PATUH-Oi

Sunday, November 5, 2017


Delik Pers  (Pencemaran Nama Baik)
Posted by Khair khalis syurkati, SH.MH.

PENGHINAAN atau PENCEMARAN NAMA BAIK seseorang adalah ketentuan hukum yang paling sering digunakan untuk melawan media massa.   Fitnah yang disebarkan secara tertulis dikenal sebagailibel, sedangkan yang diucapkan disebut slander.
Fitnah lazimnya merupakan kasus delik aduan. Seseorang yang nama baiknya dicemarkan bisa melakukan tuntutan ke pengadilan sipil, dan jika menang bisa mendapat ganti rugi. Hukuman pidana penjara juga bisa diterapkan kepada pihak yang melakukan pencemaran nama baik.
Ancaman hukum yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah menyangkut pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. Dalam KUHP setidaknya terdapat 16 pasal yang mengatur soal penghinaan. Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden diancam oleh pasal 134, 136, 137.
Penghinaan terhadap Raja, Kepala Negara sahabat, atau Wakil Negara Asing diatur dalam pasal 142, 143, 144. Penghinaan terhadap institusi atau badan umum (seperi DPR, Menteri, DPR, kejaksaan, kepolisian, gubernur, bupati, camat, dan sejenisnya) diatur dalam pasal 207, 208, dan 209. Jika penghinaan itu terjadi atas orangnya (pejabat pada instansi negara) maka diatur dalam pasal 316.
Penghinaan terhadap anggota masyarakat umum diatur dalam pasal 310, 311, dan 315. Selain itu, masih terdapat sejumlah pasal yang bisa dikategorikan dalam delik penghinaan ini, yaitu pasal 317 (fitnah karena pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa), pasal 320 dan 321 (pencemaran atau penghinaan terhadap seseorang yang sudah mati).
Pasal-Pasal tentang Penghinaan

Pasal 134, 136, 137
>>Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden, dengan cara menyiarkan,
menunjukkan, menempelkan di muka umum
>>Pidana 6 tahun penjara
Pasal 142
>>Penghinaan terhadap Raja/Kepala Negara sahabat
>>Pidana 5 tahun penjara
Pasal 143, 144
>>Penghinaan terhadap wakil negara asing
>>Pidana 5 tahun penjara
Pasal 207, 208, 209
>>Penghinaan terhadap Penguasa dan Badan Umum
>>Pidana 6 bulan penjara
Pasal 310, 311, 315, 316
>>Penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang, tuduhan
dengan tulisan
>>Pidana 9 bulan, 16 bulan penjara
Pasal 317
>>Fitnah pemberitahuan palsu, pengaduan palsu
>>Pidana 4 tahun penjara
Pasal 320, 321
>>Penghinaan atau pencemaran nama orang mati
>>Pidana 4 bulan penjara
(Diolah dari buku Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana yang Ada Kaitannya dengan Media Massa, Departemen Penerangan RI, 1998).

