PATUH-Oi

Sunday, December 14, 2014

Truco de magia revelado - Magia con cigarros pt.1 [Magic trick revealed]

Truco de magia con goma elástica - Hacer un nudo falso

Magia: Cómo hacer el truco del globo que no se deshincha

Huevo corazón ♥ Heart Egg

5 Amazing Food Life Hacks Everyone MUST Know!

Free Energy Magnet Motor fan used as Free Energy Generator "Free Energy"...

Free Energy Magnet Motor fan used as Free Energy Generator "Free Energy"...

10 More Amazing Science Stunts (3)

Amazing Balloon Skewer Party Trick

Monday, October 6, 2014

MEMAHAMI PERBEDAAN ANTARA WANPRESTASI DAN DELIK PENIPUAN DALAM HUBUNGAN KONTRAKTUAL

MEMAHAMI PERBEDAAN ANTARA WANPRESTASI DAN DELIK PENIPUAN DALAM HUBUNGAN KONTRAKTUAL


A. PENDAHULUAN

Sudah seperti hal biasa, jika seorang kreditur kesulitan untuk meminta pelaksanaan prestasi dari pihak debitur, maka upaya yang ditempuh adalah melaporkan peristiwa itu ke polisi dengan tuduhan penipuan (eks: Pasal 378 KUHP). Ada beberapa hal yang menjadi motivasi orang untuk mengambil jalan pintas seperti itu, mulai dari sekedar ingin menakut-nakuti agar debitur melaksanakan prestasinya, sampai dengan benar-benar bertujuan untuk memenjarakan si debitur karena sudah terlalu kesal dengan tindakan debitur yang selalu mangkir dari kewajibannya. Lemahnya pemahaman para penegak hukum tentang karakteristik wanprestasi dan delik penipuan juga menjadi penyebab terjadinya miss prosedural dalam penanganan kasus-kasus yang timbul dari hubungan kontraktual. Hal itu sering terjadi karena ada beberapa unsur dalam delik penipuan yang memiliki kemiripan dengan wanprestasi dalam suatu perjanjian. Sehingga jika tidak dilakukan penelaahan secara cermat terhadap sifat dan substansinya, maka akan tersesat pada kesimpulan bahwa antara wanprestasi dan delik penipuan memiliki unsur perbuatan materiil yang sama.

Memang disatu sisi kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada kreditur yang membuat laporan polisi, karena semua itu merupakan bentuk dari akumulasi kekesalan yang dialami si kreditur atas tindakan debitur yang selalu berkelit dari kewajibannya. Ditambah lagi rumitnya prosedur hukum melalui jalur gugatan menjadi pemicu bagi orang untuk mengambil jalan pintas yang dianggap lebih cepat, lebih sederhana dan lebih memberikan paksaan secara psikologis.

Melaporkan suatu dugaan tindak pidana adalah hak bagi setiap warga negara, namun menjadi kewajiban bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penelaahan dan analisa yang cermat berdasarkan uraian kejadian yang disampaikan oleh si pelapor, kemudian menentukan apakah peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana ataukah hanya sebatas pelanggaran dari perjanjian. Berkaitan dengan hal itu Penyidik maupun Penuntut Umum telah diberikan kewenangan oleh undang-undang berdasarkan Pasal 109 Ayat (2) dan Pasal 140 Ayat (2) huruf a KUHAP untuk menentukan apakah suatu perkara yang diajukan merupakan tindak pidana atau bukan. Jika suatu perkara sudah kadung diperiksa di sidang pengadilan, maka berdasarkan yurisprudensi tetap Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya antara lain: Putusan MA-RI Nomor: 1061 K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990, Putusan MA-RI Nomor: 411 K/Pid/1992 tanggal 28 April 1994, Putusan MA-RI Nomor: 449 K/Pid/2001 tanggal 17 Mei 2001, Putusan MA-RI Nomor: 424 K/Pid/2008 tanggal 22 Mei 2008 dan Putusan MA-RI Nomor: 2161 K/Pid/2008 tanggal 14 Mei 2009. Perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti namun bukan merupakan tindak pidana dan menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).

Wanprestasi merupakan implikasi dari tidak dilaksanakannya kewajiban dalam suatu perjanjian. Hak dan kewajiban timbul karena adanya perikatan dalam perjanjian yang sah menurut Pasal 1320 KUH Perdata. Sedangkan delik penipuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 378 KUHP memiliki rumusan sebagai berikut: ”barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan membujuk orang lain untuk menyerahkan suatu barang kepadanya, atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang diancam karena penipuan.” Suatu perbuatan materiil dapat dinyatakan terbukti sebagai tindak pidana penipuan jika perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam Pasal 378 KUHP.
Suatu perjanjian yang lahir oleh adanya tipu muslihat mengandung kehendak yang cacat, sehingga secara hukum tidak memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak. Menurut Pasal 1321 KUH Perdata bahwa ”tiada suatu persetujuanpun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh karena paksaan atau penipuan”. Merujuk pada ketentuan di atas, maka ada atau tidaknya unsur penipuan dalam suatu perjanjian harus dilihat pada saat proses kesepakatan itu dibuat, bukan pada saat terjadinya wanprestasi. Menurut J. Satrio suatu perjanjian mengandung adanya unsur penipuan jika terdapat perbuatan dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran yang tidak benar tentang ciri objek perjanjian sehingga pihak yang lain tergerak atau mempunyai kehendak untuk menutup perjanjian.

Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba menguraikan beberapa indikator yang bisa digunakan untuk menentukan suatu peristiwa, apakah termasuk kedalam katagori wanprestasi ataukah delik penipuan melalui beberapa penelaahan terhadap karakteristik wanprestasi menurut hukum perjanjian dan delik penipuan menurut unsur-unsur Pasal 378 KUHP, sekaligus penulis juga akan mencoba untuk memunculkan wacana baru dalam proses penyelesaian perkara di pengadilan menyangkut kesalahan prosedur dalam penanganan kasus wanprestasi.

B. PERBEDAAN ANTARA RANAH ”HUKUM PUBLIK” DAN ”HUKUM PRIVAT”
Berdasarkan isi dan kepentingan yang diaturnya hukum digolongkan menjadi dua jenis, yaitu hukum privat (privaat recht) dan hukum publik (publiek recht). Beberapa sarjana terkemuka telah memberikan batasan tentang apa yang dimaksud dengan hukum privat antara lain:
Prof. Subekti menyebutkan:
”hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil yaitu segala hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan”
Prof. Sudikno Mertokusumo menyebutkan:
”hukum antar perseorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan antara yang satu dengan yang lain di dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat dimana pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing pihak”.
Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara subjek hukum dengan pemerintah atau hukum yang mengatur kepentingan masyarakat. Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum publik karena ada keterlibatan pemerintah sebagai penguasa. Definisi hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi barangsiapa yang melakukan dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana. Sedangkan menurut CST. Kansil hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Dua ranah hukum tersebut memiliki kompetensi dan prosedur penyelesaian masing-masing. Di antara keduanya harus ada batasan yang jelas agar tidak terjadi salah prosedur dalam proses penyelesaian terhadap setiap wilayah kompetensi hukum yang dilanggar.
Dengan menggunakan beberapa pendapat para sarjana di atas setidaknya telah memberikan penjelasan bagi kita bahwa antara hukum privat dan hukum publik memiliki perbedaan yang jelas menyangkut subjek hukum yang terlibat di dalamnya. Hukum privat mengatur tentang hubungan antar subjek hukum perseorangan/badan hukum dalam kedudukan yang seimbang, sedangkan pada hukum publik subjek hukumnya terdiri dari pemerintah sebagai penguasa dengan warga negara dalam hubungan pengaturan yang bersifat publik.

Setiap orang berhak untuk saling mengikatkan diri dalam suatu hubungan-hubungan hukum dengan berpedoman pada asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam hukum perjanjian. Setiap perjanjian akan menimbulkan beberapa perikatan yang berisi hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya. Hubungan yang timbul dari hukum perikatan bersifat khusus dan individual karena hanya memiliki kekuatan mengikat bagi mereka yang membuatnya. Sehingga akibat hukum yang timbul atas terlanggarnya hak dan kewajiban tersebut merupakan domain dari hukum privat. Berbeda halnya dengan hukum pidana dimana setiap kewajiban yang timbul semata-mata karena ditentukan oleh penguasa dalam suatu peraturan perundang-undangan.

C.PERBEDAAN ANTARA ”MELAWAN HUKUM” DENGAN ”MELAWAN PERIKATAN”
Dalam suatu rumusan delik sering kita menjumpai istilah ”melawan hukum” yang sebenarnya merupakan terjemahan dari istilah ”wederrechtijkheid” dalam Bahasa Belanda. Sifat melawan hukum harus selalu ada di dalam setiap tindak pidana, baik dicantumkan secara tegas sebagai unsur tindak pidana seperti pada Pasal 362, 372, dan 378 KUHP, maupun dianggap selalu termuat dalam setiap rumusan tindak pidana. Wederrechtijkheid diterjemahkan oleh beberapa sarjana secara berbeda-beda dan tidak ada keseragaman pendapat menganai hal itu. Diantara beberapa batasan yang berkembang antara lain, menurut Simon kata ”recht” dalam wederrechtelijk diterjemahkan sebagai ”hukum”. Perbuatan yang mengandung wederrechtelijk tidak perlu melawan hak orang lain, namun sudah cukup apabila perbuatan itu melawan ”objectief recht, Noyon mengartikan ”recht” itu sebagai hak (subjectief recht), sedangkan H.R. dalam Putusannya tertanggal 18 Desember 1911 W. No. 9263 ”recht” ditafsirkan sebagai hak atau kekuasaan dan wederrechtelijk berarti tanpa kekuasaan atau tanpa hak.

Menurut teori hukum pidana, sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid dibagi menjadi dua aliran yaitu sifat melawan hukum materiil dan sifat melawan hukum formil. Pengertian bahwa wederrechtelijk adalah suatu keadaan yang hanya menunjuk pada pengertian ”zonder eigen recht” ternyata banyak ditentang oleh para sarjana seperti halnya Simon yang mengatakan bahwa hanyalah ada satu pendapat yang dapat diterima sebagai syarat untuk adanya suatu wederrechtelijkheid yaitu bahwa telah dilakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum atau ”dat er is gehandeld, in strijd met het recht”.

Dari beberapa teori di atas pada umumnya menyebutkan bahwa sifat melawan hukum dalam suatu tindak pidana ditujukan pada suatu perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan hukum, sedangkan hukum yang dimaksud adalah hukum yang berlaku secara umum baik dalam artian formil maupun materiil. Pengertian hukum yang bersifat umum adalah hukum yang mengatur dan mengikat kehidupan masyarakat secara umum. Selanjutnya Noyon mengatakan bahwa Zonder recht (tanpa hak) itu adalah berbeda dengan tegen het recht (melawan hukum) dan perkataan wederrechtelijk itu dengan tidak dapat disangkal lagi menunjuk pada pengertian yang terakhir. Sedangkan terminologi wederechtelijkheid dalam kaitannya sebagai bentuk ”melawan hak” adalah semata-mata menujuk pada hak yang diberikan oleh hukum yang berlaku secara umum/dibuat oleh penguasa, bukan hak yang timbul dari hubungan kontraktual.

