PATUH-Oi

Friday, February 15, 2013

POLISI DAN PENGANIAYAAN



 
Sistem hukum di Indonesia sudah menyatakan bahwa setiap penyidikan dan penyelidikan hingga proses pengadilan harus didasarkan pada azas praduga tidak bersalah.? Penahanan dan penangkapan harus menghindari tindakan kekerasan dan penyiksaan. Untuk menangkap seseorang saja, aparat harus mempunyai surat penangkapan,?

PENANGKAPAN:

Arti penangkapan menurut KUHAP adalah Pasal 1 ayat (20).Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Sedangkan penangkapan itu sendiri dilakukan tidak boleh dengan sewenang-wenang, dan dilakukan atas dasar untuk: kepentingan penyelidikan, dengan memnggunakan ketentuan sebagai berikut :

1.             Penyelidik atas perintah penyidik dapat dan berwenang melakukan penangkapan.
2.             Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.
3.             Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
4.             Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa (Pasal 18, ayat 1 KUHAP)

Namun bilamana dalam hal tertangkap tangan, dan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, maka juga harus memenuhi  ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
Yang kemudian Penyidik setempat membuat tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (Pasal 18 ayat 1 KUHAP) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Disamping ketentuan tersebut diatas , pada pasal 19 KUHAP disebutkan :
1.      Penangkapan sebagaimana dimaksud , dapat dilakukan untuk paling lama satu hari.
2.      Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.

PENAHANAN :
Sebagaimana disebut didalam pasal 1 ayat (21) KUHAP bahwa.Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Penahan bisa dilakukan dengan alasan sebuah pertimbangan dari kasus sesuai dengan KUHAP tersebut.  Kenapa dan kenapa ada tahanan yang masih di siksa atau diperlakukan dengan sewenang-wenang, hal ini menjadikan sebuah kebiasaan oleh para penyidik ataupun penyidik pembantu yang sama sekali tidak mengerti hukum, atau lebih pas nya mereka tidak lebih bodoh dari yang disiksa.
Walaupun pelaku kriminal itu sudah meresahkan masyarakat, mereka tetap dilindungi Hak Azasi Manusi (HAM), tidak pantas seorang polisi menyiksa mereka. Bahkan ketika mereka melakukan tindak kriminal, lalu dikeroyok masyarakat, polisi harus segera mengamankan pelaku kriminal itu.
Anggota Polri selalu mendapatkan arahan dan penegasan untuk tidak melakukan tindak kekerasan kepada masyarakat. Polisi adalah pelayan masyarakat yang harus memberikan pelayanan simpatik, termasuk saat menyelidiki sebuah kasus.
Jika ada kekerasan dan penyiksaan yang menimpa tersangka atau tahanan, berarti penegak hukum tidak memahami KUHAP. Tersangka atau tahanan termasuk dalam subjek yang harus dilindungi hak azasinya. Hal ini juga bertentangan dengan KEPKAP No 8 Tahun 2009, tentang Implementasi Pelaksanaan Hak Asasi Manusia
Masih adanya tindak kekerasan yang dilakukan polisi dalam melakukan tugasnya. "Pada dasarnya, anggota Polri ketika melakukan penyelidikan dilarang melakukan penyiksaan terhadap tersangka atau tahanan dan masyarakat lainnya. Tindakan tersebut sangat dilarang.