Delik Aduan
Ketentuan hukum penghinaan bersifat delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu. Artinya, masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers—nama baiknya tercemar atau merasa terhina—harus mengadu ke aparat hukum agar perkara bisa diusut.
Kasus penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, dan Instansi Negara, termasuk dalam delik biasa, artinya aparat hukum bisa berinisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan tanpa harus ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Logika dari ketentuan ini adalah presiden, wakil presiden, dan instansi negara adalah simbol negara yang harus dijaga martabatnya. Selain itu, posisi jabatannya tidak memungkinkan mereka bertindak sebagai pengadu.
Dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan, akibatnya perkara hukum yang terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subyektif. Seseorang dengan mudah bisa menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya, jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers, karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers atau wartawan.
Selain itu ketentuan ini juga sering dijuluki sebagai “pasal-pasal karet”, karena begitu lentur untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan. Terlebih-lebih jika pelanggaran itu terkait dengan presiden, wakil presiden, dan instansi negara..
Hakikat penghinaan adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, golongan, lembaga, agama, jabatan, termasuk orang yang sudah meninggal.
Dalam KUHP disebutkan bahwa penghinaan bisa dilakukan dengan cara lisan atau tulisan (tercetak). Adapun bentuk penghinaan dibagi dalam lima kategori, yaitu: pencemaran, pencemaran tertulis, penghinaan ringan, fitnah, fitnah pengaduan dan fitnah tuduhan. Kategorisasi penghinaan tersebut tidak ada yang secara khusus ditujukan untuk pers, meskipun demikian bisa dikenakan untuk pers, dengan ancaman hukuman bervariasi antara empat bulan hingga enam tahun penjara.
Pers sering harus berhadapan dengan anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Penafsiran adanya penghinaan atau pencemaran nama baik (dalam pasal 310 KUHP) ini berlaku jika memenuhi unsur:
1. Dilakukan dengan sengaja, dan dengan maksud agar diketahui umum (tersiar)
2. Bersifat menuduh, dalam hal ini tidak disertai bukti yang mendukung
tuduhan itu.
3. Akibat pencemaran itu jelas merusak kehormatan atau nama baik seseorang.
Misalnya, kasus yang terjadi pada tabloid Warta Republik yang menulis laporan Utama berjudul “Cinta Segitiga Dua Orang Jendral: Try Sutrisno dan Edi Sudradjat Berebut Janda”. Laporan yang dimuat pada edisi pertama, November 1998, itu ditulis tanpa ada wawancara atau konfirmasi dari sumber berita, melainkan hanya bersumber dari desas-desus. Pemimpin Redaksi Warta Republik diadukan ke pengadilan dijatuhi hukuman percobaan, karena mencemarkan nama baik pengadu, yaitu Jenderal TNI (purn.) Try Sutrisno dan Jendral TNI (purn.) Edi Sudradjat.