Berdasarkan uraian di atas, maka selanjutnya kita akan membandingkan antara ”melawan hukum” dalam suatu tindak pidana dengan ” melawan perikatan” yang timbul dari hubungan kontraktual. Sifat melawan hukum melekat pada suatu perbuatan sehingga perbuatan itu dapat dipidana, baik karena bertentangan dengan undang-undang maupun karena telah melanggar hak subjektif orang lain, namun pada akhirnya perbuatan tersebut harus pula dilarang oleh suatu peraturan perundangan yang berlaku. Sedangkan ” melawan perikatan” melekat pada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian,
Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan bahwa ”semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kalimat ”sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”? Jika kita simak makna dari kalimat diatas, maka sesungguhnya pembentuk undang-undang ingin memberikan suatu kekuatan mengikat yang sama antara perjanjian yang dibuat secara sah dengan undang-undang yang dibuat oleh penguasa, namun perlu diperhatikan bahwa kedudukan tersebut hanya ditujukan bagi para pihak yang membuat perjanjian saja, artinya meskipun suatu perjanjian dipersamakan daya mengikatnya dengan undang-undang, namun bukan berarti bahwa perjanjian memiliki kedudukan seperti undang-undang yang dapat berlaku secara umum. Makna dari ”kekuatan mengikatnya sebagaimana undang-undang” semata-mata terletak pada hak untuk menuntut pemenuhan prestasi dan ganti kerugian di hadapan pengadilan negara seperti halnya jika orang telah melanggar undang-undang.

Secara umum ”melawan hukum” dengan ”melawan perikatan” memiliki beberapa perbedaan antara lain:
 Sifat melawan hukum dalam suatu tindak pidana merupakan suatu keadaanØ atau perbuatan yang telah bertentangan dengan hukum yang berlaku secara umum, sedangkan melawan perikatan adalah suatu keadaan atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku secara khusus, karena hanya mengikat bagi mereka yang membuatnya.
 Suatu tindak pidana mengandung sifat melawan hukum yang oleh karenanyaØ perbuatan tersebut dapat dipidana, sedangkan wanprestasi mengandung sifat melawan perikatan yang oleh karenanya kreditur dapat menuntut pemenuhan prestasi, ganti rugi, denda maupun bunga.
 Sifat melawan hukum melekat pada perbuatan yang telah melanggar aturanØ hukum yang dibuat oleh penguasa, sedangkan sifat melawan perikatan melekat pada perbuatan yang telah melanggar aturan yang dibuat oleh para pihak dalam suatu perjanjian.

Berdasarkan beberapa penelaahan di atas, jelas bahwa sifat melawan hukum dalam suatu tindak pidana memiliki karakteristik yang berbeda dengan sifat melawan perikatan dalam suatu perjanjian, sehingga di antara keduanya harus dipisahkan secara tegas agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran dalam proses penyelesaian terhadap dua karakteristik pelanggaran hukum tersebut. Setiap penegakan hukum yang telah membawa suatu perbuatan yang melanggar hak dan kewajiban dalam hukum perikatan ke dalam ranah hukum pidana (delik penipuan) merupakan suatu pelanggaran prosedur (undue process) dan bertentangan dengan tertib hukum yang berlaku.

D.PERBEDAAN ANTARA UNSUR ”TIPU MUSLIHAT” DAN SERANGKAIAN KEBOHONGAN” DENGAN ”TIDAK MELAKSANAKAN PRESTASI”

Dalam memahami wanprestasi dan tindak pidana penipuan kita sering tersesat dalam menafsirkan unsur ”tipu muslihat” dan ”serangkaian kebohongan” dalam Pasal 378 KUHP dengan pengertian ”ingkar janji” dalam hubungan kontraktual, sepintas memang seperti sama, namun jika kita telaah secara lebih mendalam, maka akan muncul beberapa perbedaan yang sangat prinsip yang bisa menjadi indikator untuk membedakan antara delik penipuan dengan wanprestasi.

Tipu muslihat (listige kunstgrepen) berdasarkan Arrest HR tanggal 30 Januari 1911 adalah perbuatan-perbuatan yang menyesatkan yang dapat menimbulkan dalih-dalih yang palsu dan gambaran-gambaran yang keliru dan memaksa orang untuk menerimanya. Yang membedakan tipu muslihat dengan kebohongan adalah pada bentuk perbuatannya. Tipu muslihat merupakan perbuatan fisik sedangkan kebohongan merupakan bentuk perbuatan lisan atau ucapan.

Istilah kebohongan berasal dari kata ”bohong” menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia bohong adalah suatu keadaan yang tidak sesuai dengan hal (keadaan dsb) yang sebenarnya misalnya dalam pernyataan: ”si pulan kemaren menggunakan baju merah”. sedangkan kenyataannya kemaren si pulan menggunakan baju hitam. Kebohongan adalah suatu pernyataan yang diungkapkan bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya dan kenyataan itu telah ada pada saat pernyataan itu diucapkan. Coba bandingkan dengan pernyataan ”si pulan berjanji besok akan menggunakan baju merah” apakah pada saat mengungkapkan pernyataan itu si pulan telah berbohong? Benar dan tidaknya pernyataan itu belum bisa dibuktikan pada saat si pulan berjanji, karena setiap janji baru bisa dibuktikan pada saat waktunya telah tiba. Lalu jika ternyata besok si pulan tidak menggunakan baju merah apakah si pulan telah berbohong? Menurut pengertian bahasa lebih tepat dikatakan bahwa si pulan telah ingkar janji, karena ketika berjanji belum ada kebenaran apa-apa.

Untuk memperkuat landasan argumen dalam tulisan ini kita kutip pendapat dari Adami Chazawi dalam bukunya Kejahatan Terhadap Harta Benda sebagai berikut: ”ketidakbenaran yang terdapat pada tipu muslihat maupun rangkaian kebohongan harus telah ada pada saat melakukan tipu muslihat dan lain-lain” menurut pendapat diatas bahwa untuk menentukan adanya tipu muslihat maupun serangkaian kebohongan orang harus sudah bisa membuktikan ketidakbenarannya ketika tipu muslihat atau kebohongan itu dilakukan. Berbeda dengan ingkar janji yang ketidakbenarannya tidak bisa dibuktikan pada saat mengucapkan janji. Menurut pengertian bahasa ”janji” adalah perkataan yang menyatakan kesudian hendak berbuat sesuatu, janji selalu berhubungan dengan jangka waktu tertentu, artinya pemenuhan janji selalu digantungkan pada masa waktu setelah janji itu diucapkan. Dalam setiap janji selalu akan memiliki dua komponen yaitu komponen waktu dan komponen perbuatan, maka sesungguhnya ingkar janji merupakan bentuk pelanggaran terhadap dua komponen tersebut. Dari beberapa ilustrasi di atas, kita dapat mengidentifikasi beberapa indikator yang dapat membedakan antara ”tipu muslihat” dan ”berbohong” dalam unsur tindak pidana penipuan dengan ”ingkar janji” dalam hubungan kontraktual sebagai berikut:
 Tipu muslihat dan serangkaian kebohongan bisa dibuktikanØ ketidakbenarannya sejak perbuatan/pernyataan itu dibuat, sedangkan ingkar janji harus dibuktikan ketidakbenarannya pada rentang waktu tertentu setelah janji itu dibuat.
 Tipu muslihat dan serangkaian kebohongan bisa dilakukan terhadapØ keadaan pada dirinya maupun keadaan di luar dirinya, sedangkan berjanji selalu digantungkan pada kesanggupan dirinya walaupun kesanggupan itu ditujukan supaya orang lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Selain dari apa yang telah diuraikan di atas unsur ”serangkaian kebohongan” atau menurut R. Soesilo disebut sebagai ”karangan perkataan-perkataan bohong” dalam Pasal 378 KUHP diterjemahkan sebagai bentuk dari ”beberapa kebohongan” atau harus dipakai banyak kata-kata bohong yang tersusun sedemikian rupa sehingga kebohongan yang satu dapat ditutup dengan kebohongan yang lain dan keseluruhannya merupakan cerita sesuatu yang seakan-akan benar. Jika kita telaah rumusan Pasal 378 KUHP, maka untuk dapat memenuhi unsur ”serangkaian kebohongan” tidak cukup dengan adanya satu kebohongan saja, namun harus merupakan satu akumulasi dari beberapa kebohongan yang antara satu dengan yang lain saling mendukung dan melengkapi sehingga mampu menggerakan orang untuk menyerahkan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang.

D.PERBEDAAN ANTARA ”PENYERAHAN BARANG KARENA PENIPUAN” DENGAN ”PENYERAHAN BARANG KARENA JANJI PERIKATAN”
Setelah perjanjian disepakati, maka para pihak akan melakukan penyerahan objek perjanjian (levering). Dalam perjanjian hutang-piutang, si pemberi hutang akan menyerahkan sejumlah uang kepada si penerima hutang, dengan ketentuan bahwa dalam batas waktu tertentu si penerima hutang harus mengembalikan utang pokok berikut dengan bunga kepada si pemberi hutang. Terkadang ada kesulitan untuk melihat suatu penyerahan (levering) yang dilakukan secara normal sebagai bagian dari kewajiban perikatan dengan penyerahan karena adanya unsur penipuan dalam kesepakatan yang dibuat tanpa dibuktikan adanya keadaan diluar pokok perikatan yang telah menggerakkan kehendak si pemberi hutang untuk menyerahkan uang tersebut.

Janji berupa kesanggupan untuk membayar tidak dapat di katagorikan sebagai bentuk penipuan, walaupun ternyata janji tersebut tidak terwujud, karena dalam setiap perjanjian yang dibuat selalu akan ada kesanggupan-kesanggupan untuk berprestasi yang salah satunya adalah kesanggupan untuk membayar. Setiap kesanggupan yang digantungkan pada awal kesepakatan tidak selalu akan terwujud dengan sempurna, baik karena si debitur lalai atau sengaja tidak berprestasi atau bahkan karena adanya keadaan memaksa (overmacht) yang membuat si debitur tidak mampu untuk berprestasi. Penipuan dapat menyebabkan sebuah perjanjian menjadi batal, karena kesepakatan yang timbul telah diliputi oleh kehendak yang cacat sehingga perjanjian yang dibuat tidak memiliki kekuatan hukum bagi para pihak. Suatu penyerahan sebagai akibat dari kehendak yang digerakan oleh adanya tipu muslihat merupakan bentuk pengaruh yang ada diluar janji-janji dalam pokok perikatan, karena Pasal 378 KUHP menyebutkan bahwa unsur-unsur yang dapat menggerakan suatu kehendak itu antara lain: nama palsu, keadaan palsu, tipu muslihat dan serangkaian kebohongan.

