dengan kemungkinannya saja.

Tanggung jawab dan Ketelitian para pejabat umum yang membuat akta autentik  tersebut dituntut sangat besar dalam membuat suatu akta. Notaris bukan saja bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, bahkan mereka bertanggung jawab kepada Pihak lain yang dirugikan. Akan tetapi dalam kaitannya dengan notaris tanggung jawab Notaris dapat terbatas apabila akta tersebut adalah akta Para pihak (akta Partij). Akta yang dibuat dihadapan Notaris isinya merupakan keinginan para pihak. Notaris dalam hal ini hanya membuat akta yang diinginkan oleh para pihak. Keinginan para pihak yang membuat perjanjian dituangkan oleh Notaris.


Sunday, March 1, 2015

ANALISIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 1985 TENTANG BEA MATERAI DITINJAU DARI SEGI POLITIK HUKUM

By. Alif sayyidul qadr


Ditinjau dari sisi bentuknya maka akta dapat dibagi menjadi dua yakni  akta autentik  dan akta dibawah tangan.       Akta autentik  adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan,  baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentngan. Akta autentik  terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat di hadapannya.

Pada  Pasal 165 HIR menjelaskan pengertian atau definisi tentang akta autentik  yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bakan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka; akan tetai yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta. Pejabat yang dimaksudkan antara lain ialah notaris, panitera, jurusita, pegawai pencatat sipil, hakim dan sebagainya.

Untuk melihat  Autentik  tidaknya suatu akta tidaklah cukup jika akta itu dibuat oleh dan di hadapan pejabat saja. Melainkan  prosedur dan tata cara membuat akta autentik  itu haruslah menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang.     Sutau akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa ada wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta autentik, akan tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan  apabila ditandatangani oleh pihak –pihak yang bersangkutan.         Hal ini juga dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (7) Undang-undang Jabatan Notaris, menyebutkan bahwa akta notaris adalah akta autentik  yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN. Dengan demikian apabila suatu akta dibuat oleh atau dihadapan notaris tapi tidak mengikuti bentuk dan tata cara yang ditetapkan undang undang maka sifat keontetikannya menjadi hilang atau tidak ada.

Dalam pasal 38 UUJN disebutkan bahwa :
(1) Setiap akta Notaris terdiri atas :
      a. Awal akta atau kepala akta;
      b. Badan akta; dan
      c. Akhir atau penutup akta.
(2) Awal akta atau kepala akta memuat :
a)    Judul akta;
b)    Nomor akta;
c)    Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan
d)    Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
(3) Badan akta memuat :
a)    Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
b)    Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c)    Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan
d)    Nama lengkap, tempat tinggal dan tanggal alhir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
(4) Akhir atau penutup akta memuat :
a)    Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam pasal 16  ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7);
b)    Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau
penerjemahan akta apabila ada;
c)    Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
d)    Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembutaan
akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa    penambahan, pencoretan atau penggantian.

Sebagai keterangan dari seorang pejabat, yaitu apa saja yang dikatakan oleh pejabat itu adalah sebagai yang dilihatnya dianggap benar terjadi di hadapannya, maka ketentuan pembuktiannya berlaku bagi setiap orang. Karena akta autentik  itu merupakan risalah dari pejabat, maka hanyalah merupakan bukti dari pada apa yang terjadi di hadapnnya saja.

Oleh karena dalam hal akta autentik  itu pejabat terikat pada syarat-syarat dan ketentuan dalam undang-undang, sehingga hal itu cukup merupakan jaminan dapat dipercayakannya pejabat tersebut, maka isi daripada akta autentik  itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri. Jadi dianggaplah bahwa akta autentik  itu dibuat sesuai dengan kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat itu, sampai dibuktikan sebaliknya.

