By.
Alif sayyidul qadr
Ditinjau dari sisi bentuknya maka akta dapat dibagi
menjadi dua yakni akta autentik dan akta dibawah tangan. Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang
diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan, baik dengan maupun tanpa
bantuan dari yang berkentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat
di dalamnya oleh yang berkepentngan. Akta autentik terutama memuat keterangan seorang pejabat,
yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat di hadapannya.
Pada Pasal 165 HIR menjelaskan pengertian atau definisi
tentang akta autentik yaitu suatu akta
yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu,
merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan
mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan
bakan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka; akan
tetai yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat
hubungannya dengan pokok dari pada akta. Pejabat yang dimaksudkan antara lain
ialah notaris, panitera, jurusita, pegawai pencatat sipil, hakim dan sebagainya.
Untuk melihat
Autentik tidaknya suatu akta
tidaklah cukup jika akta itu dibuat oleh dan di hadapan pejabat saja. Melainkan
prosedur dan tata cara membuat akta autentik
itu haruslah menurut ketentuan yang
ditetapkan oleh undang-undang. Sutau
akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa ada wewenang dan tanpa ada
kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap
sebagai akta autentik, akan tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah
tangan apabila ditandatangani oleh pihak
–pihak yang bersangkutan. Hal ini
juga dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (7) Undang-undang Jabatan Notaris,
menyebutkan bahwa akta notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN. Dengan demikian
apabila suatu akta dibuat oleh atau dihadapan notaris tapi tidak mengikuti
bentuk dan tata cara yang ditetapkan undang undang maka sifat keontetikannya
menjadi hilang atau tidak ada.
Dalam pasal 38 UUJN disebutkan bahwa :
(1) Setiap akta Notaris terdiri atas :
a. Awal akta
atau kepala akta;
b. Badan akta;
dan
c. Akhir atau
penutup akta.
(2) Awal akta atau kepala akta memuat :
a)
Judul akta;
b)
Nomor akta;
c)
Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan
d)
Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
(3) Badan akta memuat :
a)
Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap
dan/atau orang yang mereka wakili;
b)
Keterangan mengenai kedudukan bertindak
penghadap;
c)
Isi akta yang merupakan kehendak dan
keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan
d)
Nama lengkap, tempat tinggal dan tanggal
alhir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap
saksi pengenal.
(4) Akhir atau penutup akta memuat :
a)
Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana
dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf I
atau Pasal 16 ayat (7);
b)
Uraian tentang penandatanganan dan tempat
penandatanganan atau
penerjemahan
akta apabila ada;
c)
Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta;
dan
d)
Uraian tentang tidak adanya perubahan yang
terjadi dalam pembutaan
akta
atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.
Sebagai keterangan dari seorang pejabat,
yaitu apa saja yang dikatakan oleh pejabat itu adalah sebagai yang dilihatnya
dianggap benar terjadi di hadapannya, maka ketentuan pembuktiannya berlaku bagi
setiap orang. Karena akta autentik itu
merupakan risalah dari pejabat, maka hanyalah merupakan bukti dari pada apa
yang terjadi di hadapnnya saja.
Oleh karena dalam hal akta autentik itu pejabat terikat pada syarat-syarat dan
ketentuan dalam undang-undang, sehingga hal itu cukup merupakan jaminan dapat
dipercayakannya pejabat tersebut, maka isi daripada akta autentik itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri.
Jadi dianggaplah bahwa akta autentik itu
dibuat sesuai dengan kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat itu, sampai
dibuktikan sebaliknya.
