PATUH-Oi

Sunday, September 15, 2013

MEMAHAMI EKSEKUSI TERHADAP BENDA OBJEK JAMINAN FIDUSIA DENGAN AKTA DI BAWAH TANGAN




MEMAHAMI  EKSEKUSI TERHADAP BENDA OBJEK JAMINAN FIDUSIA
DENGAN AKTA DI BAWAH TANGAN


Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan.              Akan tetapi  untuk  menjamin kepastian hukum bagi  kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

Namun kerap terjadi di masyarakat perjanjian fidusia tidak di buatkan akta notaris dan didaftarkan  di kantor pendaftaran fidusia alias dibuat dibawah tangan,  dengan cara membuat perjanjian atau akta dengan melibatkan para pihak saja yakni Debitur dan kreditur dan dibuat tidak di hadapan pejabat pembuat akta yang sah yang ditetapkan oleh undang-undang (notaris, PPAT dll). 

Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna. 
Untuk akta yang dilakukan  di bawah tangan biasanya harus  diotentikan ulang oleh para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah, misalnya di pengadilan.   Pertanyaannya adalah apakah sah dan memiliki kekuatan bukti hukum suatu akta di bawah tangan? Menurut pendapat penulis, sah-sah saja digunakan asalkan para pihak mengakui keberadaan dan isi akta  tersebut. Dalam prakteknya,  di kampung atau karena kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum dikuatkan lewat akta di bawah tangan seperti dalam proses jual beli dan utang piutang. Namun, agar akta tersebut kuat, tetap harus dilegalisir para pihak kepada pejabat yang berwenang.

Saat ini, banyak lembaga  pembiayaan (finance) dan bank (bank umum  maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia. Prakteknya lembaga pembiayaan menyediakan barang  bergerak yang diminta konsumen (semisal motor atau mesin industri) kemudian diatasnamakan konsumen sebagai debitur (penerima kredit/pinjaman). Konsekuensinya debitur menyerahkan kepada kreditur (pemberi kredit)  secara fidusia. Artinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia kepada kreditur yang dalam posisi  sebagai penerima fidusia.  Praktek sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur/pihak yang punya barang  mengajukan pembiayaan kepada kreditor, lalu kedua belah sama-sama sepakat mengunakan jaminan fidusia terhadap benda milik debitor dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia, dan salinannya diberikan kepada debitur.  Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan.

Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia  dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat surat penetapan permohonan bantuan pengamanan eksekusi. Bantuan pengamanan eksekusi ini bisa ditujukan kepada aparat kepolisian, pamong praja dan pamong  desa/kelurahan dimana benda objek jaminan fidusia berada. Dengan demikian bahwa pembuatan sertifikat jaminan fidusia melindungi penerima fidusia jika pemberi fidusia gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kedua belah pihak.

Akibat Hukum
Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditor bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan  dari kreditor. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitor dan sebagian milik kreditor. Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  dan dapat digugat ganti kerugian.

Dalam konsepsi hukum pidana,  eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Pasal ini menyebutkan:
  1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
  2. Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.

Situasi ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi  melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia.  Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat  terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor.

Bahkan apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia, karena tidak syah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat.  Mungkin saja debitor yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai

Pasal  372 KUHPidana menandaskan: Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Oleh kreditor, tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditor dan debitor, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukan  porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak.  Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk rugi waktu dan pemikiran.

Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal. Poblem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan customer service yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat perkembangan zaman. Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat di hadapan notaris sementara lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi fidusia di lapangan dalam waktu yang relatif cepat.

Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah  terhadap kreditor sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah.  Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.

Penulis juga mengkhawatirkan adanya dugaan pengemplangan pendapatan negara non pajak sesuai UU No. 20 Tahun 1997 Tentang Pendapatan Negara Non Pajak, karena jutaan pembiayaan (konsumsi, manufaktur dan industri) dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan dan mempunyai potensi besar merugikan keuangan pendapatan negara.