Menurut beberapa ahli hukum, di antaranya Wiryono Prodjodikoro (1988 : 108), pengertian akta autentik  yaitu :
“Surat yang dibuat dengan maksud dijadikan bukti oleh atau dimuka seorang pejabat umum yang berkuasa untuk itu”



Selanjutnya akta autentik  menurut Soepomo (2002 : 87), adalah :
“surat yang dibuat oleh suatu dimuka seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat itu, dengan maksud menjadikan surat tersebut sebagai bukti”

Dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa :
“Akta autentik  adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan seorang pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”

Kata yang dibuat oleh dan dihadapan seorang pegawai umum sebagaimana tersebut dalam Pasal 1868 BW mengandung makna adanya 2 macam akta autentik  yaitu :

a. Ambtelijke acte/procesverbaal acte/relaas acte

Akta yang dibuat pejabat, digunakan untuk membuktikan perbuatan perbuatan dan kenyataan yang terjadi dihadapan notaris pada saat membuat akta dimaksud sedangkan isinya adalah kesaksian tertulis dari seorang pegawai umum, yang dalam hal ini notaris mencatat perbuatan serta kenyataan yang disaksikan pada waktu membuat akta. Notaris membuat laporan atas relaas sehingga apa yang dibuatnya itu disebut juga sebagai relaas akta.

b. Partij acte

Disebut juga sebagai akta (para) pihak yaitu (para) pihak menghadap pada seorang pejabat umum dalam ini seorang notaris, kemudian memberitahukan dan menerangkan kemauan atau kehendak mereka untuk mengadakan suatu perjanjian (mis : kerjasama, sewa menyewa, jual beli, tukar menukar, dsb) dan selanjutnya meminta kepada notaris tadi agar supaya tentang perjanjian tersebut dibuatkan suatu akta maka yang demikian itu adalah suatu akta yang dibuat dihadapan notaris itu.

Jadi disini notaris hanya mendengarkan kehendak para pihak yang menghadap itu, kemudian notaris memasukkan atau menyusun perjanjian yang dibuat para pihak kedalam suatu akta.
Prof Soebekti : Akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan suatu bukti tentang suatu peristiwa dan di tanda tangani atau dapat juga dikatakan bahwa suatu akta adalah surat yang diberi tanda tangan atau ditanda tangani. (Lihat Pasal 1874 BW Pasal 1 Ordonansi Tahun 1867 No 29) dan memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan dan dibuat sejak semula dengan sengaja untuk suatu pembuktian (bewijs). Oleh karenanya maka suatu akta memuat unsure unsure penting yang harus ada di dalam yaitu berupa unsur kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan unsure penandatanganan tulisan itu.

Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan., yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi untuk dapat digolongkan sebagai akta suatu surat harus ada tanda tangannya seperti yang disyaratkan dalam Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa suatu akta yang karena tdak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud, atau karena tidak berkuasa atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta autentik  namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ditanda tangani oleh para pihak. Keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain, jadi fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk member ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta karena identifikasi dapat dilihat dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta tersebut. Dalam Pasal 1888 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan- salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya.

Akta mempunyai dua fungsi yaitu fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi alat bukti (probations causa) (Sudikno Mertokusumo,1993 : 121). Formalitas causa artinya berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan hanya sahnya perbuatan hukum. Jadi adanya akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari.

Akta autentik  mempunyai kekuatan bukti formil dan materil. Formil yaitu bahwa benar para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta itu. Materilnya, bahwa apa yang diterangkan tadi adalah benar.
Kekuatan bukti yang sempurna yang bersifat akta party itu hanya berlaku antara kedua belah pihak atau ahli warisnya dan orang mendapat hak dari mereka. Terhadap pihak ketiga, akta autentik  berkekuatan hanya sebagai bukti bebas, artinya penilaiannya diserahkan pada pertimbangan hakim.

Akta autentik  merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Akta autentik  memberikan diantara para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/dinyatakan didalam akta.

Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat dalam suatu akta autentik  merupakan perpaduan dari beberapa keuatan pembuktian dan persyaratan yang terdapat pada akta. Ketiadaan salah satu kekuatan pembuktian ataupun persyaratan tersebut akan mengakibatkan suatu akta autentik  tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende) sehingga akta akan kehilangan keautentik annya.

Dalam suatu akta autentik  harus memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil, dan materil (Sudikno Mertokusumo,1993 : 121). Kekuatan pembuktian lahir yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir berarti kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir akta itu sendiri, dan sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa yang berarti suatu akta yang lainnya tampak sebagai akta autentik  serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta autentik  sampai terbukti sebaliknya.

Suatu akta notaris dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna apabila akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan memnuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidakbenarannya.

Dalam kaitan dengan jabatan notaris yang berwenang membuat akta autentik  khususnya yang berkaitan dengan peralihan hak atas tanah seperti yang dinyatakan dalam Pasal 15 Ayat (2) butir f Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) yang berbunyi:
“kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan”.

