Sistem
hukum di Indonesia sudah menyatakan bahwa setiap penyidikan dan penyelidikan
hingga proses pengadilan harus didasarkan pada azas praduga tidak bersalah.?
Penahanan dan penangkapan harus menghindari tindakan kekerasan dan penyiksaan.
Untuk menangkap seseorang saja, aparat harus mempunyai surat penangkapan,?
PENANGKAPAN:
Arti penangkapan menurut KUHAP adalah Pasal 1 ayat (20).Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Sedangkan penangkapan itu sendiri
dilakukan tidak boleh dengan sewenang-wenang, dan dilakukan atas dasar untuk:
kepentingan penyelidikan, dengan memnggunakan ketentuan sebagai berikut :
1.
Penyelidik atas perintah penyidik
dapat dan berwenang melakukan penangkapan.
2.
Untuk kepentingan penyidikan,
penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.
3.
Perintah penangkapan dilakukan
terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
permulaan yang cukup.
4.
Pelaksanaan tugas penangkapan
dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan
memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah
penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan
penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta
tempat ia diperiksa (Pasal 18, ayat 1 KUHAP)
Namun bilamana dalam hal tertangkap
tangan, dan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, maka juga harus
memenuhi ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap
beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang
terdekat.
Yang kemudian Penyidik setempat
membuat tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(Pasal 18 ayat 1 KUHAP) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah
penangkapan dilakukan.
Disamping ketentuan tersebut diatas
, pada pasal 19 KUHAP disebutkan :
1.
Penangkapan sebagaimana dimaksud ,
dapat dilakukan untuk paling lama satu hari.
2.
Terhadap tersangka pelaku
pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil
secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan
yang sah.
PENAHANAN :
Sebagaimana
disebut didalam pasal 1 ayat (21) KUHAP bahwa.Penahanan adalah penempatan
tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum
atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
Penahan bisa dilakukan dengan alasan
sebuah pertimbangan dari kasus sesuai dengan KUHAP tersebut. Kenapa dan
kenapa ada tahanan yang masih di siksa atau diperlakukan dengan
sewenang-wenang, hal ini menjadikan sebuah kebiasaan oleh para penyidik ataupun
penyidik pembantu yang sama sekali tidak mengerti hukum, atau lebih pas nya
mereka tidak lebih bodoh dari yang disiksa.
Walaupun pelaku kriminal itu sudah
meresahkan masyarakat, mereka tetap dilindungi Hak Azasi Manusi (HAM), tidak
pantas seorang polisi menyiksa mereka. Bahkan ketika mereka melakukan tindak
kriminal, lalu dikeroyok masyarakat, polisi harus segera mengamankan pelaku
kriminal itu.
Anggota Polri selalu mendapatkan
arahan dan penegasan untuk tidak melakukan tindak kekerasan kepada masyarakat.
Polisi adalah pelayan masyarakat yang harus memberikan pelayanan simpatik,
termasuk saat menyelidiki sebuah kasus.
Jika ada kekerasan dan penyiksaan
yang menimpa tersangka atau tahanan, berarti penegak hukum tidak memahami
KUHAP. Tersangka atau tahanan termasuk dalam subjek yang harus dilindungi hak
azasinya. Hal ini juga bertentangan dengan KEPKAP No 8 Tahun 2009, tentang
Implementasi Pelaksanaan Hak Asasi Manusia
Masih adanya tindak kekerasan yang
dilakukan polisi dalam melakukan tugasnya. "Pada dasarnya, anggota Polri
ketika melakukan penyelidikan dilarang melakukan penyiksaan terhadap tersangka
atau tahanan dan masyarakat lainnya. Tindakan tersebut sangat dilarang.
Pernyataan dari Asian Human Rights Commission
Indonesia telah menandatangi Konvensi menentang Penyiksaan (UN Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) pada Oktober 1998. Namun dalam implementasi komitmen Indonesia terhadap Konvensi menentang Penyiksaan, Komite menentang Penyiksaan (Committee Against Torture) menemukan kelemahan dan kekosongan hukum yang belum dapat diatasi oleh para pembuat undang-undang.
Peraturan polisi mengakomodasi
masalah penyiksaan dalam sepuluh (10) pasal yang berbeda (Pasal 5, 7, 10, 11,
13, 23, 24, 37, 38.2, 41) yang mencakup perlindungan terhadap penyiksaan biasa,
penggunaan penyiksaan seksual (Pasal 13 (a)) dan bahkan larangan untuk
menggunakan penyiksaan dalam keadaaan darurat pada Pasal 41.