Dalam kasus itu wartawan tabloid Warta Republik memenuhi unsur sengaja melakukan penghinaan, menuduh tanpa bukti dan telah mencemarkan nama baik pengadu.
Kasus gugatan terhadap majalah Gatra yang diajukan oleh Tommy Soeharto berkaitan dengan tulisan berjudul “Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut” (Edisi No. 48, 17 Oktober 1998), ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta.
Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat Gatra telah telah melakukan peliputan yang sesuai dengan standar kode etik, dan berupaya melengkapi sumber-sumber yang bisa memberikan keterangan dalam melengkapi akurasi laporan.
Dua contoh di atas adalah kasus penghinaan yang bersifat delik aduan, yaitu anggota masyarakat yang merasa dirugikan pers mengadu, sehingga kasusnya diproses secara hukum. Namun,pasal-pasal delik penghinaan ini pada era Orde Baru sering digunakan untuk menekan pers itu untuk kepentingan kekuasaan.
Sejumlah Koran menjadi korban dari pasal-pasal penghinaan yang digunakan secara subjektif oleh aparat, salah satu contoh adalah yang menimpa majalah Sendi, pada 1972. Majalah itu dibredel, surat izin terbitnya dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Tentu saja tuduhan “penghinaan” tersebut tidak pernah dibuktikan dan tanpa melalui proses hukum.
Kasus
Beberapa Kasus Tuntutan Hukum kasus “penghinaan” terhadap berita media cetak
1.     Berita Buana, 4 November 1989
Judul: Banyak Makanan Yang Dihasilkan, Ternyata Mengandung Lemak Babi>>Kasus/dakwaan: menyiarkan berita bohong (pasal 160 KUHP), tidak meneliti kebenaran informasi
>>Hasil akhir: pidan 18 bulan penjara untuk redaktur pelaksana
2.    Pos Kota, Juni 1990
Judul: Permainan Sidang Tilan di PN Jakarta Pusat Semakin Gila
Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik jaksa. Tidak disengaja dan sudah
diralat
>>Hasil akhir: bebas
3.    Warta Republika, 25 Agustus 1999
Judul: Cinta Segitiga Dua Jenderal: Try Sutrisno dan Edi Sudradjat
Berebut Janda
Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik Try S dan Edi S. Sumber tidak jelas,
tidak konfirmasi
>>Hasil akhir: hukuman percobaan
4.    Majalah D&R, 6 Juni 1999
Judul: Tender Proyek, KKN Gubernur
Kasus/dakwaan: Pencemaran nama baik Gub. Sulsel
>>Hasil akhir: tidak jelas
5.    Majalah Gatra, 17 Oktober 1998
Judul: Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut
Kasus/dakwaan: Tommy menggugat 150 milyar atas perbuatan tidak
menyenangkan
>>Hasil akhir: Bebas, memenuhi kode etik
6.    Sriwijaya Pos, 26 AGustus 1999
Judul: KaBakin Terima 400 Milyar
Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik. Gugatan perdata dan pidana
>>Hasil akhir: hukuman percobaan
7.     Tajuk, 23 Juni 1999
Judul: Di Balik Setoran Pribadi itu
Kasus/dakwaan: digugat 10 miliar atas perbuatan melawan hukum
>>Hasil akhir: meminta maaf secara terbuka
8.    Info Bisnis 66/Tahun IV/1999
Judul: Baramuli danm Kredit Rp 800 Milyar
Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik
>>Hasil akhir: tidak jelas.*