Suatu penyerahan prestasi karena adanya tipu muslihat dapat digambarkan dalam sebuah ilustrasi dibawah ini:
A bersedia mengikatkan perjanjian utang piutang dengan B, karena B mengaku sebagai anak seorang pengusaha kaya yang memiliki banyak perusahaan, sehingga A tergerak oleh pengakuan B tersebut, setelah uang diserahkan kepada B, A baru tahu bahwa ternyata B bukan anak seorang pengusaha. Dalam kasus tersebut A telah menyerahkan uang karena tergerak oleh kebohongan si B. Artinya jika sejak awal A mengetahui kalau B bukan anak seorang pengusaha, maka A tidak akan mau memberikan utang kepada B.

Dalam ilustrasi di atas bisa kita lihat bahwa kehendak si kreditur telah digerakkan oleh suatu keadaan palsu yang disampaikan oleh si debitur. Keadaan yang telah menggerakkan kehendak si kreditur itu bukan merupakan bagian dari pokok perikatan yang diperjanjikan karena perikatan pokok dalam perjanjian utang piutang adalah meyerahkan uang sebagai utang dan mengembalikannya dengan/tanpa bunga sebagai jasa pemberian utang.

E.MENYOAL TENTANG EKSISTENSI PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM (ONTSLAG) DALAM PERKARA PENIPUAN YANG TIMBUL DARI HUBUNGAN KONTRAKTUAL
Konsisten pada apa yang disampaikan di awal, bahwa wanprestasi dalam hubungan kontraktual tidak memiliki sifat melawan hukum, namun yang ada hanyalah sifat melawan perikatan. Setiap keadaan tidak melaksanakan prestasi (cidera janji) dalam sebuah perjanjian tidak mengandung kesamaan dengan unsur-unsur di dalam Pasal 378 KUHP seperti nama palsu, keadaan palsu, tipu muslihat dan serangkaian kebohongan, karena wanprestasi semata-mata merupakan pelanggaran terhadap janji dalam perikatan pokok yang selalu termuat dalam setiap perjanjian.

Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam beberapa putusan antara lain Putusan MA-RI Nomor: 1061 K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990, Putusan MA-RI Nomor: 411 K/Pid/1992 tanggal 28 April 1994, Putusan MA-RI Nomor: 449 K/Pid/2001 tanggal 17 Mei 2001, Putusan MA-RI Nomor: 424 K/Pid/2008 tanggal 22 Mei 2008 dan Putusan MA-RI Nomor: 2161 K/Pid/2008 tanggal 14 Mei 2009 mengandung amar putusan bahwa perbuatan yang didakwakan terbukti, namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).

KUHAP mengenal dua jenis putusan yang tidak bersifat pemidanaan yaitu putusan bebas dan putusan lepas. Yang dimaksud dengan putusan bebas adalah jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 Ayat 1 KUHAP), sedangkan putusan lepas adalah jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 Ayat 2 KUHAP)
Dalam tindak pidana penipuan yang mengandung unsur wanprestasi pada umumnya diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Menurut Pasal 191 Ayat (2) KUHAP putusan lepas dijatuhkan jika perbuatan yang didakwakan terbukti, namun bukan merupakan tindak pidana, artinya semua unsur tindak pidana dalam pasal 378 KUHP dinyatakan relevan dengan perbuatan materiil yang didakwakan. Namun apakah memang demikian? Dalam rumusan Pasal 378 KUHP bahwa ”melawan hukum” menjadi bagian dari unsur tindak pidana, sehingga untuk terbuktinya Pasal 378 KUHP, perbuatan tersebut harus memenuhi unsur melawan hukum, sedangkan berdasarkan penelaahan diatas, bahwa dalam wanprestasi tidak mengandung unsur melawan hukum tapi yang ada hanyalah unsur melawan perikatan.

Selain harus memenuhi unsur melawan hukum, Pasal 378 KUHP juga mensyaratkan adanya unsur menggerakkan orang lain dengan nama palsu, keadaan palsu, tipu muslihat atau serangkaian kebohongan yang bersifat alternatif. Telah pula disinggung di atas bahwa tidak melaksanakan prestasi memiliki karakteristik yang berbeda dengan apa yang dimaksud dengan unsur-unsur dalam Pasal 378 KUHP. Banyak kalangan yang tidak bisa membedakan antara cidera janji dengan unsur tipu muslihat atau serangkaian kebohongan, namun sebenarnya itu telah terjawab oleh pengertian ingkar janji menurut terminologi bahasa (gramatikal). Kebohongan yang dimaksud oleh Pasal 378 tidak bersifat tunggal namun harus merupakan akumulasi dari beberapa kebohongan. Berpangkal tolak pada analisis tersebut, maka seharusnya unsur dengan nama palsu, keadaan palsu, tipu muslihat atau serangkaian kebohongan dalam Pasal 378 KUHP tidak akan terpenuhi.

Baik melawan hukum maupun menggerakkan orang lain dengan nama palsu, keadaan palsu, tipu muslihat atau serangkaian kebohongan merupakan bagian (bestandeel) dari unsur tindak pidana dalam Pasal 378 KUHP sehingga jika tidak terpenuhi salah satu unsur tersebut, maka konsekuwensinya terdakwa harus diputus bebas (vrijspraak) bukan diputus lepas (onstlag). karena putusan lepas didasari pada terbuktinya semua unsur tidak pidana yang didakwakan.

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum sebenarnya berhubungan dengan masalah pertanggungjawaban pidana (strafuitsluitingsgronden) baik karena seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya (ontoerekeningsvatbaar) maupun karena perbuatan itu sendiri yang tidak dapat dipertenggungjawabkan kepada pelakunya (ontoerekenbaarheid). Suatu perbuatan merupakan tindak pidana selain harus memenuhi unsur-unsur delik juga harus mengandung sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld). Jika suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukum karena adanya alasan pembenar atau kesalahan dalam diri si pelaku menjadi gugur karena ada alasan pemaaf, maka sesungguhnya perbuatan yang dilakukan bukanlah tindak pidana karena orang yang melakukan perbuatan tersebut tidak dapat dijatuhi pidana.

Tindak pidana merupakan terjemahan dari kata ”strafbaarfeit” yang jika diterjemahkan secara kaku, artinya ”perbuatan/keadaan yang dapat dipidana.” Para sarjana kemudian memberikan istilah yang lebih simpel dengan istilah ”tindak pidana” atau ”perbuatan pidana.” Hukum pidana materiil mengatur tentang alasan pemaaf dalam Pasal 44 KUHP, dan alasan pembenar dalam Pasal 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Jika kita cermati main stream yang dianut dalam putusan-putusan tentang delik penipuan yang mengandung unsur wanprestasi pada umumnya menyatakan bahwa perbuatan tersebut terbukti tapi bukan merupakan tindak pidana karena tidak mengandung sifat melawan hukum. Alasan tersebut menjadi kontradiktif dengan pertimbangan unsur-unsur sebelumnya yang menyatakan bahwa unsur melawan hukum dalam Pasal 378 KUHP telah dinyatakan terpenuhi.
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum menurut Pasal 191 ayat (2) KUHAP adalah jika ”perbuatan terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana” lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan suatu perbuatan itu terbukti? dan apa pengertian dari perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana? Perbuatan pidana dirumuskan dalam suatu pasal berdasarkan unsur-unsur, sehingga yang dimaksud dengan perbuatan itu terbukti adalah jika memenuhi seluruh rumusan unsur dalam pasal tindak pidana yang didakwakan. Berkaitan dengan persoalan melawan hukum dalam perkara penipuan yang mengandung unsur wanprestasi pengadilan pada umumnya berpendapat bahwa perbuatan melawan hukum menjadi hilang apabila ada kontrak, perjanjian dan perikatan.

Sebenarnya jika kita konsisten pada pendirian bahwa dalam perbuatan wanprestasi hanya ada sifat melawan perikatan yang materi dan substansinya berbeda dengan sifat melawan hukum, maka kita harus menyatakan bahwa unsur melawan hukum dalam perbuatan yang didakwakan itu tidak terpenuhi, sehingga putusan yang dijatuhkah haruslah putusan bebas bukan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

G. KESIMPULAN
Berdasarkan semua uraian di atas, maka dapat ditarik suatu benang merah bahwa antara wanprestasi dengan delik penipuan memiliki karakteristik perbuatan materiil yang berbeda baik dari unsur-unsur perbuatannya maupun dari penyebab lahirnya perbuatan tersebut. Ada beberapa hal yang dapat membedakan keduanya antara lain:
1. Sifat melawan hukum dalam tindak pidana penipuan tidak sama dengan sifat melawan perikatan yang terkandung dalam perbuatan wanprestasi;
2. Sifat melawan hukum dalam suatu tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum/aturan yang berlaku secara umum, sedangkan sifat melawan perikatan merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan aturan yang berlaku khusus yang dibuat/diperjanjikan oleh para pihak.
3. Tidak melaksanakan prestasi (ingkar janji) tidak dapat disamakan dengan unsur tipu muslihat atau serangkaian kebohongan dalam pasal 378 KUHP karena ingkar janji merupakan bagian dari pelanggaran atas perikatan pokok.
4. Penyerahan suatu prestasi karena kewajiban perikatan tidak sama dengan penyerahan prestasi karena tipu daya yang dilakukan untuk mempengaruhi kehendak seseorang dengan suatu kebohongan/keadaan palsu agar mau menyepakati suatu perjanjian
5. Dengan tidak adanya unsur melawan hukum dan unsur menggerakan orang lain dengan nama palsu, keadaan palsu, tipu muslihat atau serangkaian kebohongan, maka perkara penipuan yang mengandung unsur wanprestasi lebih tepat jika diputus bebas dengan alasan bahwa salah satu/beberapa unsur tindak pidana dalam Pasal 378 KUHP tidak terpenuhi.

Tulisan ini tidak ditujukan untuk menentang arus dalam dunia peradilan yang selama ini telah menjadi yurisprudensi tetap bahwa delik penipuan yang mengandung unsur wanprestasi ditentukan dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Namun dunia ilmu pengetahuan tidak boleh stagnan dengan sebuah teori yang ada. Jika ada keniscayaan dengan suatu temuan-temuan baru, maka setidaknya akan memperkaya khasanah perkembangan ilmu pengetahuan hukum yang ada. Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi wacana baru bagi kita dalam memahami perbedaan antara wanprestasi dan delik penipuan dalam hubungan kontraktual. Wallohualam...