Tidak jarang terjadi bahwa ada oknum notaris yang terjebak dalam tindak pidana. Bahwa notaris sebagai salah satu pejabat negara dapat melakuan tindak pidana penggelapan biaya perolehan hak atas tanah (BPHTB) dengan tidak menulis nilai transaksi yang sebenarnya dalam akta yang dibuatnya sehingga terjadi pengurangan pajak yang seharusnya dikenakan,

Dalam hal ini notaris telah melanggar sumpah jabatannya yang tertuang dalam pasal 16 ayat (1) butir a UUJN, yang berbunyi:
“bertindak jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum”.

Tindak pidana penggelapan pajak merupakan tindakan yang sangat bertentangan dengan ketentuan yang mengatur tentang jabatan notaris, sehingga tindak pidana tersebut dapat dianggap telah melanggar sumpah jabatan yang pada waktu pelantikan diucapkan oleh semua pejabat notaris.

Penggelapan pajak juga melanggar ketentuan dalam pasal 266 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa:
“barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akte autentik  mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;”

Suatu akte notaril mengenai jual-beli sebagai bukti bahwa para pihak tidak saja memberikan keterangan tertentu kepada notaris, akan tetapi juga bahwa mereka telah membuat suatu perjanjian, menurut pasal 1458 KUHPerdata bahwa:
“jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayarkan”

Maka akte notaril harus juga membuktikan tentang harganya, jadi juga tentang kebenaran yang telah 
diberikan. Keterangan mengenai harga transaksi yang tidak sesuai sehingga terjadi penggelapan pajak merupakan tindak pidana Karena dapat menimbulkan kerugian menurut pasal 266 ayat (1) KUHP, Kerugian yang dimaksud dalam pasal ini tidak perlu timbul tapi cukup dengan kemungkinannya saja.

Tanggung jawab dan Ketelitian para pejabat umum yang membuat akta autentik  tersebut dituntut sangat besar dalam membuat suatu akta. Notaris bukan saja bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, bahkan mereka bertanggung jawab kepada Pihak lain yang dirugikan. Akan tetapi dalam kaitannya dengan notaris tanggung jawab Notaris dapat terbatas apabila akta tersebut adalah akta Para pihak (akta Partij). Akta yang dibuat dihadapan Notaris isinya merupakan keinginan para pihak. Notaris dalam hal ini hanya membuat akta yang diinginkan oleh para pihak. Keinginan para pihak yang membuat perjanjian dituangkan oleh Notaris.


Friday, February 20, 2015

PRO KONTRA TILANG POLISI KARENA STNK MATI
By. Alief Sayyidul Qadr

 

Maraknya RAZIA atau Sweeping Kendaran bermotor  yang dilancarkan oleh Kepolisian saat ini, mengundang banyak pro kontra di tengah-tengah masyarakat, tidak hanya menyangkut SAH atau TIDAKNYA Razia yang dilakukannya sesuai Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Namun lebih khusus lagi adalah banyaknya pengendara Kendaraan bermotor yang di tilang lantaran Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) nya Mati atau kadaluarsa/tidak berlaku lagi.

Hal ini memunculkan banyak pertanyaan dapatkah POLISI LALU LINTAS menilang Pengendara Kendaraan bermotor yang tidak mampu memperlihatkan Surat kendaraan bermotor (STNK) yang SAH ?

Pada dasarnya, secara umum pihak kepolisian berwenang untuk melakukan penindakan terhadap pemilik motor yang melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Oleh Kepolisia Negara (lalu Lintas) dalam melakukan TILANG terhadap pelanggar melalui dua mekanisme/cara penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas jalan yang dapat dilaksanakan, yaitu:
1.     Pelanggara yang Mengakui Kesalahan, akan diberi LEMBAR BIRU  dengan membayar denda maksimal ke bank yang ditentukan. Bukti setor denda dibawa ke Satlantas setempat yang melaksanakan Razia untuk mengambil kembali SIM/STNK yang disita.
2.     Pelanggar yang Tidak Mengakui Kesalahan,  akan diberi LEMBAR MERAH untuk mengikuti sidang di pengadilan yang telah ditentukan dan besarnya denda diputuskan oleh Hakim. SIM/STNK yang disita diambil di pengadilan.

