KETIKA TRANSAKSI PERDATA JADI PIDANA
Dari
suatu hubungan perdata yang kemudian menjadi perkara pidana
seringkali memang awalnya murni hubungan bisnis yang dilandasai itikad
baik. Namun, ketika bisnis sedang surut dan mulai terjadi default (gagal
bayar), tak sedikit yang lantas memilih melapor ke polisi ketimbang mengajukan
gugatan di pengadilan. Padahal tujuan dari pemidanaan bukan untuk mendapatkan
ganti rugi..
Pada
prinsipnya suatu perjanjian hutang piutang adalah hubungan keperdataan antara
debitur dengan kreditur. Dalam hal pihak yang berhutang kemudian melanggar
janji pengembalian uang, maka hal tersebut merupakan peristiwa ingkar janji
(wanprestasi).
Wanprestasi
ini pada dasarnya dapat terjadi karena 4 hal:
- Melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan berdasarkan perjanjian;
- Terlambat memenuhi kewajiban;
- Melakukan kewajiban (misalnya pembayaran) namun masih kurang atau baru sebagian; atau
- Tidak memenuhi kewajiban sama sekali.
Sedangkan,
penipuan adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 378 KUHP
pada Bab XXV tentang Perbuatan Curang. Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP
adalah sebagai berikut:
“Barangsiapa
dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,
ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang
sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang,
diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Berdasarkan
rumusan pasal tersebut, unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah:
- Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
- Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang;
- Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)
Unsur
poin 3 di atas yaitu mengenai upaya/cara adalah unsur utama untuk
menentukan apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai penipuan. Hal
ini sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990
tanggal 26 Juli 1990 yang menyebutkan:
“Unsur
pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya yang
telah digunakan oleh si pelaku delict untuk menggerakan orang lain agar
menyerahkan sesuatu barang.”
Dalam
kasus yang terkait dengan adanya perjanjian, maka harus diketahui apakah niat
untuk melakukan kejahatan dengan menggunakan suatu nama palsu, tipu daya atau
rangkaian kebohongan, sudah ada sejak awal, sebelum dibuatnya perjanjian (atau
diserahkannya uang tersebut). Apabila terjadi pelanggaran terhadap kewajiban
dalam perjanjian setelah dibuatnya perjanjian itu, maka hal tersebut merupakan
wanprestasi.
Beberapa
contoh kasus Perdata jadi
Pidana
- Pinjaman modal usaha digunakan untuk membeli mobil
Praktik
penyalahgunaan uang yang dipinjam namun tidak sesuai dengan peruntukannya,
dapat juga dituntut dengan tindak pidana penggelapan. Misalnya, jika
kesepakatan awal pinjaman uang untuk modal usaha, namun ternyata digunakan
untuk membeli mobil pribadi, maka si penerima uang yang membeli mobil tersebut
dapat dituntut atas dasar dugaan tindak pidana penggelapan (Pasal 372 KUHP).
2.
Pengurusan Izin Tidak Dilakukan, Uang tidak dikembalikan
Dalam
beberapa kasus, suatu kewajiban dalam perjanjian yang tidak berhasil dipenuhi,
namun uang pembayaran tidak dikembalikan juga dapat menjadi perkara dugaan
tindak pidana penipuan dan/atau penggelapan. Sebagai contoh, apabila ada pihak
yang berjanji akan mengurus suatu izin usaha, namun hingga waktu yang telah
ditetapkan ternyata izin usaha yang dijanjikan tidak kunjung terbit, dan
ternyata uang pembayaran izin tersebut tidak dikembalikan, hal tersebut juga
dapat diajukan tuntutan dugaan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan.
3.
Memberikan Cek kosong, yang sejak awal diketahui tidak ada dananya.
Misalnya
Allen memberikan pinjaman dana kepada Brodi, kemudian Brodi akan melakukan
pengembalian dana berikut bunganya dengan menerbitkan cek dengan tanggal yang
telah disepakati (tanggal mundur) antara Allen dan Brodi. Apabila Brodi
menerbitkan cek yang disadari olehnya bahwa cek tersebut tidak akan pernah ada
dananya, padahal dia telah menjanjikan kepada Allen bahwa cek tersebut ada
dananya, maka perbuatan Brodi dapat dikategorikan sebagai perbuatan penipuan
dengan cara tipu muslihat.
Hal
tersebut tidak akan sampai ke ranah pidana, apabila Brodi tahu cek tersebut
memang ada dananya pada saat diterbitkan. Namun ketika jatuh tempo dananya
tidak ada, maka perbuatan Brodi dapat dikategorikan sebagai wanprestasi.
Dari
uraian kasus-kasus di atas, perkara pidana yang di-kamuflasekan dengan
perjanjian bisnis, selalu berawal dari niat jahat dan itikad tidak baik dari si
pelaku. Hal ini tentu akan berbeda dengan suatu pihak yang menjadi berhutang
karena adanya kegagalan dalam bisnisnya, yang membuatnya tidak mampu
mengembalikan hutang.
Namun
demikian, apabila si pihak berhutang beritikad baik untuk membayar hutangnya
tersebut, maka sangat disarankan untuk membuat kesepakatan penyelesaian
pembayaran hutang dan jangan malah menghindari atau melarikan diri. Karena
itikad tidak baik tersebut, sangat berpotensi menjadi persoalan pidana.
Semoga
bermanfaat.
Dikutip dari : B. Prasetio
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.