DAFTAR PUSTAKA
1. Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia Publishing, Malang, 2006
2. CST. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Hukum Pidana Untuk Tiap Orang, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007
3. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung 1995.
4. Mr. E Utrecht, Hukum Pidana I, 1958.
5. PAF. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997
6. R. Achmad, S. Soema Dipradja, Pengertian Serta Sifatnya Melawan Hukum Bagi Terjadinya Tindak Pidana, Dihubungkan Dengan Beberapa Putusan Mahkamah Agung, Armico, Bandung, 1983,
7. Saud Boylog, Perbedaan Hukum Privat dan Hukum Publik, http://sbsmedia.blogspot.com/2009/09/b-erdasarkan-isi-dan-kepentingannya.html
8. Saefudien.DJ, Definisi Hukum, http://saefudiendjsh.blogspot.com/2009/08/definisi-hukum.html
9. Simon, Kitab Pelajaran Hukum Pidana, Leerboek van Het Nederlanches Strafrecht, Pionir Jaya, Bandung, 1992,
10. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976
11. Yahman, Karakteristik Wanprestasi dan Pidana Penipuan Yang Lahir Dari Hubungan Kontraktual, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta 2011

PENYEBAB PERKARA PERDATA BERUBAH MENJADI PERKARA PIDANA



PENYEBAB PERKARA PERDATA BERUBAH
MENJADI PERKARA PIDANA

Banyak kita jumpai  suatu perjanjian jual-beli atau utang-piutang antara individu kemudian mengalami kasus dan justru berujung pada masalah pidana. Padahal jelas-jelas perkara jual-beli atau utang-piutang, yang disertai perjanjian antara kedua pihak merupakan wilayah hukum perdata. Paling banyak terjadi adalah kasus perjanjian jual-beli berubah menjadi perkara penipuan.
Secara prinsip, suatu perjanjian, baik jual-beli maupun utang-piutang adalah hubungan keperdataan. Dalam hal pihak yang berutang kemudian melanggar janji pengembalian uang, maka hal tersebut merupakan peristiwa ingkar janji (wanprestasi).
Bagaimanakah perkara itu dapat berubah menjadi tindak pidana penipuan?
Tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 378 KUHP pada Bab XXV tentang Perbuatan Curang (bedrog), adalah sebagai berikut:
"Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun."
1.   Berdasarkan rumusan tersebut, unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah:
Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
2.   Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang;

3.   Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)
Unsur poin 3 di atas yaitu mengenai upaya/cara adalah unsur utama untuk menentukan apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai penipuan.
Nah jika pada sebuah perjanjian utang-piutang atau jual-beli, penting diketahui apakah ada niat untuk melakukan kejahatan dengan menggunakan nama palsu, tipu daya atau rangkaian kebohongan, sebelum dibuatnya perjanjian. Jika sejak awal sudah ada pemalsuan nama maka perkara perjanjian hutang piutang atau jual-beli tersebut masuk ke ranah hukum pidana. Namun, jika terjadi pelanggaran terhadap kewajiban dalam suatu perjanjian setelah dibuatnya perjanjian tersebut, maka hal itu merupakan wanprestasi.

Sunday, October 5, 2014

Ketika Transaksi Perdata menjadi Pidana



KETIKA TRANSAKSI PERDATA JADI PIDANA

Dari suatu hubungan perdata yang kemudian menjadi perkara pidana seringkali memang awalnya murni hubungan bisnis yang dilandasai itikad baik. Namun, ketika bisnis sedang surut dan mulai terjadi default (gagal bayar), tak sedikit yang lantas memilih melapor ke polisi ketimbang mengajukan gugatan di pengadilan. Padahal tujuan dari pemidanaan bukan untuk mendapatkan ganti rugi..
Pada prinsipnya suatu perjanjian hutang piutang adalah hubungan keperdataan antara debitur dengan kreditur. Dalam hal pihak yang berhutang kemudian melanggar janji pengembalian uang, maka hal tersebut merupakan peristiwa ingkar janji (wanprestasi).
Wanprestasi ini pada dasarnya dapat terjadi karena 4  hal:
  1. Melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan berdasarkan perjanjian;
  2. Terlambat memenuhi kewajiban;
  3. Melakukan kewajiban (misalnya pembayaran) namun masih kurang atau baru sebagian; atau
  4. Tidak memenuhi kewajiban sama sekali.
Sedangkan, penipuan adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 378 KUHP pada Bab XXV tentang Perbuatan Curang. Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Berdasarkan rumusan pasal tersebut, unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah:
  1. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
  2. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang;
  3. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)
Unsur poin 3 di atas yaitu mengenai upaya/cara adalah unsur utama untuk menentukan apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai penipuan. Hal ini sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 yang menyebutkan:
Unsur pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang.
Dalam kasus yang terkait dengan adanya perjanjian, maka harus diketahui apakah niat untuk melakukan kejahatan dengan menggunakan suatu nama palsu, tipu daya atau rangkaian kebohongan, sudah ada sejak awal, sebelum dibuatnya perjanjian (atau diserahkannya uang tersebut). Apabila terjadi pelanggaran terhadap kewajiban dalam perjanjian setelah dibuatnya perjanjian itu, maka hal tersebut merupakan wanprestasi.

Beberapa contoh kasus Perdata jadi Pidana
  1.     Pinjaman modal usaha digunakan untuk membeli mobil
Praktik penyalahgunaan uang yang dipinjam namun tidak sesuai dengan peruntukannya, dapat juga dituntut dengan tindak pidana penggelapan. Misalnya, jika kesepakatan awal pinjaman uang untuk modal usaha, namun ternyata digunakan untuk membeli mobil pribadi, maka si penerima uang yang membeli mobil tersebut dapat dituntut atas dasar dugaan tindak pidana penggelapan (Pasal 372 KUHP).
       2.    Pengurusan Izin Tidak Dilakukan, Uang tidak dikembalikan
Dalam beberapa kasus, suatu kewajiban dalam perjanjian yang tidak berhasil dipenuhi, namun uang pembayaran tidak dikembalikan juga dapat menjadi perkara dugaan tindak pidana penipuan dan/atau penggelapan. Sebagai contoh, apabila ada pihak yang berjanji akan mengurus suatu izin usaha, namun hingga waktu yang telah ditetapkan ternyata izin usaha yang dijanjikan tidak kunjung terbit, dan ternyata uang pembayaran izin tersebut tidak dikembalikan, hal tersebut juga dapat diajukan tuntutan dugaan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan.
       3.    Memberikan Cek kosong, yang sejak awal diketahui tidak ada dananya.
Misalnya Allen memberikan pinjaman dana kepada Brodi, kemudian Brodi akan melakukan pengembalian dana berikut bunganya dengan menerbitkan cek dengan tanggal yang telah disepakati (tanggal mundur) antara Allen dan Brodi. Apabila Brodi menerbitkan cek yang disadari olehnya bahwa cek tersebut tidak akan pernah ada dananya, padahal dia telah menjanjikan kepada Allen bahwa cek tersebut ada dananya, maka perbuatan Brodi dapat dikategorikan sebagai perbuatan penipuan dengan cara tipu muslihat.
Hal tersebut tidak akan sampai ke ranah pidana, apabila Brodi tahu cek tersebut memang ada dananya pada saat diterbitkan. Namun ketika jatuh tempo dananya tidak ada, maka perbuatan Brodi dapat dikategorikan sebagai wanprestasi.
Dari uraian kasus-kasus di atas, perkara pidana yang di-kamuflasekan dengan perjanjian bisnis, selalu berawal dari niat jahat dan itikad tidak baik dari si pelaku. Hal ini tentu akan berbeda dengan suatu pihak yang menjadi berhutang karena adanya kegagalan dalam bisnisnya, yang membuatnya tidak mampu mengembalikan hutang.
Namun demikian, apabila si pihak berhutang beritikad baik untuk membayar hutangnya tersebut, maka sangat disarankan untuk membuat kesepakatan penyelesaian pembayaran hutang dan jangan malah menghindari atau melarikan diri. Karena itikad tidak baik tersebut, sangat berpotensi menjadi persoalan pidana.

Semoga bermanfaat.



Dikutip dari  : B. Prasetio

Sunday, July 20, 2014

PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH KARENA PEWARISAN



PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH KARENA PEWARISAN

Tinjauan Yuridis terhadap Peralihan Hak Milik Atas Tanah karena Pewarisan dihubungkan dengan UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juncto PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