TILANG KARENA STNK MATI/TIDAK BERLAKU

Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) adalah bukti bahwa kendaraan bermotor telah diregistrasi (Pasal 65 ayat [2] UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan - “UU LLAJ”) yang memuat data kendaraan bermotor, identitas pemilik, nomor registrasi kendaraan bermotor, dan masa berlakunya (Pasal 68 ayat [2] UU LLAJ).

STNK ini berlaku selama 5 (lima) tahun dan setiap tahunnya harus dimintakan pengesahan (Pasal 70 ayat [2] UU LLAJ). Juga, sebelum habis masa berlaku dari STNK tersebut, seharusnya wajib diajukan permohonan perpanjangan (Pasal 70 ayat [3] UU LLAJ).

Apabila masa berlaku STNK habis dan tidak dilakukan perpanjangan masa berlaku, inilah yang kemudian sering disebut sebagai STNK mati. Sesuai Pasal 74 ayat (2) UU LLAJ jo Pasal 1 angka 17 Peraturan Kapolri No. 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor, registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor ini dapat dihapus dari daftar registrasi dan identifikasi kendaraan jika pemilik kendaraan bermotor tidak melakukan registrasi ulang atau memperpanjang masa berlaku STNK sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sejak masa berlaku STNK habis.
Hal  Ini merupakan bentuk sanksi administratif bagi pemilik kendaraan bermotor.

Penghapusan dari daftar registrasi dan identifikasi kendaraan ini dapat berakibat kendaraan bermotor tersebut tidak dapat diregistrasi kembali (Pasal 74 ayat [3] UU LLAJ). Dalam hal kendaraan bermotor sudah tidak teregistrasi, maka kendaraan bermotor tidak dapat dioperasikan di jalan. Karena sesuai Pasal 68 ayat (1) UU LLAJ, setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di jalan wajib dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (Plat NomorKendaraan/ Nomor Polisi)

Lebih jauh diatur dalam Lampiran Surat Keputusan No. Pol.: SKEP/443/IV/1998 tentang Buku Petunjuk Teknis tentang Penggunaan Blanko Tilang bagian Pendahuluan No. 4 huruf a ayat (2) mengenai pelanggaran lalu lintas jalan tertentu,     dijelaskan bahwa sesuai penjelasan Pasal 211 KUHAP, mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Surat Tanda Uji Kendaraan (STUK), yang sah atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan perundang-undangan lalu lintas jalan atau ia dapat memperlihatkan tetapi masa berlakunya sudah kadaluwarsa dapat digolongkan dengan Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Tertentu.

Itulah yang menjadi dasar untuk seorang pemilik kendaraan bermotor yang STNK-nya mati dapat ditilang. Karena sesuai ketentuan dalam Pendahuluan No. 1 huruf a Lampiran Surat Keputusan No.Pol.: SKEP/443/IV/1998 tentang Buku Petunjuk Teknis tentang Penggunaan Blanko Tilang, “tilang merupakan alat utama yang dipergunakan dalam penindakan bagi pelanggar Peraturan-peraturan Lalu Lintas Jalan Tertentu, sebagaimana tercantum dalam Bab VI Pasal 211 sampai dengan Pasal 216 KUHAP dan penjelasannya.”

Selain itu, polisi juga memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 260 ayat (1) UU LLAJ bahwa “dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana, Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berwenang:
a.   memberhentikan, melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita sementara Kendaraan Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan berlalu lintas atau merupakan alat dan/atau hasil kejahatan;
b.   melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkaitan dengan Penyidikan tindak pidana di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c.   meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum;
d.   melakukan penyitaan terhadap Surat Izin Mengemudi, Kendaraan Bermotor, muatan, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, dan/atau tanda lulus uji sebagai barang bukti;
e.   melakukan penindakan terhadap tindak pidana pelanggaran atau kejahatan Lalu Lintas menurut ketentuan peraturan perundang-undangan;
f.     membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
g.   menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti;
h.   melakukan penahanan yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan Lalu Lintas; dan/atau
i.      melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.”

KEWENANGAN POLISI DALAM MELAKUKAN RAZIA/SWEEPING KENDARAA DI JALAN.

Dalam Pasal 3 PP 80/2012 tersebut disebutkan bahwa pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan meliputi pemeriksaan:
a)   Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, atau Tanda Coba Kendaraan Bermotor
b)   tanda bukti lulus uji bagi kendaraan wajib uji 
c)    fisik Kendaraan Bermotor 
d)   daya angkut dan/atau cara pengangkutan barang dan/atau 
e)    izin penyelenggaraan angkutan 

Kemudian, dalam Pasal 10 PP 80/2012 disebutkan bahwa pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan yang dilakukan oleh Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia secara berkala atau insidental. 