Pernyataan dari Asian Human Rights Commission

Indonesia telah menandatangi Konvensi menentang Penyiksaan (UN Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) pada Oktober 1998. Namun dalam implementasi komitmen Indonesia terhadap Konvensi menentang Penyiksaan, Komite menentang Penyiksaan (Committee Against Torture) menemukan kelemahan dan kekosongan hukum yang belum dapat diatasi oleh para pembuat undang-undang.
Peraturan polisi mengakomodasi masalah penyiksaan dalam sepuluh (10) pasal yang berbeda (Pasal 5, 7, 10, 11, 13, 23, 24, 37, 38.2, 41) yang mencakup perlindungan terhadap penyiksaan biasa, penggunaan penyiksaan seksual (Pasal 13 (a)) dan bahkan larangan untuk menggunakan penyiksaan dalam keadaaan darurat pada Pasal 41.
Pasal 10 (e) dari peraturan tersebut mensyaratkan petugas kepolisian nasional untuk “menghindari untuk memulai atau mentoleransi segala bentuk penyiksaan atau tindakan kejam, tidak berperikemanusiaan dan tindakan merendahkan martabat atau hukuman, petugas penegak hukum juga tidak boleh menerapkan sistem tanggung jawab berdasarkan perintah atasan atau keadaan memaksa seperti keadaan perang sebagai pembenaran terhadap penyiksaan.” Pasal 11 (b) selanjutnya menetapkan bahwa polisi “tidak boleh melakukan (…) penyiksaan” kepada tahanan dan tersangka. Namun, hal ini pada praktiknya masih secara luas diberlakukan apabila dilihat dari berbagai kasus yang diterima oleh AHRC.
Hubungan antara hak kepada peradilan yang adil dan penyiksaan sebagai bagian dari mekanisme investigasi polisi diakui dalam Pasal 37 yang menyatakan bahwa polisi nasional “tidak boleh” menggunakan penyiksaan. Dokumen yang berjudul Regulation of the Chief of the Indonesian National Police, No. 8/2009 regarding the implementation of human rights principles and standards in the discharge of duties of the Indonesian National Police dapat diunduh dalam versi bahasa Inggris disini dari website Indonesia AHRC.
Sementara peraturan baru adalah kunci dari perkembangan atas perlindungan hak asasi manusia di negara ini, tindakan penyiksaan masih belum merupakan kejahatan atau tindakan criminal. Hal itu berari, aparat kepolisian yang menggunakan penyiksaan masih belum dapat dimintai pertanggungjawabannya di depan pengadilan dan dihukum penjara, seperti sanksi umum di negara-negara lain dan yang diharuskan oleh Konvensi menentang Penyiksaan lebih dari 10 tahun yang lalu.
Pada April 2009 dua kasus penyiksaan yang berujung pada kematian dua korban. Korban pertama adalah Bayu Perdana Putra yang dilaporkan telah disiksa di Kantor Polisi Jakarta Utara. Korban lainnya adalah Carmadi, yang meninggal dalam penahanannya di kantor polisi Tegal, Jawa Tengah sebagai akibat dari penyiksaan yang dialaminya. Pada kasus yang lain, Zaenal M. Latif sangat beruntung dapat selamat dari penyiksaan yang harus dialaminya di Kantor Polisi Cilegon, Jawa Barat. Dalam kasus ini, seperti yang banyak terjadi, polisi yang melakukan penangkapan tidak memakai seragam dinas.
Beberapa kasus yang terjadi di Jawa ini merupakan puncak gunung es dimana sebagian besar kasus penyiksaan tidak pernah dilaporkan karena intimidasi dan ancaman yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban. Khususnya,tersangka dari tindakan criminal atau tindakan illegal lainnya mererima “hukuman” dari kepolisian sendiri sebelum proses investigasi dilakukan dan kesalahan mereka tidak dibuktikan didepan pengadilan yang adil. Bagaimana hal ini dapat disebut sebagai keadilan?
Kebanyakan korban adalah warga biasa, lebih khususnya masyarakat miskin, yang menjadi target pertama pasukan keamanan. Di Papua, dimana kegiatan ekonomi dan kehidupan rakyat sipil diatur oleh kekuatan militer yang bergulat untuk merebutkan kekuasaan dengan polisi, kekerasan oleh petugas keamanan adalah hal yang sistemik.
Berbagai gerakan organisasi di Jakarta dan di daerah lain di Indonesia sedang merencanakan untuk menggelar demostrasi dan menyuarakan tuntutan mereka pada hari penyiksaan yang diperingati pada hari Jum’at: Jadikan penyiksaan sebagai kejahatan! AHRC berpendapat bahwa yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia adalah tinjauan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam rangka menjadikan penyiksaan sebagai tindakan criminal .
Tentang AHRC: Asian Human Rights Commission adalah sebuah organisasi non pemerintah yang melakukan pemantauan dan lobi-lobi terhadap isu-isu HAM di Asia. Organisasi yang bermarkas di Hong Kong ini didirikan pada tahun 1984.