       Masalah pertanahan adalah masalah yang tidak terlepas dari perkembangan dan pembangunan kota. Bahkan oleh Pemerintah khusus mengenai persoalan tanah mengisyaratkan agar penanganannya dilakukan dengan hati-hati. Berbagai kasus pertanahan yang muncul saat ini menunjukkan betapa masalah pertanahan menjadi prioritas.
       Secara akademis dapat dikemukakan bahwa penyebab terjadinya konflik di bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai makna penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian. Ini baik secara vertikal maupun secara horizontal peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan tanah, praktek-praktek manipulasi dalam perolehan tanah pada masa lalu dan di era reformasi muncul kembali gugatan, dualisme kewenangan (pusat-daerah) tentang urusan pertanahan serta ketidakjelasan mengenai kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adat dalam sistem perundang-undangan agraria.
       Sebagaimana diketahui bahwa tanah, khususnya bagi masyarakat mempunyai kedudukan sentral, baik sebagai sumber daya produksi maupun sebagai tempat pemukiman. Oleh karena itu masalah tanah selalu mendapat perhatian dan penanganan yang khusus pula. Lebih-lebih lagi dalam era pembangunan ini, bahwa pembangunan menjangkau berbagai macam aktifitas dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya, yang sedikit atau banyak akan berkaitan dengan bidang tanah.
       Pembangunan sendiri dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, baik untuk prasarana maupun sarana, memerlukan tanah. Demikian pula seluruh lapisan masyarakat, dalam usaha meningkatkan kualitas hidupnya memerlukan tanah. Oleh karena itu gejala hubungan timbal balik antara manusia dengan tanah ini dilihat dari satu sudut : manusia semakin lama semakin meningkat mutu dan jumlahnya (kualitas dan kuantitasnya) sehingga kebutuhan manusia akan tanah yang relatif semakin sempit ini, semakin bertambah.
       Menghadapi hubungan timbal balik ini serta sekaligus untuk menata hubungan dimaksud, dicetuskan gagasan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan pendataan penguasaan tanah yang selalu  mutakhir, terutama untuk keperluan perpajakan, perencanaan dan pengawasan serta dibalik itu juga bagi masyarakat memberikan jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanahnya.
       Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah; Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah; dan lain-lain.
       Kebijakan hukum tentang pembatasan kepemilikan hak atas tanah yang diterapkan dalam pasal-pasal UUPA tersebut dalam tatanan teoritis idealis tampak mencerminkan cita-cita dari pembentukan UUPA itu sendiri yang pada pokoknya bertujuan untuk:
  1. meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
  2. meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
  3. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyar keseluruhan.
       Dalam tatanan praktis, bukan hal mudah untuk mewujudkan cita-cita pembentukan UUPA tersebut karena konflik kepentingan antara berbagai pihak senantiasa menjadi duri dalam pencapaian tujuan tersebut sehingga pelaksanaan kebijakan yang mengatur masalah hak-hak atas tanah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Perselisihan yang terjadi baik secara horizontal maupun vertikal banyak mewarnai ranah pertanahan Indonesia, khususnya mengenai hak milik ini sehingga pada akhirnya banyak melahirkan sengketa hak milik.
       Dalam Pasal 19 UU no. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria atau disingkat UUPA) dikatakan bahwa pendaftaran tanah dimaksudkan untuk memeberikan kepastian hukum dan yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah memberikan kepastian hak-hak atas tanah.[1] Adapun cara-cara pendaftaran tanah yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hak-hak atas tanah.
       Pendaftaran peralihan hak yang diesbabkan oleh pewarisan, pemohon hanya cukup menyertakan bukti sebagai ahli waris yang sah, yang kesemuanya tertuang dalam fatwa waris, mengapa harus menyertakan bukti penunjukan sebagai ahli waris yang sah? Karena ahli waris berhak secara sah “……menggantikan kedudukan hukum dari orang yang meninggal dalam kedudukan hukum mengenai harta kekayaannya”.[2] Maka dengan sendirinya hak penguasaan atas tanah dan atau bangunan jatuh secara otomatis pada ahli waris. Namun demikian seperti halnya perbuatan hukum lain, ahli waris harus mendaftarkan peralihan haknya tersebut pada kantor Pertanahan terlebih dahulu guna kepastian hukum atas tanah yang didapat dari pewarisan tersebut.
      Setelah dilakukan pendaftaran tanah, maka akan diperoleh sertifikat. Sertifikat merupakan salinan buku tanah dan surat ukur yang dijahit menjadi satu. Di dalamnya disebut dengan lengkap identitas subyek pajak yang bersangkutan dan keterangan secara terperinci obyek haknya.
       Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang yang namanya tercantum di dalam sertifikat adalah pemilik hak atas tanah yang bersangkutan.
       Seharusnya sertifikat tertulis atas nama seseorang. Namun di dalam praktek sehari-hari sering juga terjadi sertifikat hak atas tanah yang tercatat atas nama beberapa orang.
        Kemungkinan bahwa dalam satu sertifikat tercatat lebih dari satu nama bisa saja terjadi, karena ada 2 (dua) orang atau lebih yang bersama-sama membeli adalah para ahli waris dari seseorang, yang namanya mula-mula tercantum dalam sertifikat tersebut.
       Salah satu contoh kasus tentang sengketa warisan ialah pada tahun 1986, ayah A meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. Beberapa tahun kemudian, ibu A juga meninggal dunia karena sakit keras. Sebelum ibu A meninggal dunia, ia telah memberikan wasiat agar seluruh harta warisannya dibagi dua; A dan kakak A, dibagi dua sama rata. Orang tua A meninggalkan sebidang tanah dan kebun. Karena A tidak bisa mengurusi maka harta warisan itu dikelola kakak A. A terkadang mendapat bagian hasil dari pengelolaan tanah tersebut, tetapi juga tidak. Meski demikian A tidak begitu menuntut. Yang penting, tanah tersebut terawat dengan baik.
      Sekitar 2 tahun sepeninggal ibu A, ada salah satu tetangga yang menggugat kakak A ke pengadilan. Isi gugatan tersebut menyatakan bahwa sawah yang kini dikelola kakak A adalah milik orang tua tetangga tersebut. Menurut tetangga tersebut, tanah garapan itu bisa ke tangan orang tua A, sebab tanah itu dulu digadaikan oleh orang tua tetangga tersebut, tetapi ia tidak bisa menebusnya. Hal itu berlangsung bertahun-tahun hingga orang tua dia meninggal dunia, tanah itu masih dikuasai orang tua A. Tetapi A tidak percaya, karena A mempunyai bukti-bukti bahwa tanah tersebut milik orang tua A.
       Masalah tersebut kemudian bergulir ke pengadilan. Di Pengadilan Negeri, kakak A kalah. Kakak A kemudian naik banding ke Pengadilan Tinggi. Di tingkat ini, kakak A menang. Pihak penggugat kemudian naik banding ke Mahkamah Agung. Di Mahkamah Agung, kakak A mengalami kekalahan. Demikian adalah salah satu contoh kasus mengenai sengketa hak atas tanah karena warisan.
       Berdasarkan latar belakang penulisan tersebut di atas, maka yang menjadi pokok masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
  1. Apakah ahli waris yang memeperoleh hak milik atas tanah karena pewarisan harus mendaftarakan peralihan haknya tersebut menurut ketentuan PP Nomor 24 Tahun 1997?
  2. Bagaimanakah kekuatan sertifikat bagi pemegang hak atas tanah menurut UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997?
Tinjauan Umum tentang Peralihan Hak Milik Atas Tanah
A. Hak Milik Atas Tanah
       Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu “atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.[3]
       Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk:[4]
  1. hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP).
  2. hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak menyewa atas tanah pertanian.
       Dari berbagai macam hak atas tanah tersebut, hak milik merupakan satu-satunya hak primer yang mempunyai kedudukan paling kuat dibandingkan dengan hak-hak yang lainnya. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA yang berbunyi:
“Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.”
       Turun temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.[5]
       Pernyataan di atas mengandung pengertian betapa penting dan berharganya menguasai hak atas tanah dengan title “Hak Milik” yang secara hukum memiliki kedudukan terkuat dan terpenuh sehingga pemilik hak dapat mempertahankan haknya terhadap siapapun. Namun demikian bukan berarti bahwa sifat terkuat dan terpenuh yang melekat pada hak milik menjadikan hak ini sebagai hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat, karena dalam situasi dan kondisi tertentu hak milik ini dapat pula dibatasi. Pembatasan yang paling nyata diatur dalam ketentuan UUPA antara lain terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut:
  • Pasal 6 : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi social ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya.
  • Pasal 7: Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
  • Pasal 17 : Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
  • Pasal 18 : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
  • Pasal 21 ayat (1) : Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
       Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik, telah dikenal dua asas, pertama asas “Nemo plus juris transfere potest quam ipse habel”, artinya tidak seorangpun dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak miliknya atau apa yang dia punyai. Kedua, asas “Nemo sibi ipse causam possessionis mutare potest”, artinya tidak seorangpun mengubah bagi dirinya atau kepentingan pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan objeknya.[6]
       Kedua asas tersebut semakin mengukuhkan kekuatan sifat terkuat dan terpenuh hak milik atas tanah. Kewenangan yang luas dari pemiliknya untuk mengadakan tindakan-tindakan di atas tanah hak miliknya, kekuatan pemiliknya untuk selalu dapat mempertahankan hak miliknya dari gangguan pihak lain, dan segala keistimewaan dari hak milik mempunyai nilai keabsahan dan kehalalan yang dijamin kedua asas tersebut.
B. Peralihan Hak Milik Atas Tanah
       Peralihan hak atas tanah, yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. Dengan demikian berarti setiap peralihan hak milik atas tanah, yang dilakukan dalam bentuk jual beli, tukar menukar atau hibah harus dibuat di hadapan PPAT. Jual beli, tukar menukar atau hibah ini dalam konsepsi hukum adat adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat terang dan tunai. Dengan terang dimaksudkan bahwa perbuatan hukum tersebut harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang yang menyaksikan dilaksanakan atau dibuatnya perbuatan hukum tersebut. Sedangkan dengan tunai diartikan bahwa dengan selesainya perbuatan hukum dihadapan PPAT berarti pula selesainya tindakan hukum yang dilakukan dengan segala akibat hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat dibatalkan kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi mengenai hak atas tanah (hak milik) yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak atas bidang tanah tersebut.
       Dengan demikian berarti, agar peralihan hak atas tanah, dan khususnya hak milik atas tanah tersebut dapat terselenggara secara benar, maka seorang PPAT yang akan membuat peralihan hak atas tanah harus memastikan kebenaran mengenai hak atas tanah (hak milik) tersebut, dan mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dari mereka yang akan mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut. Sehubungan dengan obyek hak atas tanah yang dipindahkan PPAT harus memeriksa kebenaran dari dokumen-dokumen:
  1. mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, sertifikat asli hak yang bersangkutan. Dalam hal serifikat tidak diserahkan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau
  2. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar:
·         surat bukti yang membuktikan hak atas tanah yang lama yang belum dikonversi atau surat keterangan Kepala Desa/ Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut dengan itikad baik, dan tidak pernah ada permasalahan  yang timbul sehubungan dengan penguasaan tanahnya tersebut; dan
·         surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/ Kelurahan; dan dalam hal surat tersebut tidak dapat diserahkan maka PPAT wajib menolak membuat akta pemindahan hak atas tanah tersebut termasuk hak milik atas tanah yang akan dialihkan tersebut.
Tinjauan Umum tentang Pendaftaran Tanah
A.   Pengertian Pendaftaran Tanah
       Mengenai jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi hak milik atas tanah terdapat penegasannya lebih lanjut yaitu melalui suatu mekanisme yang dinamakan ‘Pendaftaran Tanah” atau “Recht Kadaster.”
       Pasal 1 angka (1) Ketentuan Umum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan bahwa Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mngenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Berkaitan dengan hal ini terdapat 2 macam asas hukum, yaitu asas itikad baik dan asas nemo plus yuris.[7]
  1. Asas itikad baik, yaitu bahwa orang yang memperoleh sesuatu hak dengan itikad baik akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum. Asas ini bertujuan untuk melindungi orang yang beritikad baik.
  2. Asas nemo plus yuris, yaitu bahwa orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya. Asas ini bertujuan melindungi pemegang hak yang selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun.
       Dari kedua asas tersebut melahirkan 2 sistem pendaftaran tanah, yaitu:
  1. Sistem publikasi positif, yaitu bahwa apa yang sudah terdaftar itu dijamin kebenaran data yang didaftarkannya dan untuk keperluan itu pemerintah meneliti kebenaran dan sahnya tiap warkah yang diajukan untuk didaftarkan sebelum hal itu dimasukkan dalam daftar-daftar. Jadi kelebihan pada sistem pendaftaran ini adalah adanya kepastian dari pemegang hak, oleh karena itu ada dorongan bagi setiap orang untuk mendaftarkan haknya. Kekurangannya adalah bahwa pendaftaran tersebut tidak lancar dan dapat saja terjadi pendaftaran atas nama orang yang tidak berhak dapat menghapuskan hak orang yang berhak.
  2. Sistem publikasi negatif, yaitu bahwa daftar umum tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga terdaftarnya seseorang dalam daftar umum tidak merupakan bukti bahwa orang tersebut yang berhak atas hak yang telah didaftarkan. Kelebihan dari system pendaftaran ini yaitu kelancaran dalam prosesnya dan pemegang hak yang sebenarnya tidak dirugikan sekalipun orang yang terdaftar bukan orang yang berhak. Tetapi kekurangannya adalah bahwa orang yang terdaftarkan akan menanggung akibatnya bila hak yang diperolehnya berasal dari orang yang tidak berhak sehingga orang menjadi enggan untuk mendaftarkan haknya.
       Pendaftaran tanah dapat dilakukan melalui pendaftaran tanah secara sistematis dan sporadis yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua bidang tanah di suatu wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan, baik tanah dipunyai dengan suatu hak atas tanah maupun tanah negara. Yang dimaksud dengan suatu hak adalah hak atas tanah menurut hukum adat dan hak atas tanah menurut UUPA.
B. Landasan Hukum Pendaftaran Tanah.
       Dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria, maka dualisme hak-hak atas tanah dihapuskan, dalam memori penjelasan dari UUPA dinyatakan bahwa untuk pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud Pasal 19 UUPA, yang ditujukan kepada pemerintah agar melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang bersifat Recht Kadaster, untuk menuju kearah pemberian kepastian hak atas tanah telah diatur di dalam Pasal 19 UUPA yang menyebutkan :
  1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
·         Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
·         Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
·         Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
       Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria. Dalam Peraturan Pemerintah diatas biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
       Kalau di atas ditujukan kepada pemerintah, sebaliknya pendaftaran yang dimaksud Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA ditujukan kepada para pemegang hak, agar menjadikan kepastian hukum bagi mereka dalam arti untuk kepentingan hukum bagi mereka sendiri, di dalam Pasal tersebut dijelaskan :
  • Pasal 23 UUPA :
- Ayat 1 : Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
- Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
  • Pasal 32 UUPA :
- Ayat 1 : Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
  • Pasal 19.
- Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
  • Pasal 38 UUPA :
- Ayat 1 : Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya dak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
- Ayat 2 : Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhirnya.
       Dari ketentuan pasal-pasal di atas dapatlah disimpulkan bahwa pendaftaran yang dilakukan oleh pemegang hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan adalah merupakan alat pembuktian yang kuat serta untuk sahnya setiap peralihan, pembebanan dan hapusnya hak-hak tersebut.
B. Tujuan Pendaftaran Tanah
      Usaha yang menuju kearah kepastian hukum atas tanah tercantum dalam ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah, dalam pasal 19 UUPA disebutkan untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak atas tanah, UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat ‘Rech Kadaster” artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan di selenggarakannya pendaftaran tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batas-batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang melekat di atas tanah tersebut.
      Menurut para ahli disebutkan tujuan pendaftaran ialah untuk kepastian hak seseorang, disamping untuk pengelakkan suatu sengketa perbatasan dan juga untuk penetapan suatu perpajakan:[8]
1.    Kepastian hak seseorang
         Maksudnya dengan suatu pendaftaran, maka hak seseorang itu menjadi jelas misalnya apakah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak- hak lainnya.
2.    Pengelakkan suatu sengketa perbatasan
         Apabila sebidang tanah yang dipunyai oleh seseorang sudah didaftar, maka dapat dihindari terjadinya sengketa tentang perbatasannya, karena dengan didaftarnya tanah tersebut, maka telah diketaui berapa luasnya serta batas – batasnya.
3.    Penetapan suatu perpajakan
         Dengan diketahuinya berapa luas sebidang tanah, maka berdasarkan hal tersebut dapat ditetapkan besar pajak yang harus dibayar oleh seseorang. Dalam lingkup yang lebih luas dapat dikatakan pendaftaran itu selain memberi informasi mengenai suatu bidang tanah, baik penggunaannya, pemanfaatannya, maupun informasi mengenai untuk apa tanah itu sebaiknya dipergunakan, demikian pula informasi mengenai kemampuan apa yang terkandung di dalamnya dan demikian pula informasi mengenai bangunannya sendiri, harga bangunan dan tanahnya, dan pajak yang ditetapkan.
      Untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti tersebut di atas, maka untuk itu UUPA melalui pasal-pasal pendaftaran tanah menyatakan bahwa pendaftaran itu diwajibkan bagi pemegang hak yang bersangkutan
      Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dijelaskan bahwa tujuan dari pendaftaran tanah tersebut adalah sebagai berikut::
  1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
  2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mcngadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
  3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
       Di dalam kenyataannya tingkatan-tingkatan dari . pendaftaran tanah tersebut terdiri dari:
  1. Pengukuran Desa demi Desa sebagai suatu himpunan yang terkecil.
  2. Dari peta Desa demi Desa itu akan memperlihatkan bermacam-macam hak atas tanah baik Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan maupun tanah-tanah yang masih dikuasai oleh negara.
  3. Dari peta-peta tersebut akan dapat juga diketahui nomor pendaftaran, nomor buku tanah, nomor surat ukur, nomor pajak, tanda batas dan juga bangunan yang ada di dalamnya.
C.   Peralihan Hak Milik Atas Tanah karena Warisan.
       Salah satu sebab berakhirnya kepemilikan seseorang atas tanah adalah karena kematian. Karena dengan adanya peristiwa hukum ini mengakibatkan adanya peralihan harta kekayaan dari orang yang meninggal, baik harta kekayaan material maupun immaterial kepada ahli waris orang yeng meninggal tersebut. Dengan meninggalnya seseorang ini maka akan ada pewaris, ahli waris dan harta kekayaan.
       Pewaris adalah orang yang meninggal  dunia dan meninggalkan harta kekayaan, sedangkan ahli waris adalah orang yang berhak atas harta kekayaan dari orang  meninggal. Dan harta kekayaan yang ditinggalkan bisa immaterial maupun material, harta kekayaan material antara lain tanah, rumah ataupun benda lainnya.
       Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak.
       Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerababatan yang mereka anut.
       Peralihan hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 20 ayat 2 UUPA yaitu hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pengertian tentang kata “beralih” adalah suatu peralihan hak yang dikarenakan pemilik hak telah meninggal dunia maka haknya dengan sendiri menjadi beralih kepada ahli warisnya. Pasal 20 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa hak milik atas tanah dapat beralih dan dapat dialihkan. Peralihan hak milik atas tanah dapat terjadi karena perbuatan hukum dan peristiwa hukum. Peralihan hak  milik atas tanah karena perbuatan hukum dapat terjadi apabila pemegang hak milik atas tanah dengan sengaja mengalihkan hak yang dipegangnya kepada pihak lain. Sedangkan peralihan hak milik atas tanah karena peristiwa hukum, terjadi apabila pemegang
hak milik atas tanah meninggal dunia, maka dengan sendirinya atau tanpa adanya suatu perbuatan hukum disengaja dari pemegang hak, hak milik beralih kepada ahli waris pemegang hak.
       Pewarisan hak milik atas tanah tetap  harus berlandaskan pada ketentuan Undang – undang Pokok Agraria dan Peraturan Pelaksanaannya. Penerima peralihan hak milik atas tanah atau pemegang hak milik atas tanah yang baru haruslah berkewarganegaraan Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 9 Undang-undang Pokok Agraria dan pasal 21 ayat (1) UUPA bahawa warga Negara Indonesia tunggal saja yang dapat mempunyai hak milik, dengan tidak membedakan kesempatan antara laki – laki dan wanita yang mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
      Sebenarnya seorang warga Negara Asing dapat atau bisa memperoleh hak milik karena terbentur pasal 21 ayat (1), karena pasal tersebut menyebutkan bahwa hanya warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik. Pasal 21 ayat (3) menyebutkan bahwa warga asing yang sesudah berlakunya Undang – undang ini harus mendaftarkan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun tidak mendaftarkan status kewarganegaraannya.
       Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961  junto Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun  1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang berhak menerima warisan  wajib meminta pendaftaran  peralihan hak tersebut dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak meninggalnya orang yang semula mempunyai hak milik tersebut dengan tidak melanggar ketentuan bahwa   menerima hak milik atas tanah harus sesuai dengan Undang – undang Pokok Agraria pasal 21.
PEMBAHASAN