Dalam hal pelaksanaan Razia kendaraan bermotor oleh kepolisian, maka harus berpedoman pada ketentuan Pasal 22 PP 80/2012 yang berbunyi: 

1)     Pada tempat Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala dan insidental wajib dilengkapi dengan tanda yang menunjukkan adanya Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan, kecuali tertangkap tangan 
2)     Tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada jarak paling sedikit 50 (lima puluh) meter sebelum tempat pemeriksaan 
3)     Pemeriksaan yang dilakukan pada jalur jalan yang memiliki lajur lalu lintas dua arah yang berlawanan dan hanya dibatasi oleh marka jalan, ditempatkan tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada jarak paling sedikit 50 (lima puluh) meter sebelum dan sesudah tempat pemeriksaan 
4)     Tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga mudah terlihat oleh pengguna jalan 
5)     Dalam hal Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dilakukan pada malam hari, petugas wajib: 
a)   menempatkan tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) 
b)   memasang lampu isyarat bercahaya kuning dan 
c)    memakai rompi yang memantulkan cahaya. 

Dengan demikian, jika pemeriksaan kendaraan bermotor dilakukan oleh petugas kepolisian yang tidak menempatkan tanda/plang pengumuman yang menunjukkan adanya pemeriksaan kendaraan bermotor, tidak memasang lampu isyarat bercahaya kuning, dan tidak memakai rompi yang memantulkan cahaya, maka pemeriksaan kendaraan yang dilakukan polisi tersebut tidak sah secara hukum.

Polisi sebagai petugas yang melakukan penindakan pelanggaran lalu lintas harus pula menaati tata cara pemeriksaan kendaraan sesuai aturan yang berlaku,  terkecuali, dalam hal tertangkap tangan melakukan tindak pidana (Insidental), seperti yang disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) PP 80/2012, tempat pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan tidak wajib dilengkapi tanda adanya pemeriksaan kendaraan bermotor. 

Yang dimaksud tertangkap tangan dalam pemeriksaan secara insidental yaitu terjadi pelanggaran yang terlihat secara kasat indera atau tertangkap oleh alat penegakan hukum secara elektronik.
 
Dalam hal bidang penegakan aturan lalu lintas, polisi memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 260 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, antara lain:
a.   memberhentikan, melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita sementara Kendaraan Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan berlalu lintas atau merupakan alat dan/atau hasil kejahatan; 
b.   melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkaitan dengan Penyidikan tindak pidana di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; 
c.    meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum; 
d.   melakukan penyitaan terhadap Surat Izin Mengemudi, Kendaraan Bermotor, muatan, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, dan/atau tanda lulus uji sebagai barang bukti; 
e.   melakukan penindakan terhadap tindak pidana pelanggaran atau kejahatan Lalu Lintas menurut ketentuan peraturan perundang-undangan; 
f.     membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan; 
g.   menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti; 
h.   melakukan penahanan yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan Lalu Lintas; dan/atau i.melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.

Selanjutnya jika penindakan pelanggaran lalu lintas dilakukan oleh polisi yang sedang tidak berdinas atau tidak menggunakan surat perintah, telah diatur lebih lanjut dalam PP No. 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 ayat (1) jo. Pasal 16 ayat (1) PP 80/2012, menyebutkan bahwa :
“bahwa petugas kepolisian yang melakukan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan wajib menggunakan pakaian seragam dan atribut serta wajib dilengkapi surat perintah tugas”.



Setelah petugas kepolisian memenuhi dua syarat tersebut, barulah kemudian boleh melakukan penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas dalam hal tertangkap tangan pada saat melakukan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli (lihat Pasal 14 PP 80/2012).
Jika polisi tidak dalam keadaan “berdinas” atau tidak memakai seragam dinas kepolisian, maka seperti telah kami jelaskan sebelumnya, maka petugas kepolisian tersebut tidak berhak atau berwenang melakukan razia pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan. 
Demikian penjelasan singkat dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
2.        Peraturan Kapolri No. 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor;
3.        Surat Keputusan No. Pol.: SKEP/443/IV/1998 tentang Buku Petunjuk Teknis tentang Penggunaan Blanko Tilang.