Proses Eksekusi
Bahwa asas perjanjian pacta sun servanda yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh  pihak-pihak yang bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia  di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang prosedural hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang dikandungnya. 

Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak menggunakan semua upaya hukum yang tersedia.  Biaya yang musti dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak.  Masyarakat yang umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum adalah penting.

Tuesday, September 10, 2013

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)

Sistem Peradilan Pidana Anak

Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana (Pasal 1 angka 1 UU No.11 Tahun 2012)

Kategori Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Anak dalam UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, antara lain :
(1)  Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana (Pasal 1 angka 2 UU No.11 Tahun 2012);
(2)  Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU No.11 Tahun 2012).
(3)  Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana (Pasal 1 angka 4 UU No.11 Tahun 2012).
(4)  Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri (Pasal 1 angka 5 UU No.11 Tahun 2012)

Keadilan Yang Dituju Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan (Pasal 1 angka 6 UU No.11 Tahun 2012).
Dalam rangka mewujudkan keadilan restoratif, maka dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dimungkin adanya diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (Pasal 1 angka 7 UU No.11 Tahun 2012).

Pihak-Pihak Yang Berperan Mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Anak
Pihak-pihak yang berperan mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Anak, antara lain adalah :
1.    Penyidik adalah penyidik Anak (Pasal 1 angka 8 UU No.11 Tahun 2012);
2.    Penuntut Umum adalah penuntut umum Anak (Pasal 1 angka 9 UU No.11 Tahun 2012);
3.    Hakim adalah hakim Anak (Pasal 1 angka 10 UU No.11 Tahun 2012);
4.    Hakim Banding adalah hakim banding Anak (Pasal 1 angka 11 UU No.11 Tahun 2012);
5.    Hakim Kasasi adalah hakim kasasi Anak (Pasal 1 angka 12 UU No.11 Tahun 2012);
6.    Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap Anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana (Pasal 1 angka 13 UU No.11 Tahun 2012);
7.    Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial Anak (Pasal 1 angka 14 UU No.11 Tahun 2012);
8.    Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial Anak (Pasal 1 angka 15 UU No.11 Tahun 2012);
9.    Keluarga adalah orang tua yang terdiri atas ayah, ibu, dan/atau anggota keluarga lain yang dipercaya oleh Anak (Pasal 1 angka 16 UU No.11 Tahun 2012);
10.  Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak (Pasal 1 angka 17 UU No.11 Tahun 2012);
11.  Pendamping adalah orang yang dipercaya oleh Anak untuk mendampinginya selama proses peradilan pidana berlangsung (Pasal 1 angka 18 UU No.11 Tahun 2012);
12.  Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 19 UU No.11 Tahun 2012);
13. Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya (Pasal 1 angka 20 UU No.11 Tahun 2012);
14.  Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya disingkat LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung  (Pasal 1 angka 21 UU No.11 Tahun 2012);
15.  Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disingkat LPKS adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak (Pasal 1 angka 22 UU No.11 Tahun 2012);
16.  Klien Anak adalah Anak yang berada di dalam pelayanan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 1 angka 23 UU No.11 Tahun 2012);
17.  Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan (Pasal 1 angka 24 UU No.11 Tahun 2012)

