PATUH-Oi

Tuesday, July 2, 2013

Azas "Ratio Decidendi" pengawal dan pengawas Putusan Hakim

Azas "Ratio Decidendi" pengawal dan pengawas Putusan Hakim 
 
Ratio decidendi (Jamak: rationes decidendi) adalah sebuah istilah latin yang sering diterjemahkan secara harfiah sebagai “alasan untuk keputusan itu”, “the reason” atau “the rationale for the decision.” Black’s Law Dictionary menyatakan ratio decidendi sebagai “[t]he point in a case which determines the judgment” atau menurut Barron’s Law Dictionary adalah “the principle which the case establishes.” Kusumadi Pudjosewojo (1976) dalam Pedoman Pelajaran Tata Hukum sendiri mendefinisikan sebagai faktor-faktor yang sejati (material fact, faktor-faktor yang essensiil yang justru mengakibatkan keputusan begitu itu.

Ratio decidendi tidak hanya penting dalam sistem dimana hakim terikat keputusan hakim yang terlebih dahulu (precedent), akan tetapi juga di negara bertradisi civil law system seperti Indonesia. Istilah hukum ini digunakan dalam masyarakat hukum yang merujuk prinsip hukum, moral, politik dan sosial yang digunakan pengadilan sehingga sampai membuat keputusan demikian. Jadi setiap kasus memiliki ratio decidendi, alasan yang menentukan atau inti-inti yang menentukan putusan. Kadang ratio decidendi jelas terlihat, akan tetapi terkadang pula perlu dijelaskan. Biasanya memang dalam praktek, hal-hal yang essensiil ini menjadi kepentingan para pihak dalam perkara untuk membuktikannya atau membantahnya atau menurut penulis sebagai “pusat pertarungan para pengacara untuk dibuktikan”.

Ketika melihat sebuah keputusan pengadilan, ratio decidendi berdiri sebagai dasar hukum atas dasar putusan dijatuhkan. Ratio decidendi secara hukum mengikat pengadilan yang lebih rendah melalui doktrin "stare decisis", tidak seperti obiter dicta, seperti komentar yang dibuat sehubungan dengan kasus yang mungkin relevan atau menarik, tetapi tidak menarik dari keputusan hukum. Ratio decidendi dapat dikatakan mengikat untuk masa depan. Semua pernyataan lain tentang hukum dalam pendapat pengadilan - semua pernyataan yang tidak membentuk bagian dari putusan pengadilan pada isu-isu yang benar-benar memutuskan dalam kasus tertentu (apakah mereka adalah pernyataan yang benar dari hukum atau tidak) – adalah disebut obiter dicta. Menurut pendapat, dissenting opinion juga termasuk obiter dicta. Namun, bisa terjadi dalam perkembangan, yang semula obiter dicta dalam perkara lain atau di kemudian hari menjadi ratio decidendi.

Contoh cukup jelas diberikan oleh Kusumadi Pudjosewojo untuk menggambarkan perbedaan ratio decidendi dan obiter dicta. Ia mengatakan jika suatu perkara mengandung faktor-faktor a, b dan c. Dari faktor-faktor ini yang dianggap essensiil ialah faktor a dan b, sedangkan c hanya penambah saja. Berdasarkan hal tersebut, hakim mengambil putusan x. Maka ratio decidendi dari perkara itu adalah a dan b (beserta x). Jika kemudian terjadi perkara yang mengandung faktor a dan b (dan c) maka bisa dipastikan bahwa keputusannya akan x. Jika terjadi perkara yang mengandung faktor a dan b dan c dan d, sedangkan d adalah essensiil, maka dalam perkara ini keputusannya tidak mungkin x.

Misalkan ada seseorang mengendarai mobil karena kesalahannya sehingga menabrak orang yang naik sepeda motor. Bahwa faktor yang menabrak memakai baju biru, rambutnya keriting, terjadi pada hari Selasa Kliwon dan lain sebagainya adalah bukan faktor yang esaensiil dalam perkara ini. Akan tetapi bahwa pengemudi mobil kemudian menjalankan kendaraannya terlalu kencang, sehingga jauh melebihi maksimum diperkenankan, atau misalkan saja mengendarai mobil dengan kondisi mabuk, maka itulah faktor yang essensiil yang menyebabkan pengendara diputuskan bersalah atau tidaknya atau berat ringannya. Faktor-faktor yang essensiil inilah yang menyebabkan keputusan bersalah tidaknya pengemudi, atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai faktor-faktor yang “yuridis relevant”, sedangkan faktor selainnya dalam perkara ini adalah “yuridis irrelevant”.

Dengan demikian, dapat dikatakan, pertimbangan hukum yang panjang lebar dari putusan tidak semuanya merupakan ratio decidendi dari putusan itu. Namun, membutuhkan ketelitian juga untuk menemukan ratio decidendi-nya sebagai dasar dalam masalah dan fakta yang sama mengambil keputusan yang konsisten di kemudian hari. 

(Sumber : Ratio Decidendi by
Miftakhul Huda, termuat di Majalah Konstitusi No.48-Januari 2011)

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.