A.   Pelaksanaan Peralihan Hak Milik Atas Tanah karena Pewarisan.
       Hak-hak atas tanah mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan manusia ini, karena semakin maju masyarakat, semakin padat penduduknya, maka akan menambah lagi pentingnya kedudukan hak-hak atas tanah.
       Di dalam UUPA telah ditentukan bahwa tanah-tanah di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia harus didaftarkan, hal ini sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) UUPA yang berbunyi:
“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadkan Pendaftaran Tanah, yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”
       Selain itu juga diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUPA yang berbunyi sebagai berikut:
“Hak milik, demikian juga setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya engan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksudnya dalam Pasal 19”
       Sedangkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dala Pasal 19 ayat (1) UUPA adalah Peraturan Pemerintah Noor 10 Tahun 1961 yang sekarang telah disempurnakan dengn Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
       Menurut Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan:
(1)   Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah susun diadftar dengan membukukannya dalam buku tanah yang memuat data yuridis dan adat fiisk bidang tanah yang bersangkutan , dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut.
(2)   Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya dalam surat ukur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bukti bahwa hak yang bersangkutan beserta pemegang haknya dan boidang tananhya yang diuraikan dalam surat ukur secara hukum telah didaftar menurut Peraturan Pemerintah ini.
(3)   Pembukuan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 23 dan berita acara pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28”
Dengan sistem buku tanah berarti bahwa setiap hak atas tanah yang wajib didaftarkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 harus dibuat salinana dari buku tanah untuk diterbitkannya sertifikat.
       Sertifikat adalah suatu tanda bukti hak atas tanah untuk menjamin kepastian hukum yang terdiri dari atas salinan buku tanah dan surat ukur yang dijahit menjadi satu bersama-sama dengan seuatu kertas sampul yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional.
       Sertifikat sebagai arsip di Badan Pertanahan nasional terdiri atas:
  1. Riwayat status tanah
  2. Surat ukur
  3. Kartu tanda penduduk yang bersangkutan
  4. Pajak Bumi dan Bangunan tahun terakhir
  5. Akta tanah.
       Sedangkan pemohon menerika sertifikat atau tanda bukti hal yang berisi Buku Tanah dan Suart Ukur (Gambar Situasi).
       Buku tanah menerangkan Propinsi, Kabupaten, Kecamatan Desa, Nomor Buku Tanah, biaya dan nomor Kantor Badan Pertanahan Nasional, buku tanah ini terdiri atas :
  1. Menjelaskan dari hak atas tanah, nomor dan desa;
  2. Nama jelas atau persil;
  3. Asal persil yang berisi: Tentang Konversi, pemberian hak, pemisahan, penggabungan, menunjuk UU Nomor 5 Tahun 1960 juncto Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 (TLN.2508) tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia Atas Tanah;
  4. Surat keputusan yang berisi ganti rugi atau uang wajib, lamanya hak berlaku dan kapan berakhir;
  5. Surat ukur atau gambar situasi yang berisi: nomor dan luas;
  6. Nama pemegang hak;
  7. Tanggal pendaftaran yang ditandatangani oleh Kepala Seksi Pendaftaran Tanah dan Kepala Badan Pertanahan Nasional atas nama Bupati;
  8. Pengeluaran sertifikat yang ditandatangani oleh Kepala Seksis Pendeftaran Tanah dan diketahui oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional atas nama Bupati;
  9. Penunjuk, yang berisi perubahan apabila ada;
10. Catatan mengenai pajak atau Pajak Bumu dan Bangunan (PBB).
       Penjelasan mengenai Gambar atau Situasi atau Surat Ukur terdiri atas nomor hak, nomor surat ukur, Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, Desa, keadaan tanah,  situasi letak tanah dan penjelasan. Gabar Situasi itu ditanndatngani oleh Kepala Seksi Pendaftaran Tanah atas nama Kepalaa Badan Pertanahan Nasional.
       Pendaftaran peralihan hak karena pewarisan diwajibkan dalam rangka emberikan perindungan hukum kepada para ahli waris dan demi ketertiban tata usaha pendaftaran tanah, agar data yang tersimpan dan disajikan selalu menunjukkan keadaan yang mutakhir.
      Proses pewarisan itu terjadi disebabkan oleh meninggalnya seseorang dengan meninggalnya sejumlah harta kekayaan, baik yang materiil maupun immateriil dengan tidak dibedakan antara barang bergerak dan barang tidak bergerak.
       Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya yang dinamakan pewarisan terjadi hanya karena kematian, oleh karena itu pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga persayaratan yaitu:
  1. Ada seseorang yang meninggal dunia
  2. Ada orang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;
  3. Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.
       Jika di antara harta peninggalan itu terdapat tanah hak milik maka hak atas tanah itupun beralih kepada apara ahli waris tersebut.
       Peralihan hak tidak lagi diuatn di hadapan Kepala Desa atau secara di bawah tangan, tetapi harus dibuat di ahadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang diangkat oleh Menteri Dalam Negeri cq. Direktorat Jenderal Agraris, satu orang untuk tiap satu atau lebih daerah Kecamatan. Sedangkan untuk suatu daerah Kecamatan ang belum diangkat seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah, maka Camat yang mengepalaia Kecamatan tersebut untuk sementara ditunjuk karena jabatannya sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah.
       Untuk setiap perjanjian yang bermaksud mengalihkan hak atas tanah harus dibuatkan suatu akta yang dibuat oleh Pejabat yang berwenang yaitu Pejabat Pebuat Akta Tanah. Menuruut Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa:
“Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Peerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”.
       Sebelum Pejabat membuat akta peralihan hak atas tanah harus diperlihatkan lebih dahuku sertifikat tanah yang bersangkutan, bila tanah itu telah didaftarkan atau dibukukan dalam bentuk tanah pada Kantor Agraria Seksis Pendaftaran Tanah. Bila tanah itu belum didaftarkan atau dibukukan dalam buku tanah maka sebagai pengganti sertifiat tanah harus diserahkan surat keterangan pendaftaran tanah dari Kantor Agraria Seksi Pendafataran Tanah setempat, bahwa tanah itu belum mempunyai sertifikat atau sertifikat sementara.
       Menurut ketentuan, akta harus ditandatangani oleh semua pihak, oleh PPAT dan para saksi. Dan apad umumnya dibuat dalam rangkap empat, yaitu:
  1. Satu helai (yang asli) bermaterai Rp. 6.000,- untuk disimpan dalam protokol pejabat.
  2. Satu helai bermaterai Rp. 6000.,- untuk keperluan Kantor Pertanahan.
  3. Satu helai untuk keperluan lampiran permohonan izin (apabila diperlukan izin)
  4. Satu helai untuk yang berkepentingan
Untuk semua akta peralihan hak, sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961 dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 Nomor SK.104?DJA/1977 harus dioergunakan formulir-formulir yang tercetak di kantor Pos.
       Menurut UUPA tidak cukup dibuatkan akta saja tetapi harus melakukan proses balik  nama untuk membuat sertifikat, untuk balik nama atau perusabahan nama dari pemiliki lama kepada rekomendasi dari Pejabat Pebuat Akta Tanah. Tetapi dengan adanya akta sudah cukup untuk memperoleh hak milik, karena haknya sudah beralih, hanya saja belum memiliki kepastian hukum di kemudian hari. Karena untuk menjamin kepastian hukum harus dibuktikan dengan sertifikat bukan oleh kta.. akta hanya berfungsi sebagai tanda bukti hak. Adapun syarat balik nama adalah:[9]
  1. Ada akta pejabat (akta peralihan hak)
  2. Bukti pelunasan yang menjadi kewajiban untuk peralihan hak tersebut.
  3. Rekomendasi atau surat pengantar balik nama dari PPAT.
       Pasal 11 PP Nomor 24 Tahun 1997 mengatur kegiatan pelaksanaan Pendaftaran Tanah, bahwa “Pelaksanaan Pendaftaran Tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah”. Pasal 12 PP Nomor 24 Tahun 1997 mengatur tentang rincian masing-masing kegiatan pelaksanaan pendaftaran tanah sebagai berikut:
  1. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:
    • Pengumpulan dan pengolahan data fisik;
    • Pengumulan dan pengolahan data yuridis;
    • Pembuktian hak dan pembukuannya;
    • Penerbitan sertifikat;
    • Penyajian data fisik dan data yuridis;
    • Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
    • Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi:
        1. Pendaftaran peralihan dan pembebaban hak;
        2. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya.
       Sistem yang digunakan dalam pendaftaran tanah untuk pertama kali ada dua macam, yaitu sistem pendaftaran tanah secara sistematik dan siste pendaftaran tanah secara sporadik. Pendafatarn tanah secara sistematik, yaitu kegiatan pendafataran tanah untuk pertama kaliyang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didfatra dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/keluarahan. Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik, yaitu kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengeni satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/keluarahan secara individual atau massal.[10]
       Dalam pendaftaran tanah untuk pertama kali dilakukan kegiatan ajudikasi, yaitu kegiatan yang meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran ata fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya. Pasal 13 PP Nomor 24 Tahun 1997 menetapkan sistem sistematik dan sporadik sebagai berikut:
  1. Pendaftaran Tanah pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu renacan kerja dan dilaksaknakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri.
  2. Dalam suatu desa/kelurahan belum itetapkan sebagai wilayah Pendafataran Tanah secra sistematik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pendaftarannya dilaksanakana melalui Pendaftaran Tanah secara sporadik.
  3. Pendafataran Tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan.
        Pasal 36 PP nomor 24 Tahun 1997 mengatur tentang pemeliharaan data pendaftaran tanah (data maintenance) sebagai berikut:
  1. Pemeliharaan data Pendaftaran tanah dilkukan apabila terjadi perubahan pada data fisik dan data yuridis obyek Pendaftaran tanah yang telah terdaftar.
  2. Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan sebagaimana simaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pertanahan.
       Perubahan data dapat terjadi pada data yuridis berupa terjadinya peralihan hak atas tanah karena danya perbuatan hukum  jual beli tanah. Perubahan dalam bentuk peralihan hak ini juga harus didaftarkan dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah seperti diatur dalam Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997.
       Selanjutnya untuk pendaftaran peralihan hak milik atas tanah karena pewarisan yang wajib dilakukan oleh pihak yang memperoleh tanah hak milik sebagai warisan diatur dalam Pasal 42 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunyi sebagai berikut:
“Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai pmegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris”.
       Dari ketentuan di atas, apabila seseorang pemilik tanah meninggal dunia, maka orang yang menerima warisan itu dalam waktu 6 (enam) bulan harus mendaftarkan tanah warisannya tersebut ke Badan Pertanahan Nasional, waktu 6 (enam) bulan itu dapat diperpanjang oleh Badan Pertanahan Nasional.
       Menurut ketentuan pasal 61 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 :
“Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya pedaftaran”.
       Sesuai dengan pasal tersebut di atas, bahwa penerima warisan (ahli waris) harus mendaftarakan tanahnya ke Kantor Pertanahan. Tetapi harus diperhatikan terlebih dahulu apakah tanahnya tersebut sudah dibukukan atau belum.
       Untuk tanah yang telah dibukukan maka yang perlu diserahkan ke Kantor Pertanahan adalah:
  1. Sertifikat pewaris