(Sumber: www.dewanpers.org).*

MIRANDA PRINCIPLE DALAM KUHAP


MIRANDA PRINCIPLE DALAM KUHAP

Ditulis Oleh  : Drs. M. SOFYAN LUBIS, SH.
Miranda Rule tepatnya Miranda Priciple, adalah merupakan hak-hak konstitusional dari tersangka / terdakwa yang meliputi hak untuk tidak menjawab atas pertanyaan pejabat bersangkutan dalam proses peradilan pidana dan hak untuk didampingi atau dihadirkan Penasihat Hukum sejak dari proses penyidikan sampai dan/atau dalam semua tingkat proses peradilan. Miranda PRINCIPLE adalah merupakan hak konstitusional yang bersifat universal dihampir semua negara yang berdasarkan hukum. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum pada dasarnya sangat menghormati Miranda PRINCIPLE ini. Komitmennya Indonesia terhadap penghormatan Miranda PRINCIPLE telah dibuktikan dengan mengadopsi Miranda PRINCIPLE ini ke dalam system Hukum Acara Pidana kita (KUHAP).  Secara universal Miranda Principle ini merupakan hak-hak dasar manusia atau hak Konstitusional tersangka yang pada pokoknya meliputi :
1.    Hak untuk tidak menjawab atau diam sebelum diperiksa dan/atau sebelum dilakukan penyidikan ; ( a right to remain in silent ) ;
2.    Hak untuk menghadirkan Penasihat Hukum dan hak untuk berkonsultasi sebelum dilakukan pemeriksaan atau penyidikan oleh penyidik; (a right to the presence of an attotney or the right to  counsil);
3.    Hak untuk disediakan Penasihat Hukum bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu  ;
Adapun MIRANDA PRINCIPLEdalam praktiknya dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu :
1. MIRANDA RULE, yaitu suatu aturan yang mewajibkan polisi atau penyidik untuk memberikan hak-hak seseorang sebelum dilakukan pemeriksaan oleh penyidik antara lain :
a.)hak untuk diam, karena segala sesuatu yang dikatakannya dapat digunakan untuk melawannya dan memberatkannya di Pengadilan ;
b.) hak untuk menghubungi penasihat hukum/advokat, jika ia tidak mampu maka ia berhak untuk disediakan penasihat hukum oleh negara. [vide: pasal 56 ayat (1) KUHAP];
2. MIRANDA RIGHT, adalah mirip dengan miranda rule, cuma ditekankan disini tersangka pada : a.) hak untuk diam dan menolak menjawab segala pertanyaan polisi yang menangkap sebelum diperiksa oleh penyidik ;
b.) Hak untuk menghubungi penasihat hukum dan mendapat bantuan hukum dari advokat bersangkutan (psl 54 KUHAP);
c.) Hak untuk memilih penasihat hukumnya sendiri (vide:psl 55 KUHAP); dan
d.) Hak untuk disediakan penasihat hukum jika tersangka “tidak mampu” (Psl.56 ayat 1 KUHAP);
3. MIRANDA WARNING, adalah peringatan yang harus diberikan kepada tersangka akan hak-haknya sebagaimana yang terdapat di dalam miranda rule dan miranda right di atas (vide, pasal 114 KUHAP), polisi tidak bisa mengintrogasi tersangka di tempat kejadian, kecuali menanyakan sebatas indentitas belaka. Jika dilakukan maka hasilnya tidak sah dan tidak bisa dijadikan bukti di Pengadilan.
Di Indonesia masalah miranda principle ada diakomodir di dalam pasal 54, 55, 56 ayat (1) dan pasal 114 KUHAP.
Secara khusus dipermaklumkan prinsip “miranda rule” terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP yang berbunyi sbb : Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat bagi mereka