Wednesday, August 21, 2013

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA KECELAKAAN LALU LINTAS



LATAR BELAKANG
Maraknya kasus-kasus kecelakaan lalu lintas di jalan raya yang terjadi akhir-akhir ini, sebagai catatan sebut saja mulai dari kasus kecelakaan tunggal yang menimpa artis dangdut Saipul Jamil bersama sang istri Virginia di ruas tol Cipularang yang mengakibatkan meninggalnya istri Saipul Jamil; Kasus tabrakan Xenia maut yang dikendarai Afriani Susanti hingga menewaskan 9 orang di daerah Tugu Tani Jakarta; Kasus tabrakan beruntun Honda Jazz maut yang dikemudikan oleh Hadi Reski Ramadhani seorang pelajar/siswa SMP yang menabrak 15 orang dan mengalami luka-luka di Makassar; Kasus tabrakan Mercy Maut yang dilakukan oleh Darsan Sutrisna yang menabrak orang-orang di pinggir Bundaran HI sehingga mengakibatkan satu orang tewas dan dua orang lainnya luka-luka;
Selanjutnya kasus tabrakan yang cukup menghebohkan dilakukan oleh seorang model Novi Amalia yang menabrak 7 orang di kawasan Taman Sari, Jakarta Barat, yang mengakibatkan korban-korban mengalami luka ringan; Kasus kecelakaan Livina Maut yang dilakukan oleh Andika Pradipta yang mengakibatkan 2 orang tewas, dan 5 orang mengalami luka-luka di sekitar jalan Ampera Jakarta; hingga kasus kecelakaan lalu lintas yang baruini terjadi menimpa Rasyid Amrullah, pengemudi BMW X5, anak dari Menteri Hatta Rajasa, yang mengakibatkan merenggut dua nyawa di Tol Jagorawi.
Faktor dominan dalam terjadinya kasus-kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi adalah kelalaian atau kekurang hati-hatian pengemudi, hal ini bisa disebabkan karena dugaan mengemudi dalam keadaan mengantuk, sampai kepada mengemudi di bawah pengaruh narkoba dan alkohol.

DASAR HUKUM DAN SANKSI PIDANA BAGI PENGE- MUDI KENDARAAN YANG MENGAKIBATKAN LUKA-LUKA DAN KEMATIAN DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS
Dalam setiap kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi di jalan raya, tentunya mempunyai konsekwensi hukum bagi pengemudi kendaraan tersebut. Ketentuan hukum yang mengatur terkait kecelakaan maut yang mengakibatkan luka-luka ataupun meninggalnya seseorang, secara umum adalah KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan secara khusus adalah diatur dalam Undang Undang (UU) No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas. Sering kali masyarakat memandang bahwa kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan luka-luka dan kematian, mutlak kesalahannya selalu pada pengemudi kendaraan yang bersangkutan. Sedangkan menurut teori hukum yang berlaku bahwa kesalahan seseorang dilihat dari faktor kejadian yang sebenarnya, faktor apa yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas tersebut. Hal ini dapat diungkapkan dari kronologis kejadian, kesaksian-kesaksian termasuk saksi mata yang melihat terjadinya kecelakaan.
Dalam KUHP, pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas adalah Pasal 359 KUHP, yang berbunyi:
Pasal 359
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”
Kemudian terdapat peraturan perundang-undangan yang lebih khusus mengatur lebih khusus, rinci dan tegas lagi tentang berlalu-lintas di jalan raya/tol dan kecelakaan lalu lintas, termasuk mengatur tentang kelalaian/kealpaan didalam mengemudikan kendaraan hingga menyebabkan luka-luka dan kematian, yaitu Undang-Undang  Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), Di dalam UU LLAJ tersebut, pasal-pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraanyang karena kelalaiannya mengakibatkan luka-lua dan kematian bagi orang lain adalah diatur dalam Pasal 310 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU LLAJ, yang berbunyi:
(1) “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan dan/atau denda paling banyak Rp1 juta.”
(2) “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau denda paling banyak Rp2 juta.”
(3) “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 juta.”
(4) ”Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp12 juta.”
Unsur-unsur pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ antara lain:

(1) Setiap orang;
(2) Mengemudikan kendaraan bermotor;
(3) Karena lalai; dan
(4) Mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
Atas ke-empat unsur dalam Pasal 310 UU LLAJ tersebut, umumnya unsur ke (3) yang lebih memerlukan waktu agar dapat terbukti. Melalui penyidikan, aparat penegak hukum, dalam hal ini pihak kepolisian hendaklah harus membuktikan adanya unsur kelalaian itu.
Atas kedua aturan tersebut atas apabila apabila dalam kasus kecelakaan tersebut mengakibatkan kematian bagi seseorang. Maka menurut Hukum yang harus dikenakan bagi pengemudi kendaraan tersebut adalah jeratan pidana yang diatur dalam UU LJAJ, dalam Hal ini sesuai dengan ketentuan yang mengacu pada Pasal 63 ayat (2) KUHP menyebutkan bahwa:
Pasal 63 ayat (2)
“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
Acuan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, karena kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian telah diatur dalam UU LLAJ sebagai peraturan yang bersifat khusus, maka penuntut umum dalam surat dakwaannya dan Majelis Hakim dalam mengadili dengan menerapkan ketentuan dalam Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ dengan ancaman pidana maksimum 6 (enam) tahun, dan bukan Pasal 359 dalam KUHP.
Lain lagi jika dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi, pengemudi  tersebut mengemudikan kendaraan dalam kondisi tertentu yang bisa membahayakan orang lain, ancaman hukuman pidananya lebih tinggi apabila korbannya meninggal dunia, yaitu ancaman hukumannya 12 tahun penjara.
Secara lengkap diatur ketentuan pasal 311 UU LLAJ, yang berbunyi:
Pasal 311
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Unsur-unsur pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan Pasal 311 ayat (5) UU LLAJ antara lain:
(1) Setiap orang;
(2) Mengemudikan kendaraan bermotor;
(3)Dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor    
dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang
(4) Mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
Dalam ketentuan Pasal 311 UU LLAJ  ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) sebenarnya serupa dengan Pasal 310 UULLAJ, akan tetapi yang membedakan dalam pasal 311 UU LLAJ ini adalah terdapatnya unsur kesengajaan pengemudi yang mengemudikan kendaraan dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang. Hal inilah yang menyebabkan hukuman pidana dalam pasal 311 UU LLAJ lebih berat jika dibandingkan dengan Pasal 310 UU LLAJ.
Sebagai tambahan informasi, jika dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi, pengemudi kendaraan yang menabrak tidak mempunyai Surat Izin Mengemudi (SIM) yang dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan, maka kemudian dapat ditambahkan pengenaan terhadap pasal 281 UU LLAJ,  yang berbunyi:
Pasal 281
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)”.
Untuk memperjelas pasal diatas, bunyi Pasal 77 ayat (1) UU LLAJ tersebut adalah:
Pasal 77 ayat (1)
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan”


KONTROVERSI PENERAPAN HUKUM PIDANA DALAM KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS
Hal kontroversi atas penerapan hukum pidana atas kasus kecelakaan lalu lintas jalan raya-pun pernah terjadi, masih ingat kasus meninggalnya istri Saeful Jamil, berawal dari kecelakaan maut mobil Toyota Avanza yang dikemudikan oleh Saipul Jamil di kilometer 97 jalan tol Cipularang-Jawa Barat pada tahun 2011 yang lalu yang mengakibatkan meninggalnya istrinya sendiri. Segera setelah peristiwa kecelakaan tersebut, pihak aparat kepolisian meminta pertanggungjawaban hukum terhadap Saipul Jamil akibat kelalaian-nya hingga mengakibatkan matinya seseorang, yaitu istrinya sendiri.
Hal ini kemudian tentunya langsung menimbulkan polemik, pro dan kontra-pun terjadi. Bagi pihak yang “pro” berpendapat; bahwa memang proses hukum harus tetap dilaksanakan dan harus ditegakkan tanpa pandang bulu (rule of law dan law enforcement). Saipul Jamil, yang saat itu mengemudikan kendaraan bersama istri dan saudar-saudaranya yang lain, karena “kelalaiannya” yang termasuk delik culpa/kealpaan yaitu pada saat mengemudikan kendaraan hingga menyebabkan terjadinya kecelakaan dan berakibat meninggalnya sang istri, tetaplah harus diproses secara hukum. Sedangkan pihak yang “kontra” berpendapat, bahwa tidaklah mungkin Saipul Jamil sebagai suami dari  (Alm) Virginia Anggraeni sampai tega atau dengan sengaja mencelakakan kendaraan-nya sendir, dengan tujuan agar diri-nya atau bahkan istrinya sampai meninggal dunia.
Atas kejadian proses hukum yang terjadi bagi Saipul Jamil, kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan di benak kita, seperti mengapa kasus kecelakaan tersebut harus tetap diproses hukum secara pidana? apakah bisa gugur dengan sendirinya karena yang meninggal dunia adalah istri dari Saipul Jamil itu sendiri?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, dapat dilihat jawabannya seperti yang tertuang dalam Pasal 235 ayat (1) UU LLAJ yang berbunyi:
Pasal 235 ayat (1)
“Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana”