Peraturan Kapolri No.8/2009 tentang implementasi HAM oleh Polri
Sejak beberapa tahun yang lalu, Polri mendapat dukungan dari IOM (International Organisation for Migration) untuk pengembangan perpolisian masyarakat, perspektif gender dan HAM, khususnya untuk kasus-kasus migrasi dan perdagangan manusia.
Selama periode kerjasama tersebut telah 5000 orang polisi yang dilatih. Salah satu“hasil” dari kerjasama tersebut adalah Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar hak Asasi Manusia dalam penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia atau juga disebut dengan Perkap HAM.

 Jika dilihat isinya Perkap ini sangat ideal, bahkan lebih baik daripada UU dan KUHAP yang berlaku saat ini di Indonesia. Perkap ini berisi 62 pasal dan memuat berbagai instrumen HAM baik nasional maupun internasional sebagai konsiderans, dan berfungsi sebagai standar etika pelayanan dan code of conduct bagi kepolisian. Perkap ini mengedepankan prinsip penegakan hukum oleh Polri yaitu legalitas, nesesitas dan proporsionalitas. Adanya Perkap ini menjadi kontras dengan fakta di lapangan dimana pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian tetap marak, seperti dalam kasus penembakan petani di Kuansing, pelecehan seksual di Bengkulu serta penangkapan sewenang-wenang terhadap masyarakat di berbagai daerah .

Secara khusus Perkap ini mendaftar sejumlah HAM yang termasuk dalam cakupan tugas Polri (dalam pasal 6), yaitu:
a.       hak memperoleh keadilan: setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan pengaduan dan laporan dalam perkara pidana, serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar;
b.      hak atas kebebasan pribadi: setiap orang bebas memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah RI;
c.       hak atas rasa aman: setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu;
d.      hak bebas dari penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penghilangan secara paksa;
e.       hak khusus perempuan: perlindungan khusus terhadap perempuan dari ancaman dan tindakan kejahatan, kekerasan dan diskriminasi yang terjadi dalam maupun di luar rumah tangga yang dilakukan semata-mata karena dia perempuan;
f.        hak khusus anak: perlindungan/perlakuan khusus terhadap anak yang menjadi korban kejahatan dan anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu: hak nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anak;
g.       hak khusus masyarakat adat; dan
h.       hak khusus kelompok minoritas, seperti etnis, agama, penyandang cacat, orientasi seksual.

Hubungan antara Kepolisian dengan Korban
Jika selama ini hak korban sangat minimal diatur dalam KUHAP dan beberapa UU khusus, Perkap ini secara umum Kewajiban terhadap korban, antara lain (pasal 52):
a.      bersikap empati dalam menangani korban dengan memperhatikan kondisi korban yang sedang mengalami trauma emosional, terutama korban penganiayaan, pemerkosaan, perlakuan tidak senonoh, penyerangan, dan perampokan;
b.      menunjukkan ketulusan dan kesungguhan untuk memberi pelayanan kepada korban;
c.       memberikan bantuan dan menunjukkan empati kepada korban kejahatan;
d.      tidak melakukan tindakan negatif yang dapat memperburuk situasi;
e.      tidak menunjukkan kesan sinis atau menuduh korban sebagai penyebab terjadinya kejahatan;
f.        tidak melakukan pemeriksaan orang yang sedang mengalami guncangan jiwa (shock);
g.      memberikan kesempatan kepada korban untuk berkonsultasi dengan dokter; dan
h.      mencarikan bantuan pekerja sosial atau relawan pendamping serta bantuan hukum,  jika diperlukan.
Pasal ini juga memuat larangan sejumlah hal yang selama ini sering dilakukan oleh pihak kepolisian di (pasal 53):
a.      meminta biaya sebagai imbalan pelayanan;
b.       meminta biaya operasional untuk penanganan perkara;
c.       memaksa korban untuk mencari bukti atau menghadirkan saksi/ tersangka; dan
d.      menelantarkan atau tidak menghiraukan kepentingan korban
e.       mengintimidasi, mengancam atau menakut-nakuti korban;
f.        melakukan intervensi/mempengaruhi korban untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum;
g.      merampas milik korban; dan
h.      melakukan tindakan kekerasan.