Perlu diketahui bahwa yang ingin dicapai dan/atau ditegakkan di dalam prinsip Miranda Ruleyang terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) tentang KUHAP adalah agar terjamin pemeriksaan yang fair dan manusiawi terhadap diri Tersangka / Terdakwa, sebab dengan hadirnya Penasihat Hukum untuk mendampingi , membela hak-hak hukum bagi tersangka atau terdakwa sejak dari proses penyidikan  sampai pemeriksaan di pengadilan dimaksudkan dapat berperan melakukan kontrol, terhadap penyidik, penuntut umum dan hakim sehingga proses pemeriksaan terhadap tersangka/terdakwa terhindar dari penyiksaanpemaksaan dankekejaman serta pemeriksaan yang tidak fair di persidangan yang dilakukan penegak hukum dalam proses peradilan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap KUHAP itu sendiri serta pelanggaran terhadap  HAM atau Hak Asasi Manusia ( vide : pasal 33, pasal 3 ayat (2), pasal 5 ayat (2), pasal 17, pasal 18 ayat (1) dari UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ] di samping itu  adanya kontrol oleh Penasihat Hukum terhadap jalannya pemeriksaan tersangka selama dalam proses persidangan di pengadilan.
Berdasarkan uraian dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP dapat disimpulkan sebagai berikut :
  1. Dalam tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan kepada Tersangka / Terdakwa harus diancam dengan pidana mati atau 15 (lima belas) tahun atau lebih atau yang tidak mampu di-ancam dengan pidana 5 ( lima ) tahun atau lebih yang tidak punya Penasihat Hukum sendiri, Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi mereka (tersangka/terdakwa) ;
  2. Pemeriksaan penyidikan yang tersangkanya tidak didampingi Penasihat Hukum sesuai dengan kerangka pasal 114 Jo. Pasal 56 ayat (1) KUHAP, maka hasil pemerik-saan penyidikan tersebut adalah tidak sah atau batal demi hukum, karena bertentangan dengan hukum acara ( undue process ) ;
Berdasarkan pasal 56 ayat (1) KUHAP Jo. Pasal 365 (4) KUHP, bila dikaitkan dengan berita KR tanggal 10 Agustus 2007 pada halaman “Hukum & Kriminal” dengan judul “Terdakwa Minta Didampingi Pengacara, Tembak Korban, Jambret Diadili”. Dalam kasus ini Majelis Hakim atau Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta sebelum memeriksa perkara terdakwa lebih lanjut, harus terlebih dahulu mencarikan atau menunjuk Pengacara/Advokat sebagai Penasihat Hukum bagi Terdakwa di dalam pemeriksaan perkara tersebut, apalagi Jaksa/Penuntut Umum dalam dakwaannya menjerat terdakwa dengan pasal 365 ayat (4) KUHP dengan ancaman pidana mati. Dan kewajiban pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk Penasihat Hukum bagi terdakwa tidak bisa ditawar-tawar karena bersifat imperatif, dan tidak harus menunggu atau bergantung pada inisiatif pihak keluarga terdakwa yang mencarikan Penasihat Hukum bagi terdakwa. Sudah saatnya semua pejabat penegak hukum dalam semua tingkat proses peradilan pidana di negeri ini harus menghormati UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP,  khususnya tentang Miranda Rule yang terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP. Semoga.
( Sumber  : Harian Umum Kedaulatan Rakyat “KR” Yogyakarta )