Pasal 10 (e) dari peraturan tersebut
mensyaratkan petugas kepolisian nasional untuk “menghindari untuk memulai atau
mentoleransi segala bentuk penyiksaan atau tindakan kejam, tidak
berperikemanusiaan dan tindakan merendahkan martabat atau hukuman, petugas
penegak hukum juga tidak boleh menerapkan sistem tanggung jawab berdasarkan
perintah atasan atau keadaan memaksa seperti keadaan perang sebagai pembenaran
terhadap penyiksaan.” Pasal 11 (b) selanjutnya menetapkan bahwa polisi “tidak
boleh melakukan (…) penyiksaan” kepada tahanan dan tersangka. Namun, hal ini
pada praktiknya masih secara luas diberlakukan apabila dilihat dari berbagai
kasus yang diterima oleh AHRC.
Hubungan antara hak kepada peradilan
yang adil dan penyiksaan sebagai bagian dari mekanisme investigasi polisi
diakui dalam Pasal 37 yang menyatakan bahwa polisi nasional “tidak boleh”
menggunakan penyiksaan. Dokumen yang berjudul Regulation of the Chief of the
Indonesian National Police, No. 8/2009 regarding the implementation of human
rights principles and standards in the discharge of duties of the Indonesian
National Police dapat diunduh dalam versi bahasa Inggris disini dari website
Indonesia AHRC.
Sementara peraturan baru adalah
kunci dari perkembangan atas perlindungan hak asasi manusia di negara ini,
tindakan penyiksaan masih belum merupakan kejahatan atau tindakan criminal. Hal
itu berari, aparat kepolisian yang menggunakan penyiksaan masih belum dapat
dimintai pertanggungjawabannya di depan pengadilan dan dihukum penjara, seperti
sanksi umum di negara-negara lain dan yang diharuskan oleh Konvensi menentang
Penyiksaan lebih dari 10 tahun yang lalu.
Pada April 2009 dua kasus penyiksaan
yang berujung pada kematian dua korban. Korban pertama adalah Bayu Perdana
Putra yang dilaporkan telah disiksa di Kantor Polisi Jakarta Utara. Korban
lainnya adalah Carmadi, yang meninggal dalam penahanannya di kantor polisi
Tegal, Jawa Tengah sebagai akibat dari penyiksaan yang dialaminya. Pada kasus
yang lain, Zaenal M. Latif sangat beruntung dapat selamat dari penyiksaan yang
harus dialaminya di Kantor Polisi Cilegon, Jawa Barat. Dalam kasus ini, seperti
yang banyak terjadi, polisi yang melakukan penangkapan tidak memakai seragam
dinas.
Beberapa kasus yang terjadi di Jawa
ini merupakan puncak gunung es dimana sebagian besar kasus penyiksaan tidak
pernah dilaporkan karena intimidasi dan ancaman yang dilakukan oleh pelaku
terhadap korban. Khususnya,tersangka dari tindakan criminal atau tindakan
illegal lainnya mererima “hukuman” dari kepolisian sendiri sebelum proses
investigasi dilakukan dan kesalahan mereka tidak dibuktikan didepan pengadilan
yang adil. Bagaimana hal ini dapat disebut sebagai keadilan?
Kebanyakan korban adalah warga
biasa, lebih khususnya masyarakat miskin, yang menjadi target pertama pasukan
keamanan. Di Papua, dimana kegiatan ekonomi dan kehidupan rakyat sipil diatur
oleh kekuatan militer yang bergulat untuk merebutkan kekuasaan dengan polisi,
kekerasan oleh petugas keamanan adalah hal yang sistemik.
Berbagai gerakan organisasi di
Jakarta dan di daerah lain di Indonesia sedang merencanakan untuk menggelar
demostrasi dan menyuarakan tuntutan mereka pada hari penyiksaan yang
diperingati pada hari Jum’at: Jadikan penyiksaan sebagai kejahatan! AHRC
berpendapat bahwa yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia adalah tinjauan
terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam rangka menjadikan penyiksaan
sebagai tindakan criminal .
Tentang AHRC: Asian Human Rights Commission adalah sebuah organisasi non pemerintah yang melakukan pemantauan dan lobi-lobi terhadap isu-isu HAM di Asia. Organisasi yang bermarkas di Hong Kong ini didirikan pada tahun 1984.
Tentang AHRC: Asian Human Rights Commission adalah sebuah organisasi non pemerintah yang melakukan pemantauan dan lobi-lobi terhadap isu-isu HAM di Asia. Organisasi yang bermarkas di Hong Kong ini didirikan pada tahun 1984.
