Beberapa Catatan atas
SEMA No. 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan PK dalam Perkara Pidana
Mahkamah Agung pada tanggal 28 Juni
2012 lalu menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan
Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana. SEMA ini pada intinya
menyatakan bahwa permohonan PK dalam perkara pidana (dalam sidang pemeriksaan
permohonan PK di pengadilan negeri) harus dihadiri oleh Terpidana atau ahli
warisnya secara langsung, tidak bisa hanya dihadiri oleh Kuasa Hukum.
SEMA ini tidak menjelaskan mengapa
tiba-tiba MA memandang perlu untuk mengatur PK hanya dapat diajukan (dihadiri)
oleh terpidana atau ahli warisnya secara langsung, dan tidak bisa hanya
dihadiri oleh kuasa hukumnya semata. Namun jika ditelusuri isu ini sebenarnya
telah mencuat sejak awal tahun 2010 yang lalu. Pada saat itu MA untuk pertama
kalinya menyatakan tidak dapat menerima (niet onvanklijk verklaard / N.O.)
permohonan PK dengan terpidana korupsi Tazwin Zein dengan alasan permohonan PK
tersebut tidak dihadiri oleh Terpidana/Ahli Warisnya saat sidang pemeriksaan PK
di pengadilan Negeri, hanya dihadiri oleh Penasihat Hukumnya. Dalam putusan ini
suara MA tidak bulat, terdapat dua hakim anggota yang berbeda pendapat, yaitu
Leopold Hutagalung (hakim ad hoc) dan Abbas Said yang berpendapat bahwa PK yang
hanya dihadiri oleh Penasihat Hukum diperbolehkan.
Tak lama setelah perkara Tamzil Zein
tersebut MA kembali memutus dengan putusan serupa, kali ini dengan suara bulat,
yaitu dalam perkara Setia Budi No. 74 PK/Pid.Sus/2010.
Dalam putusan ini sangat terlihat
jelas bahwa alasan Mahkamah Agung menyatakan tidak dapat menerima PK yang tidak
dihadiri oleh Terpidana/Ahli Warisnya adalah karena dikhawatirkan PK
dimanfaatkan oleh terpidana yang sedang melarikan diri/bersembunyi seperti yang
telah terjadi sebelum-sebelumnya yaitu seperti dalam kasus Tommy Soeharto.
Sebelum SEMA ini terbit memang
terdapat inkonsistensi dalam putusan-putusan MA terkait masalah ini. Terdapat
dua pandangan di dalam tubuh Mahkamah Agung yang menafsirkan aturan-aturan
mengenai PK dalam KUHAP, ada yang memandang kehadiran terpidana / ahli warisnya
bersifat imperatif ada yang tidak. Hal ini juga diakui oleh mantan Ketua
Mahkamah Agung Harifin A Tumpa.
Sebelum putusan Tazwin Zein memang MA sepertinya tidak mempermasalahkan
ketidakhadiran terpidana/ahli warisnya dalam sidang pemeriksaan PK di
Pengadilan Negeri, hal ini terlihat secara jelas dalam perkara-perkara yang
disebutkan dalam kasus korupsi PT Bulog dengan terpidana Tommy Soeharto dimana
MA yang saat itu jelas-jelas sudah mengetahui Tommy Soeharto sedang melarikan
diri mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh Tommy melalui kuasa hukumnya.
Saat itu majelis PK yang mengabulkan permohonan PK tersebut dipimpin langsung
oleh Ketua MA pada saat itu, Prof. Bagir Manan.
Latar belakang seperti di atas lah
sepertinya yang menjadi alasan mengapa MA merasa perlu menerbitkan SEMA No. 1
Tahun 2012 ini, untuk mengakhiri dualisme pendapat MA tersebut.
Tepat kah SEMA ini?
Sebelum menilai tepat atau tidaknya
SEMA ini mari kita lihat kembali dua pasal yang dirujuk oleh MA dalam SEMA
tersebut, yaitu Pasal 263 dan 265 KUHAP
Pasal 263
- Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung.
- Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar :
- apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
- apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
- apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
- Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Pasal 265
- Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan-kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2).
- Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.
- Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera.
- Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa.
- Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang bersangkutan.
Dari kedua pasal di atas terlihat
bahwa KUHAP tidak secara tegas mengatur apakah kehadiran Terpidana/ahli
warisnya bersifat imperatif atau tidak. Memang benar bahwa jika dilihat secara
sistematis terkesan bahwa kehadiran terpidana/ahli warisnya bersifat imperatif,
yaitu jika merujuk pada pasal 265 ayat 3 dimana di ayat tersebut dinyatakan
bahwa dalam berita acara sidang pemeriksaan ditandatangani oleh (salah satunya)
Pemohon. Pertanyaannya kemudian tentu, siapakah yang dimaksud pemohon? Apakah
penasihat hukum yang mendapatkan kuasa khusus untuk mewakili terpidana/ahli
warisnya dapat disebut juga sebagai pemohon?
