PATUH-Oi

Wednesday, August 21, 2013

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA KECELAKAAN LALU LINTAS



LATAR BELAKANG
Maraknya kasus-kasus kecelakaan lalu lintas di jalan raya yang terjadi akhir-akhir ini, sebagai catatan sebut saja mulai dari kasus kecelakaan tunggal yang menimpa artis dangdut Saipul Jamil bersama sang istri Virginia di ruas tol Cipularang yang mengakibatkan meninggalnya istri Saipul Jamil; Kasus tabrakan Xenia maut yang dikendarai Afriani Susanti hingga menewaskan 9 orang di daerah Tugu Tani Jakarta; Kasus tabrakan beruntun Honda Jazz maut yang dikemudikan oleh Hadi Reski Ramadhani seorang pelajar/siswa SMP yang menabrak 15 orang dan mengalami luka-luka di Makassar; Kasus tabrakan Mercy Maut yang dilakukan oleh Darsan Sutrisna yang menabrak orang-orang di pinggir Bundaran HI sehingga mengakibatkan satu orang tewas dan dua orang lainnya luka-luka;
Selanjutnya kasus tabrakan yang cukup menghebohkan dilakukan oleh seorang model Novi Amalia yang menabrak 7 orang di kawasan Taman Sari, Jakarta Barat, yang mengakibatkan korban-korban mengalami luka ringan; Kasus kecelakaan Livina Maut yang dilakukan oleh Andika Pradipta yang mengakibatkan 2 orang tewas, dan 5 orang mengalami luka-luka di sekitar jalan Ampera Jakarta; hingga kasus kecelakaan lalu lintas yang baruini terjadi menimpa Rasyid Amrullah, pengemudi BMW X5, anak dari Menteri Hatta Rajasa, yang mengakibatkan merenggut dua nyawa di Tol Jagorawi.
Faktor dominan dalam terjadinya kasus-kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi adalah kelalaian atau kekurang hati-hatian pengemudi, hal ini bisa disebabkan karena dugaan mengemudi dalam keadaan mengantuk, sampai kepada mengemudi di bawah pengaruh narkoba dan alkohol.

DASAR HUKUM DAN SANKSI PIDANA BAGI PENGE- MUDI KENDARAAN YANG MENGAKIBATKAN LUKA-LUKA DAN KEMATIAN DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS
Dalam setiap kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi di jalan raya, tentunya mempunyai konsekwensi hukum bagi pengemudi kendaraan tersebut. Ketentuan hukum yang mengatur terkait kecelakaan maut yang mengakibatkan luka-luka ataupun meninggalnya seseorang, secara umum adalah KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan secara khusus adalah diatur dalam Undang Undang (UU) No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas. Sering kali masyarakat memandang bahwa kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan luka-luka dan kematian, mutlak kesalahannya selalu pada pengemudi kendaraan yang bersangkutan. Sedangkan menurut teori hukum yang berlaku bahwa kesalahan seseorang dilihat dari faktor kejadian yang sebenarnya, faktor apa yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas tersebut. Hal ini dapat diungkapkan dari kronologis kejadian, kesaksian-kesaksian termasuk saksi mata yang melihat terjadinya kecelakaan.
Dalam KUHP, pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas adalah Pasal 359 KUHP, yang berbunyi:
Pasal 359
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”
Kemudian terdapat peraturan perundang-undangan yang lebih khusus mengatur lebih khusus, rinci dan tegas lagi tentang berlalu-lintas di jalan raya/tol dan kecelakaan lalu lintas, termasuk mengatur tentang kelalaian/kealpaan didalam mengemudikan kendaraan hingga menyebabkan luka-luka dan kematian, yaitu Undang-Undang  Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), Di dalam UU LLAJ tersebut, pasal-pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraanyang karena kelalaiannya mengakibatkan luka-lua dan kematian bagi orang lain adalah diatur dalam Pasal 310 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU LLAJ, yang berbunyi:
(1) “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan dan/atau denda paling banyak Rp1 juta.”
(2) “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau denda paling banyak Rp2 juta.”
(3) “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 juta.”
(4) ”Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp12 juta.”
Unsur-unsur pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ antara lain:

(1) Setiap orang;
(2) Mengemudikan kendaraan bermotor;
(3) Karena lalai; dan
(4) Mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
Atas ke-empat unsur dalam Pasal 310 UU LLAJ tersebut, umumnya unsur ke (3) yang lebih memerlukan waktu agar dapat terbukti. Melalui penyidikan, aparat penegak hukum, dalam hal ini pihak kepolisian hendaklah harus membuktikan adanya unsur kelalaian itu.
Atas kedua aturan tersebut atas apabila apabila dalam kasus kecelakaan tersebut mengakibatkan kematian bagi seseorang. Maka menurut Hukum yang harus dikenakan bagi pengemudi kendaraan tersebut adalah jeratan pidana yang diatur dalam UU LJAJ, dalam Hal ini sesuai dengan ketentuan yang mengacu pada Pasal 63 ayat (2) KUHP menyebutkan bahwa:
Pasal 63 ayat (2)
“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
Acuan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, karena kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian telah diatur dalam UU LLAJ sebagai peraturan yang bersifat khusus, maka penuntut umum dalam surat dakwaannya dan Majelis Hakim dalam mengadili dengan menerapkan ketentuan dalam Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ dengan ancaman pidana maksimum 6 (enam) tahun, dan bukan Pasal 359 dalam KUHP.
Lain lagi jika dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi, pengemudi  tersebut mengemudikan kendaraan dalam kondisi tertentu yang bisa membahayakan orang lain, ancaman hukuman pidananya lebih tinggi apabila korbannya meninggal dunia, yaitu ancaman hukumannya 12 tahun penjara.
Secara lengkap diatur ketentuan pasal 311 UU LLAJ, yang berbunyi:
Pasal 311
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Unsur-unsur pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan Pasal 311 ayat (5) UU LLAJ antara lain:
(1) Setiap orang;
(2) Mengemudikan kendaraan bermotor;
(3)Dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor    
dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang
(4) Mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
Dalam ketentuan Pasal 311 UU LLAJ  ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) sebenarnya serupa dengan Pasal 310 UULLAJ, akan tetapi yang membedakan dalam pasal 311 UU LLAJ ini adalah terdapatnya unsur kesengajaan pengemudi yang mengemudikan kendaraan dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang. Hal inilah yang menyebabkan hukuman pidana dalam pasal 311 UU LLAJ lebih berat jika dibandingkan dengan Pasal 310 UU LLAJ.
Sebagai tambahan informasi, jika dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi, pengemudi kendaraan yang menabrak tidak mempunyai Surat Izin Mengemudi (SIM) yang dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan, maka kemudian dapat ditambahkan pengenaan terhadap pasal 281 UU LLAJ,  yang berbunyi:
Pasal 281
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)”.
Untuk memperjelas pasal diatas, bunyi Pasal 77 ayat (1) UU LLAJ tersebut adalah:
Pasal 77 ayat (1)
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan”