  2. Surat keterangan meninggal dunia dari Kepala Desa atau Lurah. Untuk memperoleh surat tersebut, ahli waris atau para ahli waris memohon surat yang disahkan oleh Ketua Rukun Tetangga (RT) dan diketahui oleh Kepala Rukum Wara (RW) dan dua orang saksi, dilampirkan surat keterangan pemakaman dari Kantor Pemakaman setempat.
  3. Surat keterangan waris.
  4. Surat keterangan Pajak Bumi dan bangunan (PBB) terakhir.
Apabila tanahnya belum dibukukan sesuai dengan ketentuan Pasal 42 ayat (2) PP No. 24 tahun 1997 yang berbunyi sebagai berikut:
“jika bidang tanah yang merupakan warisan belum didaftar, wajib diserahkan juga dokumen0dokumen sebagaimana dmaksud dalam pasal 39 ayat (1) huruf b”
       Dokumen yang membuktikan adanya hak atas tanah pada yang mewariskan diperlukan setelah pendaftaran untuk pertama kali hak yang bersangkutan atas nama yang mewariskan. Hal tersebut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 42 ayat (2) PP Nomor 24 tahun 1997.
       Dari ketentuan Psal 42 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 di atas maka:
  1. Ahli waris harus memperlihatkan surat bukti hak berupa bukti-bukti tertulis, keterngan saksi  dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebanarannya oleh panitia Ajudikasi atau Kepala kantor Pertanahan dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
  2. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.
  3. Berdasarkan data butir 1 dan 2 di atas kemudian dibuatkan akta waris oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Kemudian pemohon (ahli waris) mendaftarkan ke kantor Badan Pertanahan Nasional dengan persyaratan sebagai berikut:
  1. Mengisi formulir permohonan
  2. Bukti identitas ahli waris
  3. Surat Kuasa dan photo copy KTP penerima kuasa bila dikuasakan.
  4. Sertifikat Hak Atas Tanah yang diwariskan.
  5. Surat Kematian atas nama pemegang hak
  6. Surat Tanda Bukti sebagai Ahli Waris:
    • Wasiat dari pewaris; atau
    • Putusan pengadilan; atau
    • Surat Keterangan ahili Waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua0 orang saksi dan dikuatkan oleh Lurah atau Camat.
    • Akta Pembagian hak Bersama (apabila langsung dibagi waris)
    • Pajak Bumi dan Bangunan tahun terakhir.
       Untuk pembagian hak bersama, Psal 51  ayat (1) PP Nomor. 24 tahun 1997 menyebutkan:
“Pembagian hak bersama atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun menjadi hak masing-masing pemegang hak bersama didaftra berdasarkan akta yang dibuat PPAT yang berwenang menurut peraturan yang berlaku yang membuktikan kesepakatan antara pemegang hak bersama mengenai pembagian hak bersama tersebut.’
       Pada saatnya suatu hak bersama, baik yang diperoleh sebagai warisan maupun sebab lain perlu dibagi sehingga menjadi hakl individu. Untuk itu kesepkatan antara pemegang hak bersama terseut perlu dituangkan dalam akta PPAT yang akan menjadi dasar bagi pendaftarannya. Dalam pembagiann tersebut tidak harus semua pemegang hak bersama memperoleh bagian. Dalam pembagian harta waris seringkali yang menjadi pemenagn hak individu hanya sebagian dari keseluruhan penerimaan warisan, asalkan hal tersebut disepakati oleh seluruh penerima warisan sebagai pemeang hak bersama.[11]
      Selanjutnya setelah ahli waris mendaftarkan peralihan hak milik atas tanahnya ke kanotr Pertanahan, maka akan dikeluarkan pengumuman di kantor Pertanahan dan kantor Kepala Desa/Kelurahan dimana letak tanah yang bersangkutan berada. Pengumuman ini dilaksanakan selama 60 hari untuk memberi kesemoaan kepada pihak yang berkepentingan mengajukan keberatan.
       Sertifikat akan diterbitkan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah.
       Demikianlah pelaksanaan peralihan ak milik atas tanah karena pewarisan yang seharusnya dilakukan oleh para ahli waris, apabila mendaftarkan tanah miliknya tersebut berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juncto Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
B.   Kekuatan Sertifikat bagi Pemegang Hak Atas Tanah menurut UUPA dan PP nomor 24 Tahun 1997.
        Sertifikasi hak atas tanah pada adasrnya mencerminkan Pendaftaran Tanah secara hokum (rechtkadaster atau legal cadastre) dalam hal ini pemberian tanda bukti hak kepada pemegang hak. Dala m konteks ini, maka fungsi sertifikat hak atas tanah adalah sebagai tanda bukti hak, yang diatur dalam ketentuan UUPA yaitu:
  1. Pasal 19 ayat (2) huruf c, bahwa “sertifikat hak atas tanah adalah alat pembuktian yang kuat”;
  2. Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2)  dan Pasal 38 ayat (2).
Wujud konkret dari tujuan pendaftaran tanah dalam hal menjamin kepastian hokum dan kepastian hak adalah peneribtan sertifikat hak atas tanah. Sertifikat mempermudah pemegang hak untuk dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUPA, aka akibat hokum dari pendaftaran hak atas tanah berupa penerbutan surat tanda bukti (sertifikat) yang berlaku sebagai alat pembuktin yang kuat terhadap pemegang hak atas tanah.
       Sertifikat hak atas tanah memberikan arti dan peranan penting bagi pemegang hak yang bersangkutan yaitu sebagai:
  1. Alat bukti kepemilikan atas tanah apabila ada sengketa terhadap tanah yang bersangkutan;
  2. Jaminan pelunasan suatu hutang pada Bank, Pemerintah atau swasta.
       Sertifikat merupakan alat bukti hak, maka ynang harus dibuktikan antara lain:
  1. Jenis hak atas tanah
Dapat diketahui pada sampul dalam sertifikat dan kolom, pertama bagian atas atas dari Buku Tanah, jenis hak yang dicntumkan antara lain yang disebutkan dalma Pasal 16 UUPA, yaitu:
    • Hak Milik
    • Hal Guna Usaha
    • Haku Guna Bangunan
    • Hak Pakai
Diharapkan dengan adanya hak atas tanah dapat dilakukan perbuatan hokum oleh yang mempunyai hak atas tanah tersebut kepada pihak lain, misalnya jual beli.
2. Pemegang hak.
Menyangkut nama orang atau badan hokum yang mempunyai hubungan hokum sepenuhnya terhadap tanah yang bersangkutan, pemegang hak dapat berubah, antara lain jika yang berhak meninggal dunia, terjadi jual-beli atau hibah maka pemegang pertaa diganti oleh pemegang hak yang berikutnya.
·         Keterangan fisik tentang tanah
·         Beban di atas tanah
·         Peristiwa hukum yang terjadi dengan tanah.
Peristiwa hukum yang berakitan dengan tanah tersebut yaitu pewarisan.
Dari seluruh bagian yang harus dapat dibuktikan bahwa masing-masing mempunyai kepastian hukum
       Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 mengatur tentang sertifikat sebagai alat pembuktian yng kuat yaitu bahwa sertfikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai sata fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fiisk dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dala Syrat Ukur dan Buku Tanah hak yang bersangkutan.
       Bertolak dari ketentuan Pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tersebut, selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan hokum sehari-hari maupun berperkara di pengadilan. Dalam konteks ini, data yang dimuat dalam Surat Ukur dan Buku Tanah mempunyai sifat terbuka untuk umum, sehingga pihak yang berkepentingan dapat mencocokkan data dalam sertifikatnay dengan data yang ada dalam Surat Ukur dan Buku Tanah yang disajikan di kantor Pertanahan.
       Mengingat bagaiana rinci dan seksamanya pengaturan mengenai  prosedur pengumpulan data fisik dan data yuridis obyek yang akan dodaftar sapai dengan pembukuan serta penerbitan sertifikatnya, jelas kiranya kesungguhan upaya Pemerintah dalam  mengusahakan terpenuhinya persyaratan untuk mewujudkan pernyataan Pasal 19 UUPA, bahwa sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat.
       Data dalam sertifikat harus sesuai dengan yang dimuat dalam Surat Ukur dan Buku  Tanah, karena data tersebut diambil dari Surat Ukur dan Buku Tanah yang bersangkutan. Penerbitan sertifikat dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya.
       Apabila dilihat dari kekuatan pembuktiannya, sertifikat mempunyai kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan bukti kepemilikan tanah adat, karena kohir dan girik bukanlah tanda bukti hak atas tanah. Tetapi karena pada umumnya orang tidak mempunyai bukti lain hak atas tanah yang dimilikinya maka kohir atau girirk ini siterima sebagai bukti pengganti kepemilikan tanah tersebut.
       Di dalam perbuatan hokum hak atas tanah, asa Nemo Plus Juris dikenal disamping asa iktikad baik, yaitu asas yang melindungi pemegang hak yang sebenarnya. Sasa ini dalam hokum pertnahan mempunyai daya kerja untuk memberikan kekuatan pembuktian bagi peta dan daftar uum yang ada di Kantor Pertanahan. Penerapan asas ini berarti memberikan perlindungan kepada pemegang hak yang sebenarnya sehingga selalu terbuka kemungkinan untuk mengadakan gugatan bagi pihak yang merasa memiliki dan dapat membuktikan kepemilikannya kepada pihak lain yang meskipun namanya telah terdaftar dalam daftar umum yang terdapat di Kantor Pertanahan.
       Tetapi asas Nemo Plus Juris merupakan asas dimana seseorang tidak dapat melakukan tindakan hokum yang melampaui hak yang dimilikinya dan akibat drai pelanggaran tersebut adalah batal demi hokum (van rechtswegenietig). Batal demi hokum berakibat perbuatan hokum tersenut dianggap tidak pernah ada dan karenanya tidak mempunyai akibat hokum dan apabila tindakan hokum tersebut menimbulkan kerugian, maka pihak yang dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada pihak-pihak yang melakukan perbuatan huku tersebut.[12]
KESIMPULAN
       Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diberikan kesimpulan terhadap  permasalahan yang telah dikemukakan terlebih dahulu, yaitu:
  1. Pelaksanaan peralihan hak milik atas tanah karena pewarisan setelah berlaku UUPA juncto PP No.24 Tahun 1997, apabila seorng pemilik tanah meninggal dunia maka orang yang menerima warisan tersebut dalam waktu 6 (enam) bulan harus endaftarkan tanah warisannya tersebut ke Badan Pertanahan Nasional. Dalam pelaksanaannya ahli waris meminta surat kematian dari desa, bukti diri dan surat keterangan waris  yang dibuat oleh Kepala Desa. Apabila ahli waris akan membagikan warisan tersebut harus dibuatkan akta pembagian harta warisan ke PPAT dengan syarat-syarat yang telah ditentukan sesuai dengan Pasal 42 ayat (4) PP No. 24 Tahun 1997 dan selanjytnya didaftarkan atau melakukan proses balik nama kepada kantor Badan Pertanahan Nasional untuk dibuatkan sertifikat. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 UUPA, sertifkiat merupakan jaminan kepastian hokum atas tanah tersebut.
  2. Pada kenyataannya sertifikat hak atas tanah yang telah dimiliki masyarakat tidak cukup mempunyai kekuatan pembuktian walaupun telah melalui tahapan pendaftaran tanah yang benar. Hal tersebut dikarenakan berlakunya asas Nemo Plus Juris. Sertifikat hanya merupakan tanda bukti yang kuat dan bukan merupakan tanda bukti yang mutlak/sempurna menurut UUPA dan ketentuan dalam PP nomor. 24 Tahun 1997.
Saran
  1. Pemerintah melalui aparatnya yang terkait diharapkan lebih aktif emberikn penyuluhan dan pengarahan dalam rangka menyadarkan masyarakat tentang pelaksanaan peralihan hak milik atas tanah terutama karena pewarisan, hal ini untuk menghilangkan anggapan prosedur yang berbelit-belit  serta baya yang bear, sehingga masyarakat dapat mematuhi dan melaksanakan UUPA juncto PP No. 24 Tahun 1997 yaitu dengan membuat akta di PPAT dan didaftarakan atau balik nama ke kantor BPN untk dibuatkan setfikat.
  2. Diharapkan dalam hal penebitan bagi pemegang hak dapat memberikan rasa aman karena hak atas tanahntya dijamin keberadaaanya oleh Peerintah sehingga dapat memberikan jaminanan kepastian dan perlindungan hukum.

[1] Penjelasan atas UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
[2] Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris tanpa Wasiat, Andi Offset, Yogyakarta, 1982, hlm. 1
[3] Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm 10.
[4] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm 64.
[5] Urip Santoso, op.cit, hlm 90-91.
[6] Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm8-9.
[7] Adrian Sutedi, ibid, hlm 117-121.
[8] A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm.6
[9] Direktorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri, Buku Tuntunan Bagi Para Pejabat Pembuat Akta Tanah, Yayasan Hudaya Bina Sejahtera, Jakarta, 1983, hlm.12
[10] Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Pendafataran Hak Atas Tanah di Indonesia, Penerbit Arkola, Surabaya, 2002, hlm. 166.
[11] Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997.
[12] Irawan Soerodjo, op cit, hlm. 189