Dalam pasal tersebut diatas ditegaskkan khususnya pada perkataan “tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana”. Artinya adalah walaupun pengemudi kendaraan sebagai pihak penabrak telah memberikan pembayaran sejumlah uang atau santunan oleh pihak penabrak kepada korban sebagai penggantian biaya pengobatan di rumah sakit atau memberikan biaya santunan bagi korban yang telah meninggal dunia kepada pihak korban/keluarga korban tetapi tetaplah tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana tersebut, atau dengan kata lain proses hukum harus tetap dilanjutkan. Hal inilah yang perlu disampaikan karena belum banyak orang yang tahu atas aturan tersebut.
Jika dikaitkan dengan kasus kecelakaan lalu lintas sebagaimana tersebut di atas, baik kecelakaan lalu lintas ringan, sedang maupun berat adalah termasuk tindak pidana. Hal ini berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 230 UU LLAJ yang berbunyi:
Pasal 230
“Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dalam proses persidangan terhadap Saipul Jamil tersebut, akhirnya pada bulan September 2012 yang lalu Pengadilan Negeri Purwakarta resmi dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman selama 5 bulan penjara dengan masa percobaan 10 bulan.


UPAYA PERDAMAIAN PIDANA DALAM  KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS
Perdamaian dalam hukum pidana dalam kasus kecelakaan lalu lintas sebenarnya juga sering terjadi dan diterapkan oleh masyarakat Indonesia. Perdamaian kerap kali terjadi diantara pihak pengemudi yang menabrak dengan pihak korban dengan cara pembayaran sejumlah uang atau santunan oleh pihak penabrak kepada korban sebagai penggantian biaya pengobatan di rumah sakit atau biaya santunan bagi korban yang telah meninggal dunia. Biasanya pihak korban telah merasa adil sementara pihak pelaku sendiri dengan tulus ikhlas membayarkan sejumlah uang tersebut.
Meskipun demikian, bagi penerapan hukum pidana yang berlaku, maka pengemudi sebagai pihak penabrak tetaplah harus diajukan ke sidang pengadilan untuk diproses secara hukum karena memang secara aturan hukum tidak ada ketentuan pengecualian walaupun sudah terjadi perdamaian diantara si penabarak dengan korban. Semua kasus pidana harus diselesaikan lewat proses peradilan, tidak peduli apakah pengemudi tersebut telah membayar sejumlah uang atau memberikan santunan kepada korban atau tidak.
Jika dikaitkan dengan kasus-kasus kecelakaan lalu lintas sebagaimana tersebut di atas, baik itu kecelakaan lalu lintas ringan, sedang maupun berat ataupun mengakibatkan kematian seseorang adalah termasuk tindak pidana. Hal ini berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 230 UU LLAJ yang berbunyi:
Pasal 230
“Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Demikian, semoga bermanfaat bagi kita semua!

(Sumber Kompasiana)