KONTROVERSI PENERAPAN HUKUM PIDANA DALAM KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS
Hal kontroversi atas penerapan hukum pidana atas kasus kecelakaan lalu lintas jalan raya-pun pernah terjadi, masih ingat kasus meninggalnya istri Saeful Jamil, berawal dari kecelakaan maut mobil Toyota Avanza yang dikemudikan oleh Saipul Jamil di kilometer 97 jalan tol Cipularang-Jawa Barat pada tahun 2011 yang lalu yang mengakibatkan meninggalnya istrinya sendiri. Segera setelah peristiwa kecelakaan tersebut, pihak aparat kepolisian meminta pertanggungjawaban hukum terhadap Saipul Jamil akibat kelalaian-nya hingga mengakibatkan matinya seseorang, yaitu istrinya sendiri.
Hal ini kemudian tentunya langsung menimbulkan polemik, pro dan kontra-pun terjadi. Bagi pihak yang “pro” berpendapat; bahwa memang proses hukum harus tetap dilaksanakan dan harus ditegakkan tanpa pandang bulu (rule of law dan law enforcement). Saipul Jamil, yang saat itu mengemudikan kendaraan bersama istri dan saudar-saudaranya yang lain, karena “kelalaiannya” yang termasuk delik culpa/kealpaan yaitu pada saat mengemudikan kendaraan hingga menyebabkan terjadinya kecelakaan dan berakibat meninggalnya sang istri, tetaplah harus diproses secara hukum. Sedangkan pihak yang “kontra” berpendapat, bahwa tidaklah mungkin Saipul Jamil sebagai suami dari  (Alm) Virginia Anggraeni sampai tega atau dengan sengaja mencelakakan kendaraan-nya sendir, dengan tujuan agar diri-nya atau bahkan istrinya sampai meninggal dunia.
Atas kejadian proses hukum yang terjadi bagi Saipul Jamil, kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan di benak kita, seperti mengapa kasus kecelakaan tersebut harus tetap diproses hukum secara pidana? apakah bisa gugur dengan sendirinya karena yang meninggal dunia adalah istri dari Saipul Jamil itu sendiri?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, dapat dilihat jawabannya seperti yang tertuang dalam Pasal 235 ayat (1) UU LLAJ yang berbunyi:
Pasal 235 ayat (1)
“Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana”

Dalam pasal tersebut diatas ditegaskkan khususnya pada perkataan “tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana”. Artinya adalah walaupun pengemudi kendaraan sebagai pihak penabrak telah memberikan pembayaran sejumlah uang atau santunan oleh pihak penabrak kepada korban sebagai penggantian biaya pengobatan di rumah sakit atau memberikan biaya santunan bagi korban yang telah meninggal dunia kepada pihak korban/keluarga korban tetapi tetaplah tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana tersebut, atau dengan kata lain proses hukum harus tetap dilanjutkan. Hal inilah yang perlu disampaikan karena belum banyak orang yang tahu atas aturan tersebut.
Jika dikaitkan dengan kasus kecelakaan lalu lintas sebagaimana tersebut di atas, baik kecelakaan lalu lintas ringan, sedang maupun berat adalah termasuk tindak pidana. Hal ini berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 230 UU LLAJ yang berbunyi:
Pasal 230
“Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dalam proses persidangan terhadap Saipul Jamil tersebut, akhirnya pada bulan September 2012 yang lalu Pengadilan Negeri Purwakarta resmi dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman selama 5 bulan penjara dengan masa percobaan 10 bulan.


UPAYA PERDAMAIAN PIDANA DALAM  KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS
Perdamaian dalam hukum pidana dalam kasus kecelakaan lalu lintas sebenarnya juga sering terjadi dan diterapkan oleh masyarakat Indonesia. Perdamaian kerap kali terjadi diantara pihak pengemudi yang menabrak dengan pihak korban dengan cara pembayaran sejumlah uang atau santunan oleh pihak penabrak kepada korban sebagai penggantian biaya pengobatan di rumah sakit atau biaya santunan bagi korban yang telah meninggal dunia. Biasanya pihak korban telah merasa adil sementara pihak pelaku sendiri dengan tulus ikhlas membayarkan sejumlah uang tersebut.
Meskipun demikian, bagi penerapan hukum pidana yang berlaku, maka pengemudi sebagai pihak penabrak tetaplah harus diajukan ke sidang pengadilan untuk diproses secara hukum karena memang secara aturan hukum tidak ada ketentuan pengecualian walaupun sudah terjadi perdamaian diantara si penabarak dengan korban. Semua kasus pidana harus diselesaikan lewat proses peradilan, tidak peduli apakah pengemudi tersebut telah membayar sejumlah uang atau memberikan santunan kepada korban atau tidak.
Jika dikaitkan dengan kasus-kasus kecelakaan lalu lintas sebagaimana tersebut di atas, baik itu kecelakaan lalu lintas ringan, sedang maupun berat ataupun mengakibatkan kematian seseorang adalah termasuk tindak pidana. Hal ini berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 230 UU LLAJ yang berbunyi:
Pasal 230
“Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Demikian, semoga bermanfaat bagi kita semua!

(Sumber Kompasiana)

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.