Peraturan Kapolri No.8/2009 tentang implementasi HAM oleh
Polri
Sejak beberapa tahun yang lalu,
Polri mendapat dukungan dari IOM (International Organisation for Migration)
untuk pengembangan perpolisian masyarakat, perspektif gender dan HAM, khususnya
untuk kasus-kasus migrasi dan perdagangan manusia.
Selama periode kerjasama tersebut
telah 5000 orang polisi yang dilatih. Salah satu“hasil” dari kerjasama tersebut
adalah Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan
Standar hak Asasi Manusia dalam penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik
Indonesia atau juga disebut dengan Perkap HAM.
Jika dilihat isinya Perkap ini sangat ideal, bahkan lebih baik daripada UU dan KUHAP yang berlaku saat ini di Indonesia. Perkap ini berisi 62 pasal dan memuat berbagai instrumen HAM baik nasional maupun internasional sebagai konsiderans, dan berfungsi sebagai standar etika pelayanan dan code of conduct bagi kepolisian. Perkap ini mengedepankan prinsip penegakan hukum oleh Polri yaitu legalitas, nesesitas dan proporsionalitas. Adanya Perkap ini menjadi kontras dengan fakta di lapangan dimana pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian tetap marak, seperti dalam kasus penembakan petani di Kuansing, pelecehan seksual di Bengkulu serta penangkapan sewenang-wenang terhadap masyarakat di berbagai daerah .
Secara khusus Perkap ini mendaftar sejumlah HAM yang termasuk dalam cakupan tugas Polri (dalam pasal 6), yaitu:
Jika dilihat isinya Perkap ini sangat ideal, bahkan lebih baik daripada UU dan KUHAP yang berlaku saat ini di Indonesia. Perkap ini berisi 62 pasal dan memuat berbagai instrumen HAM baik nasional maupun internasional sebagai konsiderans, dan berfungsi sebagai standar etika pelayanan dan code of conduct bagi kepolisian. Perkap ini mengedepankan prinsip penegakan hukum oleh Polri yaitu legalitas, nesesitas dan proporsionalitas. Adanya Perkap ini menjadi kontras dengan fakta di lapangan dimana pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian tetap marak, seperti dalam kasus penembakan petani di Kuansing, pelecehan seksual di Bengkulu serta penangkapan sewenang-wenang terhadap masyarakat di berbagai daerah .
Secara khusus Perkap ini mendaftar sejumlah HAM yang termasuk dalam cakupan tugas Polri (dalam pasal 6), yaitu:
a. hak memperoleh keadilan: setiap orang, tanpa
diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan
pengaduan dan laporan dalam perkara pidana, serta diadili melalui proses
peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin
pemeriksaan secara objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh
putusan adil dan benar;
b. hak atas kebebasan pribadi: setiap orang bebas
memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum,
memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa
diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah RI;
c. hak atas rasa aman: setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman
dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu;
d. hak bebas dari penangkapan sewenang-wenang, hak bebas
dari penghilangan secara paksa;
e. hak khusus perempuan: perlindungan khusus terhadap perempuan
dari ancaman dan tindakan kejahatan, kekerasan dan diskriminasi yang terjadi
dalam maupun di luar rumah tangga yang dilakukan semata-mata karena dia
perempuan;
f. hak khusus anak: perlindungan/perlakuan khusus
terhadap anak yang menjadi korban kejahatan dan anak yang berhadapan dengan
hukum, yaitu: hak nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk
hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat
anak;
g. hak khusus masyarakat adat; dan
h. hak khusus kelompok minoritas, seperti etnis, agama,
penyandang cacat, orientasi seksual.
Hubungan
antara Kepolisian dengan Korban
Jika selama ini hak korban sangat minimal diatur dalam KUHAP dan beberapa UU khusus, Perkap ini secara umum Kewajiban terhadap korban, antara lain (pasal 52):
Jika selama ini hak korban sangat minimal diatur dalam KUHAP dan beberapa UU khusus, Perkap ini secara umum Kewajiban terhadap korban, antara lain (pasal 52):
a. bersikap empati dalam menangani korban dengan memperhatikan
kondisi korban yang sedang mengalami trauma emosional, terutama korban
penganiayaan, pemerkosaan, perlakuan tidak senonoh, penyerangan, dan
perampokan;
b. menunjukkan ketulusan dan kesungguhan untuk memberi
pelayanan kepada korban;
c. memberikan bantuan dan menunjukkan empati kepada korban
kejahatan;
d. tidak melakukan tindakan negatif yang dapat memperburuk
situasi;
e. tidak menunjukkan kesan sinis atau menuduh korban sebagai
penyebab terjadinya kejahatan;
f. tidak melakukan pemeriksaan orang yang sedang mengalami
guncangan jiwa (shock);
g. memberikan kesempatan kepada korban untuk berkonsultasi
dengan dokter; dan
h. mencarikan bantuan pekerja sosial atau relawan pendamping
serta bantuan hukum, jika diperlukan.