Standar Perilaku/Code of conduct anggota Polri
Kewajiban yang diatur antara lain di pasal 10 yaitu:                                                                   
a.      senantiasa menjalankan tugas yang diamanatkan oleh undang-undang kepada mereka;
b.      menghormati dan melindungi martabat manusia dalam melaksanakan tugasnya;
c.       tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan;
d.      hal-hal yang bersifat rahasia yang berada dalam kewenangan harus tetap dijaga kerahasiaannya, kecuali jika diperlukan dalam pelaksanaan tugas atau untuk kepentingan peradilan;
e.      tidak boleh menghasut, mentolerir tindakan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, demikian pula menjadikan perintah atasan atau keadaan luar biasa seperti ketika dalam keadaan perang sebagai pembenaran untuk melakukan penyiksaan;
f.        menjamin perlindungan sepenuhnya terhadap kesehatan orang-orang yang berada dalam tahanannya, lebih khusus lagi, harus segera mengambil langkah untuk memberikan pelayanan medis bilamana diperlukan;
g.      tidak boleh melakukan korupsi dalam bentuk apapun, maupun penyalahgunaan kekuasaan lainnya yang bertentangan dengan profesi penegak hukum;
h.      harus menghormati hukum, ketentuan berperilaku, dan kode etik yang ada.

Larangan (Pasal 11 ayat 1):
a.      penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum;
b.      penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
c.        pelecehan atau kekerasan seksual terhadap tahanan atau orang-orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
d.      penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia;
e.      korupsi dan menerima suap;
f.        menghalangi proses peradilan dan/atau menutup-nutupi kejahatan;
g.      penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum (corporal punishment);
h.      perlakuan tidak manusiawi terhadap seseorang yang melaporkan kasus pelanggaran HAM oleh orang lain;
i.        melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan yang tidak berdasarkan hukum;
j.        menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan.