ADVOKASI VS KEBIJAKAN PUBLIK

ADVOKASI VS KEBIJAKAN PUBLIK

Oleh : Drs.M.Sofyan Lubis, SH.
Secara awam banyak dipahami oleh masyarakat pengertian ”advokasi” pasti berkaitan dengan tugasnya soseorang yang berprofesi sebagai advokat atau Penasihat Hukum di Pengadilan atau dalam konteks ini advokat diartikan adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum dalam rangka melakukan pembelaan, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang advokat (vide UU No.18tahun 2003 tentang Advokat). Sehingga tidak heran banyak para advokat juga mengartikan ”advokasi” adalah sebagai bagian tugas dalam upaya pembelaan hukum terhadap hak-hak hukum kliennya.  Begitu juga pengertian advokasi yang ada dibeberapa Lembaga Bantuan Hukum (LBH), semula program advokasi di LBH-LBH yang ada dititik-beratkan pada program pembelaan hukum yang dilakukan di pengadilan saja sebagai salah satu ciri khasnya, sehingga ”advokasi” dimaknai sebagai kegiatan pembelaan di ruang-ruang pengadilan dalam rangka mencari keadilan serta menegakkan hak-hak hukum mereka yang dibela oleh pihak Lembaga Bantuan Hukum atau lembaga yang sejenis. Adapun bidang yang menangani advokasi di LBH bersangkutan biasanya disebut dengan bidang Litigasi . Di Lembaga Bantuan Hukum atau LBH dulunya bidang advokasi merupakan bidang Litigasi yang lebih khusus diartikan sebagai upaya bantuan hukum yang diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat kurang mampu secara ekonomi, dan biasanya perkara yang ditangani adalah perkara struktural.
Di dalam perkembangannya advokasi tidak lagi difahami sebagai suatu upaya pembelaan hukum diruang pengadilan dalam rangka mencari keadilan, ruang pengadilan tidak lagi satu-satunya tempat untuk mewujudkan keadilan apalagi telah menjadi rahasia umum pengadilan yang koruptif justru menjadi tempat dan sumber ketidakadilan itu sendiri (political stage).<br><br> Di samping itu berangkat dari fakta-fakta sosial tentang banyak terjadi ketimpangan sosial, ketidak-adilan sosial, keterbelakangan sosial di tengah masyarakat Indonesia, dimana diketahui akar masalah terjadinya ketidakadilan, keterbelakangan dan ketimpangan sosial itu selalu bersumber dari beberapa indikator yang antara lain ; terhambatnya mekanisme keputusan politik atau kebijakan public service yang kurang memihak kepada rakyat banyak, kurang dihormatinya hak-hak asasi manusia, hak sipil-politik, hak ekonomi, hak sosial dan budaya, partisipasi politik rakyat banyak tidak terakomodir dengan baik dalam pengambilan keputusan politik dan kebijakan-kebijakan pemerintah, sehingga kesemua itu pada gilirannya membuat kehidupan berbangsa dan bernegara tidak demokratis. Atas dasar ini ”advokasi” memiliki dimensi pengertian yang sangat luas, bahkan pengertiannya sangat tergantung pada situasi secara kontekstual. Dalam konteks ini ”advokasi” dapat diartikan: sebagai segala upaya legal yang sistematis dan terorganisir baik itu dalam mempengaruhi dan mensosialisasikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi rakyat banyak sehingga terjadi perubahan prilaku dan kemampuan masyarakat luas untuk melakukan dan memperjuangkan seluruh hak-haknya secara mandiri, maupun segala upaya yang ditujukan kepada pemerintah dan/atau kepada semua -pihak yang menguasai hajat hidup orang banyak agar mengubah kebijakan, system dan program yang ada demi terciptanya keadilan sosial yang demokratis.
Berangkat dari pengertian ”advokasi” ini, advokasi bukan lagi sekedar pembelaan hukum yang dilakukan di ruang pengadilan untuk mewujudkan keadilan, advokasi merupakan suatu pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia, hak sipil-politik, hak ekonomi, sosial dan budaya yang secara konprehensif diperjuangkan melalui akar masalahnya. Karena advokasi disini dilakukan secara sistematis dan terorganisir, maka advokasi merupakan kerja dari koalisi dari sumber daya manusia yang kapabel, mempunyai rumusan tujuan dan sasaran yang jelas, harus mempunyai data dan informasi baik kuantitatif maupun kualitatif dari semua aspek sasaran terkait, mempunyai paket-paket pesan yang jelas untuk disampaikan kepada sasaran dan seluruh pihak terkait, melakukan evaluasi agar ditemukan cara yang lebih tepat dalam mencapai target advokasI. Bahwa yang tidak kalah pentingnya upaya advokasi harus memiliki dana yang cukup untuk mengoperasionalkan program-programnya, oleh karenanya advokasi harus mempunyai konsep yang menyangkut legitimasi, dan ini merujuk terhadap apa dan siapa yang diwakili supaya didengar oleh masyarakat dan pemerintah ; mempunyai kredibilitas dan ini merujuk pada hubungan baik antara organisasi dengan konstituennya agar advokasi dapat dipercaya ; mempunyai kekuasaan sebagai modal untuk bargaining dan ini biasanya merujuk pada jumlah orang yang dapat dimotivasi ; dan memiliki akuntabilitas, yaitu bentuk pertanggungjawaban kepada publik khususnya yang diwakilinya karena pertanggungjawaban itu memang merupakan hak mereka ; Advokasi sangat diperlukan dalam masyarakat kita agar nilai-nilai pembangunan dapat diserap dengan baik sehingga terbangun manusia Indonesia seutuhnya yang bermartabat yang mengerti hak dan kewajibannya sebagai warganegara dalam iklim yang sehat dan demokratis. Disini, peran dari LBH-LBH dan/atau LSM-LSM atau NGO sangatlah besar, karena merekalah yang begitu concern dalam melakukan upaya advokasi terhadap kebijakan publik yang menimbulkan ketimpangan sosial.
(Sumber :  Harian Umum Kedaulatan Rakyat “KR” Yogyakarta)