Pasal ini juga memuat larangan
sejumlah hal yang selama ini sering dilakukan oleh pihak kepolisian di (pasal
53):
a. meminta biaya sebagai imbalan pelayanan;
b. meminta biaya operasional untuk penanganan perkara;
c. memaksa korban untuk mencari bukti atau menghadirkan saksi/
tersangka; dan
d. menelantarkan atau tidak menghiraukan kepentingan korban
e. mengintimidasi, mengancam atau menakut-nakuti korban;
f. melakukan intervensi/mempengaruhi korban untuk melakukan
tindakan yang melanggar hukum;
g. merampas milik korban; dan
h. melakukan tindakan kekerasan.
Standar Perilaku/Code of conduct
anggota Polri
Kewajiban yang diatur antara lain di pasal 10 yaitu:
Kewajiban yang diatur antara lain di pasal 10 yaitu:
a. senantiasa menjalankan tugas yang diamanatkan oleh
undang-undang kepada mereka;
b. menghormati dan melindungi martabat manusia dalam
melaksanakan tugasnya;
c. tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk
mencegah kejahatan membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau
tersangka sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan;
d. hal-hal yang bersifat rahasia yang berada dalam kewenangan
harus tetap dijaga kerahasiaannya, kecuali jika diperlukan dalam pelaksanaan
tugas atau untuk kepentingan peradilan;
e. tidak boleh menghasut, mentolerir tindakan penyiksaan,
perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan
martabat manusia, demikian pula menjadikan perintah atasan atau keadaan luar
biasa seperti ketika dalam keadaan perang sebagai pembenaran untuk melakukan
penyiksaan;
f. menjamin perlindungan sepenuhnya terhadap kesehatan orang-orang
yang berada dalam tahanannya, lebih khusus lagi, harus segera mengambil langkah
untuk memberikan pelayanan medis bilamana diperlukan;
g. tidak boleh melakukan korupsi dalam bentuk apapun, maupun
penyalahgunaan kekuasaan lainnya yang bertentangan dengan profesi penegak
hukum;
h. harus menghormati hukum, ketentuan berperilaku, dan kode
etik yang ada.
Larangan (Pasal 11 ayat 1):
a. penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak
berdasarkan hukum;
b. penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka
terlibat dalam kejahatan;
c. pelecehan atau kekerasan seksual terhadap tahanan atau
orang-orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
d. penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan
martabat manusia;
e. korupsi dan menerima suap;
f. menghalangi proses peradilan dan/atau menutup-nutupi
kejahatan;
g. penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum
(corporal punishment);
h. perlakuan tidak manusiawi terhadap seseorang yang melaporkan
kasus pelanggaran HAM oleh orang lain;
i. melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan yang tidak
berdasarkan hukum;
j. menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan.
Penggunaan Kekuatan/Tindakan Keras
dan Senjata Api (pasal 47-49)
Pasal 47 Perkap ini menyatakan bahwa
penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benardiperuntukkan
untuk melindungi nyawa manusia, yaitu ketika:
a. dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
b. membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
c. membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka
berat;
d. mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa
orang;
e. menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang
atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan
f. menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana
langkah-langkah yang lebih lunak tidakcukup.
Pasal
49
(1) Setelah melakukan penindakan
dengan menggunakan senjata api, petugas wajib:
a. mempertanggungjawabkan tindakan penggunaan senjata api;
b. memberi bantuan medis bagi setiap orang yang terluka tembak;
c. memberitahukan kepada keluarga atau kerabat korban akibat
penggunaan senjata api; dan
d. membuat laporan terinci dan lengkap tentang penggunaan
senjata api.