Mengenai siapa yang dimaksud dengan
‘Pemohon’ Bagian Kedua Bab XVIII KUHAP ini memang tidak secara tegas
mendefinisikannya. Istilah Pemohon dalam konteks Peninjauan Kembali sendiri
baru muncul pada pasal 264 ayat (1) yang selengkapnya berbunyi:
Pasal 264
(1) Permintaan peninjauan kembali
oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada
panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan
menyebutkan secara jelas alasannya.
Dari pasal 264 ayat (1) di atas yang
kemudian merujuk pada Pasal 263 ayat (1) memang dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan Pemohon terbatas pada Terpidana atau Ahli Warisnya.
Pertanyaannya kemudian mungkin apakah berarti kehadiran Terpidana (atau
Terdakwa) dalam upaya hukum lainnya khususnya upaya hukum biasa seperti Banding
dan Kasasi juga harus dihadiri secara langsung oleh Pemohon dalam pengertian
Terdakwa? Untuk itu mari kita lihat kedua pasal dibawah ini:
Pasal 233
(1)
Permintaan banding sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau
yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum;
(2)
Pasal 244
Terhadap putusan perkara pidana yang
diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah
Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan
kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.
Dari kedua pasal di atas terlihat
bahwa KUHAP tidak secara konsisten mengatur kedudukan Penasihat Hukum dalam
pengajuan upaya hukum baik upaya hukum biasa maupun luar biasa. Dalam pasal 233
yang mengatur mengenai permohonan Banding KUHAP menyebutkan kedudukan penasihat
hukum untuk dapat mengajukan Banding, dengan rumusan “…atau yang khusus
dikuasakan untuk itu”, sementara dalam aturan mengenai Kasasi Pasal 244 tidak
secara tegas mengaturnya. Dengan tidak tegas diaturnya hal yang demikian apakah
suatu saat nanti MA juga akan menyatakan permohonan Kasasi yang tidak diajukan
secara langsung (hanya melalui penasihat hukumnya yang telah mendapatkan surat
kuasa untuk itu) juga akan dinyatakan tidak dapat diterima? Wallahu alam.
Seperti terlihat dalam tulisan di
atas (khususnya link berita) sebelum 2010 MA tidak pernah mempermasalahkan
ketidakhadiran terpidana/ahli warisnya dalam sidang pemeriksaan PK. Perubahan
pandangan MA ini terjadi sepertinya semata-mata karena kekhawatiran kembali
terjadi PK yang diajukan oleh Terpidana padahal ia sedang melarikan diri.
Kekhawatiran ini terlihat jelas dalam pertimbangan MA dalam putusannya nomor 74
PK/Pid.Sus/2010 (Setia Budi). Permasalahannya, jika hal itu yang dikhawatirkan,
mengapat MA tidak menyatakan saja baik dalam putusannya atau dalam SEMA bahwa
Terpidana yang melarikan diri tidak dapat diterima permohonan PK nya? Mengapa
larangan tersebut digeneralisir untuk semua kondisi?
SEMA ini menurut saya akan
menyulitkan Terpidana (yang tidak melarikan diri) untuk dapat menggunakan
haknya. Terpidana yang akan mengajukan PK umumnya adalah terpidana yang sedang
menjalani hukuman (umumnya dalam penjara, bisa juga denda). Tentunya sangat
sulit bagi Terpidana untuk dapat hadir dalam sidang pemeriksaan permohonan PK,
karena ia sedang dalam penjara. Diperlukan izin untuk dapat keluar Lembaga
Pemasyarakatan, dan tidak mudah untuk mendapatkan izin ini. Belum lagi,
bagaimana jika Terpidana sedang menjalani di Lembaga Pemasyarakatan yang sangat
jauh dari Pengadilan Negeri tempat permohonan PK akan diperiksa? Misalnya
terpidana yang sedang menjalani hukuman di Nusa Kambangan, sementara ia dulu di
adili di Pengadilan Negeri Medan. Berapa hari izin yang bisa diberikan? Berapa
ongkos yang harus ia keluarkan? Untuk menjamin Terpidana (pemohon) tidak
melarikan diri tentu negara harus melakukan pengamanan terhadap si pemohon
sejak keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, sidang, hingga kembali ke LP
tersebut. Siapa yang akan menanggung biayanya? Negara? Berapa biaya yang harus
dikeluarkan negara untuk itu? Mudah kah prosedurnya? Apa jaminannya aparat yang
ditunjuk untuk mendampingi si Pemohon tidak akan meminta biaya tambahan kepada
Pemohon?