Penggunaan Kekuatan/Tindakan Keras dan Senjata Api (pasal 47-49)
Pasal 47 Perkap ini menyatakan bahwa penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benardiperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia, yaitu ketika:
a.      dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
b.      membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
c.       membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
d.      mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang;
e.      menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan
f.        menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidakcukup.
Pasal 49
(1) Setelah melakukan penindakan dengan menggunakan senjata api, petugas wajib:
a.       mempertanggungjawabkan tindakan penggunaan senjata api;
b.      memberi bantuan medis bagi setiap orang yang terluka tembak;
c.       memberitahukan kepada keluarga atau kerabat korban akibat penggunaan senjata api; dan
d.      membuat laporan terinci dan lengkap tentang penggunaan senjata api.
(2) Dalam hal terdapat pihak yang merasa keberatan atau dirugikan akibat penggunaan senjata api oleh petugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka:
a.       petugas wajib membuat penjelasan secara rinci tentang alasan penggunaan senjata api, tindakan yang dilakukan dan akibat dari tindakan yang telah dilakukan;
b.      pejabat yang berwenang wajib memberikan penjelasan kepada pihak yang dirugikan; dan
c.       tindakan untuk melakukan penyidikan harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Hal-hal menarik lainnya dalam Perkap tersebut antara lain:
1.      Kewajiban bagi Polri untuk menghormati budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan HAM (pasal 8), dimana budaya lokal dimaknai sebagai adat, tradisi, kebiasaan atau tata nilai yang masih kuat dianut oleh masyarakat setempat dalam rangka memelihara keamanan, ketertiban dan ketenteraman di lingkungan warga masyarakat setempat (pasal 1 angka 14)
2.      Perlindungan dan jaminan hak korban, termasuk korban tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 20 (anggota keluarga atau kerabat dekat korban yang menderita akibat kejahatan yang terjadi)
3.      Kewajiban bagi setiap anggota Polri wajib memahami 19 instrumen internasional tentang standar minimal perlindungan warga negara yang mengatur secara langsung dan tidak langsung tentang hubungan anggota Polri dengan HAM (pasal 7)
4.      Pengkhususan jaminan terhadap hak perempuan dan anak, termasuk hak untuk didampingi oleh pekerja sosial atau ahli selain penasihat hukum
5.      Penghormatan terhadap privasi baik tersangka, korban maupun saksi
6.      Pengaturan khusus mengenai perlindungan HAM dalam situasi darurat keamanan (pasal41), Perlindungan HAM dalam kerusuhan massal (pasal 42-44).

PENEGAKAN
Pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa anggota Polri yang melakukan tindakan melanggar HAM wajib mempertanggungjawabkan sesuai dengan kode etik profesi kepolisian, disiplin dan hukum yang berlaku.
Di pasal 60 setiap pejabat Polri berkewajiban untuk:
a.       melakukan pengawasan penerapan HAM, terutama di lingkungan anggotanya;
b.      memberikan penilaian bagi anggota Polri dalam menerapkan prinsip HAM dengan memberikan penghargaan bagi yang berprestasi;
c.       memberikan tindakan koreksi terhadap tindakan anggotanya yang tidak sesuai dengan prinsip perlindungan HAM; dan
d.      menjatuhkan sanksi terhadap anggota Polri yang melakukan tindakan yang bertentangan  dengan prinsip perlindungan HAM dalam pelaksanaan tugas.
2.        Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dijatuhkan melalui proses penegakan disiplin, penegakan etika kepolisian dan/atau proses peradilan pidana.
Penegakan hukum terhadap aparat kepolisian sampai saat ini masih sangat minim karena adanya ‘Esprit de Corps’ yang demikian tinggi di lingkungan kepolisian. Karena Perkap ini hanya berlaku secara internal, penegakan disiplin dan kode etik profesi di kepolisian menjadi sangat penting untuk didorong. Akan tetapi pengalaman menunjukan bahwa kalaupun pengadilan disiplin terjadi, sanksi yang diberikan kepada anggota kepolisian dinilai kurang sebanding dan tidak cukup menjerakan. Contohnya dalam satu kasus KDRT, sanksi yang dijatuhkan hanya penundaan kenaikan pangkat selama 6-12 bulan dan “penahanan” selama beberapa minggu di kantornya sendiri, yang ternyata tetap memungkinkan terhukum untuk bebas beraktivitas sepanjang di lingkungan kantornya tersebut.

 Meskipun begitu, pengesahan Perkap ini merupakan pernyataan komitmen Polri terhadap penegakan HAM.  Perkap ini dapat digunakan untuk menagih komitmen tersebut, karena saat ini sepertinya belum ada perubahan signifikan, dilain pihak kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM oleh Polri masih terjadi di berbagai daerah terus terjadi.

Lembaga kepolisian menyediakan tiga keluaran jasa yang berharga yaitu: pelayanan, pemeliharaan ketertiban, dan penegakan hukum. Keluaran jasa itu juga meliputi pekerjaan utama yang terdapat dalam organisasi kepolisian. “Pelayanan” mengacu pada penyediaanbantuan bagi masyarakat dalam mengatasi masalah yang tidak berhubungan dengan tindak pidana.