(2) Dalam hal terdapat pihak yang
merasa keberatan atau dirugikan akibat penggunaan senjata api oleh petugas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka:
a. petugas wajib membuat penjelasan secara rinci tentang alasan
penggunaan senjata api, tindakan yang dilakukan dan akibat dari tindakan yang
telah dilakukan;
b. pejabat yang berwenang wajib memberikan penjelasan kepada
pihak yang dirugikan; dan
c. tindakan untuk melakukan penyidikan harus dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Hal-hal menarik lainnya dalam Perkap
tersebut antara lain:
1. Kewajiban bagi Polri untuk menghormati budaya lokal
sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan HAM (pasal 8), dimana budaya
lokal dimaknai sebagai adat, tradisi, kebiasaan atau tata nilai yang masih kuat
dianut oleh masyarakat setempat dalam rangka memelihara keamanan, ketertiban
dan ketenteraman di lingkungan warga masyarakat setempat (pasal 1 angka 14)
2. Perlindungan dan jaminan hak korban, termasuk korban tidak
langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 20 (anggota keluarga atau
kerabat dekat korban yang menderita akibat kejahatan yang terjadi)
3. Kewajiban bagi setiap anggota Polri wajib memahami 19
instrumen internasional tentang standar minimal perlindungan warga negara yang
mengatur secara langsung dan tidak langsung tentang hubungan anggota Polri
dengan HAM (pasal 7)
4. Pengkhususan jaminan terhadap hak perempuan dan anak,
termasuk hak untuk didampingi oleh pekerja sosial atau ahli selain penasihat
hukum
5. Penghormatan terhadap privasi baik tersangka, korban maupun
saksi
6.
Pengaturan khusus mengenai
perlindungan HAM dalam situasi darurat keamanan (pasal41), Perlindungan HAM
dalam kerusuhan massal (pasal 42-44).
PENEGAKAN
Pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa
anggota Polri yang melakukan tindakan melanggar HAM wajib
mempertanggungjawabkan sesuai dengan kode etik profesi kepolisian, disiplin dan
hukum yang berlaku.
Di pasal 60 setiap pejabat Polri
berkewajiban untuk:
a. melakukan pengawasan penerapan HAM, terutama di lingkungan
anggotanya;
b. memberikan penilaian bagi anggota Polri dalam menerapkan
prinsip HAM dengan memberikan penghargaan bagi yang berprestasi;
c. memberikan tindakan koreksi terhadap tindakan anggotanya
yang tidak sesuai dengan prinsip perlindungan HAM; dan
d. menjatuhkan sanksi terhadap anggota Polri yang melakukan
tindakan yang bertentangan dengan prinsip perlindungan HAM dalam
pelaksanaan tugas.
2.
Sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d dijatuhkan melalui proses penegakan disiplin, penegakan etika
kepolisian dan/atau proses peradilan pidana.
Penegakan hukum terhadap aparat
kepolisian sampai saat ini masih sangat minim karena adanya ‘Esprit de
Corps’ yang demikian tinggi di lingkungan kepolisian. Karena Perkap ini
hanya berlaku secara internal, penegakan disiplin dan kode etik profesi di
kepolisian menjadi sangat penting untuk didorong. Akan tetapi pengalaman
menunjukan bahwa kalaupun pengadilan disiplin terjadi, sanksi yang diberikan
kepada anggota kepolisian dinilai kurang sebanding dan tidak cukup menjerakan.
Contohnya dalam satu kasus KDRT, sanksi yang dijatuhkan hanya penundaan
kenaikan pangkat selama 6-12 bulan dan “penahanan” selama beberapa minggu di
kantornya sendiri, yang ternyata tetap memungkinkan terhukum untuk bebas
beraktivitas sepanjang di lingkungan kantornya tersebut.
Meskipun begitu, pengesahan Perkap ini merupakan pernyataan komitmen Polri terhadap penegakan HAM. Perkap ini dapat digunakan untuk menagih komitmen tersebut, karena saat ini sepertinya belum ada perubahan signifikan, dilain pihak kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM oleh Polri masih terjadi di berbagai daerah terus terjadi.
Meskipun begitu, pengesahan Perkap ini merupakan pernyataan komitmen Polri terhadap penegakan HAM. Perkap ini dapat digunakan untuk menagih komitmen tersebut, karena saat ini sepertinya belum ada perubahan signifikan, dilain pihak kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM oleh Polri masih terjadi di berbagai daerah terus terjadi.
Lembaga
kepolisian menyediakan tiga keluaran jasa yang berharga yaitu: pelayanan,
pemeliharaan ketertiban, dan penegakan hukum. Keluaran jasa itu juga meliputi
pekerjaan utama yang terdapat dalam organisasi kepolisian. “Pelayanan” mengacu
pada penyediaanbantuan bagi masyarakat dalam mengatasi masalah yang tidak
berhubungan dengan tindak pidana.
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.