Apakah seluruh Terpidana kita kaya
raya? Tentu tidak. Kasus-kasus yang menjadi latar belakang SEMA ini memang
merupakan kasus-kasus tindak pidana korupsi, tapi SEMA ini sendiri toh tidak
khusus ditujukan untuk PK dalam perkara Korupsi, namun untuk seluruh jenis
perkara. Jikalaupun hanya dibatasi untuk kasus-kasus korupsi, pertanyaanya
apakah pasti seluruh terpidana korupsi itu kaya raya? Pandangan bahwa terpidana
korupsi pasti kaya raya tentu pandangan yang sangat bias. Karena kenyatannya
banyak terpidana kasus korupsi yang juga miskin. Berapa banyak kasus korupsi
yang dilakukan oleh pegawai rendahan, guru, petani, kepala dusun karena
korupsi-korupsi terkait dana Bantuan Operasional Sekolah, penyaluran Bantuan
Tunai Langsung, penyaluran Beras Miskin dll yang nilai korupsinya terkadang tak
lebih dari 20 juta rupiah?
Di luar kasus korupsi (yang juga
terpidananya belum tentu kaya raya) mayoritas terpidana bukanlah orang yang
mampu secara ekonomi. SEMA ini yang pada akhirnya akan membebankan para calon
pemohon secara ekonomi akan secara langsung maupun tidak langsung menghambat
hak mereka untuk mengakses keadilan.
Mungkin kita akan berfikir, “ya
kalau tidak bisa dihadiri Terpidananya secara langsung ya keluarganya saja, toh
mereka bisa menjadi pemohon”. Apakah benar keluarga (istri, anak dll) dapat
menjadi pemohon? Ya dan Tidak. Keluarga memang bisa menjadi pemohon, jika
mereka adalah ahli waris. Dan jangan lupa Pasal 263 ayat (1) menggunakan
istilah “Ahli Waris”, yang artinya tentu bukan sekedar ‘keluarga’, namun
‘keluarga’ setelah terpidana itu sendiri telah meninggal dunia. Karena Ahli
Waris baru muncul setelah ‘calon’ pewaris meninggal dunia. Dengan demikian
berarti sepanjang Terpidana itu sendiri masih hidup, keluarga, baik istri,
anak, orang tua, cucu dll tidak dapat menjadi Pemohon Peninjauan Kembali. Jadi
‘solusi’ agar jika terpidana tidak dapat hadir dalam sidang pemeriksaan –baik
karena alasan tidak mendapat izin, atau karena tidak punya biaya untuk ongkos,
penginapan dll- permohonan diajukan saja oleh ahli warisnya tidak benar.
Kembali Ke Tujuan
Dengan pertimbangan di atas saya
berpendapat SEMA ini (dan juga putusan-putusan MA sebelumnya) seperti menembak
lalat dengan meriam, tujuannya hanyalah ingin menembak lalat namun akhirnya
semua ikut kena oleh karena senjatanya tidak proporsional. Jika MA ingin
menghindari adanya permohonan PK oleh terpidana yang sedang melarikan diri ya
atur saja demikian. Atur saja bahwa dalam sidang pemeriksaan PK pengadilan (dan
Penuntut Umum) harus memastikan bahwa Pemohon / Terpidana tidak sedang
melarikan diri. Itu saja, tidak perlu mencari-cari justifikasi dengan
menafsirkan pasal 265 ayat 2 dan 3 yang pada akhirnya menjadi tidak terlalu
tepat.
Sekian.
Lampiran
SEMA No. 1 Tahun 2012
SEMA No. 1 Tahun 2012
Pengajuan Permohonan Peninjauan
Kembali dalam Perkara Pidana
Berdasarkan Pasal 263 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur
bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli
warisnya dapat mengajukan permontaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Atas dasar ketentuan tersebut di
atas dan juga ketentuan Pasal 265 ayat (2) DAN (3) KUHAP, Mahkamah Agung
menegaskan bahwa permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung hanya
dapat diajukan oleh terpidana sendiri atau ahli warisnya. Permintaan peninjauan
kembali yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa dihadiri oleh terpidana
harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan
ke Mahkamah Agung.
Permintaan peninjauan kembali yang
diajukan oleh kuasa hukum terpidana atau ahli warisnya sebelum berlakunya surat
edaran ini, agar berkas perkaranya dilanjutkan ke Mahkamah Agung.
Catatan Tambahan:
sebagai bahan bacaan Beberapa Putusan yang relevan dengan isu ini antara lain:
- 74 PK/Pid.Sus/2010 (Setia Budi)
- 23 PK/Pid/2012 (Basyrah Lubis)
- 116 PK/Pid/2011 (Lim Habibie)
- 45 PK/Pid/2012 (Rubing, SPd)
- 46 PK/Pid/2012 (S. Parlin Silitonga)
- 39 PK/Pid/2012 (Moch. Chairul Anwar)
- 134 PK/Pid/2011 (Bonaraja Siregar)
- 42 PK/Pid/2012 (Riana Tobing)
- 33 PK/Pid/2012 (Permadi)
- 43 PK/Pid/2012 (Boedi Soesanto)
- 72 PK/Pid/2012 (Chairuddin)
- 122 PK/Pid/2011 (Joni Gidheon Likhi Suwanto)
- 53 PK/Pid/2012
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.