Wednesday, March 22, 2017

Menguji Perda Kabupaten/Kota

Menguji Perda Kabupaten/Kota 
By. Alief Sayyidul Qadr




-   Terhadap suatu Perda Kota dapat dilakukan pengujian ke Mahkamah Agung apabila peraturan tersebut diduga bertentangan dengan suatu Undang-Undang (peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi) dengan permohonan keberatan.
-    Sementara, jika suatu Perda Kota bertentangan dengan Perda Provinsi, Kepentingan Umum, dan/atau Kesusilaan, maka dibatalkan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Pembatalan Perda Kota ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.





Bagi masyarakat Kabupaten/Kota, Produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh pemerintahan kota dapat berupa:
1.    Peraturan Bupati/Walikota yaitu peraturan yang ditetapkan oleh Bupati atau walikota, dan
2.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (“Perda Kabupaten” atau “Perda Kota”) yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.

Masalah Perda yang sering menimbulkan “Gugatan” pada umumnya, timbul kaibat dari :
1.    Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Undang-Undang misalnya), atau
2.    Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Peraturan Daerah Provinsi misalnya), kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. 

Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan 
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) yaitu:
a.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.    Peraturan Pemerintah;
e.    Peraturan Presiden;
f.     Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Definisi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dijelaskan dalam Pasal 1 angka 8 UU 12/2011 yaitu:

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.”

Sementara, Peraturan Walikota disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011sebagai berikut:

Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”

Peraturan Daerah Kota dan Peraturan Walikota berkedudukan di bawah Undang-Undang dalam hierarki peraturan perundang-undangan.[1]

1.    Jika Perda Kota Bertentangan dengan Undang-undang
a.    Uji Materiil (Permohonan Keberatan ke Mahkamah Agung)
Meluruskan pertanyaan Anda, istilah tepat yang digunakan bukanlah menggugat Perda Kota tersebut, melainkan memohon keberatan ke Mahkamah Agung untuk dilakukan uji materiil terhadap Perda Kota.

Memang terhadap suatu Perda Kota dapat dilakukan pengujian apabila peraturan tersebut diduga bertentangan dengan suatu undang-undang yang secara hierarkis kedudukannya lebih tinggi. Pengujian terhadap Perda Kota tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU 12/2011 yang menyatakan:

“Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.”

Pengujian ini dinamakan judicial review, dimana salah satu wewenang Mahkamah Agung (MA) adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.[2]

Uji materiil merupakan salah satu cakupan judicial review. Yang dimaksud dengan hak uji materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[3] Jadi, jika memang suatu Perda Kota dinilai bertentangan dengan undang-undang, maka terhadap Perda Kota tersebut dapat dilakukan uji materiil.

Jika inisiatif untuk melakukan pengujian terhadap suatu perundang-undangan ini datang bukan dari MA, maka disebut dengan Permohonan Keberatan.Permohonan Keberatan adalah suatu permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi yang diajukan ke MA untuk mendapatkan putusan.[4]

b.    Permohonan Keberatan ke Pengadilan Negeri
Tak hanya melalui Mahkamah Agung, permohonan keberatan terhadap Perda Kota yang diduga bertentangan dengan suatu undang-undang juga dapat dilakukan melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah tempat kedudukan Pemohon.[5]

Permohonan keberatan dibuat rangkap sesuai keperluan dengan menyebutkan secara jelas alasan-alasan sebagai dasar keberatan dan wajib ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah.[6]

Pemohon membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan yang besarnya akan diatur tersendiri.[7]

2.    Jika Bertentangan dengan Perda Provinsi, Kepentingan Umum, dan/atau Kesusilaan
Sementara itu, Perda Kota dan peraturan wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.[8]

Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak membatalkan Perda Kota dan/atau peraturan wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan, Menteri Dalam Negeri membatalkannya.[9]

Pembatalan Perda Kota dan peraturan wali kota ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.[10]

Paling lama 7 hari setelah keputusan pembatalan, kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.[11]

Jadi, dapat disimpulkan antara lain:
-    Terhadap suatu Perda Kota dapat dilakukan pengujian ke Mahkamah Agung apabila peraturan tersebut diduga bertentangan dengan suatu Undang-Undang dengan permohonan keberatan.
-    Istilah untuk menguji Perda Kota yang diduga bertentangan dengan Undang-Undang adalah permohonan keberatan, dan bukan gugatan.
-    Sementara, jika suatu Perda Kota bertentangan dengan Perda Provinsi, Kepentingan Umum, dan/atau Kesusilaan, maka dibatalkan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.


Dasar hukum:

[1] Pasal 7 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011
[2] Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”)
[4] Pasal 1 ayat (3) PERMA 1/2011
[5] Pasal 2 ayat (1) huruf b PERMA 1/2011
[6] Pasal 2 ayat (3) PERMA 1/2011
[7] Pasal 2 ayat (4) PERMA 1/2011
[9] Pasal 251 ayat (3) UU Pemda
[10] Pasal 251 ayat (4) UU Pemda
[11] Pasal 251 ayat (5) UU Pemda