Menurut beberapa ahli hukum, di antaranya
Wiryono Prodjodikoro (1988 : 108), pengertian akta autentik yaitu :
“Surat yang dibuat dengan maksud dijadikan
bukti oleh atau dimuka seorang pejabat umum yang berkuasa untuk itu”
Selanjutnya akta autentik menurut Soepomo (2002 : 87), adalah :
“surat yang dibuat oleh suatu dimuka seorang
pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat itu, dengan maksud
menjadikan surat tersebut sebagai bukti”
Dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata menyebutkan bahwa :
“Akta autentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang
ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan seorang pegawai umum
yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”
Kata yang dibuat oleh dan dihadapan seorang
pegawai umum sebagaimana tersebut dalam Pasal 1868 BW mengandung makna adanya 2
macam akta autentik yaitu :
a. Ambtelijke acte/procesverbaal acte/relaas
acte
Akta
yang dibuat pejabat, digunakan untuk membuktikan perbuatan perbuatan dan
kenyataan yang terjadi dihadapan notaris pada saat membuat akta dimaksud
sedangkan isinya adalah kesaksian tertulis dari seorang pegawai umum, yang
dalam hal ini notaris mencatat perbuatan serta kenyataan yang disaksikan pada
waktu membuat akta. Notaris membuat laporan atas relaas sehingga apa yang
dibuatnya itu disebut juga sebagai relaas akta.
b. Partij acte
Disebut juga sebagai akta (para) pihak yaitu
(para) pihak menghadap pada seorang pejabat umum dalam ini seorang notaris,
kemudian memberitahukan dan menerangkan kemauan atau kehendak mereka untuk
mengadakan suatu perjanjian (mis : kerjasama, sewa menyewa, jual beli, tukar
menukar, dsb) dan selanjutnya meminta kepada notaris tadi agar supaya tentang
perjanjian tersebut dibuatkan suatu akta maka yang demikian itu adalah suatu
akta yang dibuat dihadapan notaris itu.
Jadi disini notaris hanya mendengarkan kehendak
para pihak yang menghadap itu, kemudian notaris memasukkan atau menyusun
perjanjian yang dibuat para pihak kedalam suatu akta.
Prof Soebekti : Akta adalah suatu tulisan
yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan suatu bukti tentang suatu
peristiwa dan di tanda tangani atau dapat juga dikatakan bahwa suatu akta
adalah surat yang diberi tanda tangan atau ditanda tangani. (Lihat Pasal 1874
BW Pasal 1 Ordonansi Tahun 1867 No 29) dan memuat peristiwa yang menjadi dasar
suatu hak atau perikatan dan dibuat sejak semula dengan sengaja untuk suatu
pembuktian (bewijs). Oleh karenanya maka suatu akta memuat unsure unsure
penting yang harus ada di dalam yaitu berupa unsur kesengajaan untuk
menciptakan suatu bukti tertulis dan unsure penandatanganan tulisan itu.
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan,
yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan., yang dibuat
sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi untuk dapat digolongkan
sebagai akta suatu surat harus ada tanda tangannya seperti yang disyaratkan
dalam Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa suatu akta yang karena
tdak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud, atau karena tidak berkuasa
atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta autentik
namun demikian mempunyai kekuatan
sebagai tulisan di bawah tangan jika ditanda tangani oleh para pihak. Keharusan
adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari
akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain, jadi fungsi tanda tangan
tidak lain adalah untuk member ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta
karena identifikasi dapat dilihat dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta
tersebut. Dalam Pasal 1888 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan
kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta
yang asli itu ada, maka salinan- salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai
dengan aslinya yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya.
Akta mempunyai dua fungsi yaitu fungsi formil
(formalitas causa) dan fungsi alat bukti (probations causa) (Sudikno
Mertokusumo,1993 : 121). Formalitas causa artinya berfungsi untuk lengkapnya
atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan hanya sahnya perbuatan
hukum. Jadi adanya akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan
hukum. Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti,
karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian
dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak
membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat
bukti dikemudian hari.
Akta autentik mempunyai kekuatan bukti formil dan materil.
Formil yaitu bahwa benar para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis dalam
akta itu. Materilnya, bahwa apa yang diterangkan tadi adalah benar.
Kekuatan bukti yang sempurna yang bersifat
akta party itu hanya berlaku antara kedua belah pihak atau ahli warisnya dan
orang mendapat hak dari mereka. Terhadap pihak ketiga, akta autentik berkekuatan hanya sebagai bukti bebas, artinya
penilaiannya diserahkan pada pertimbangan hakim.
Akta autentik merupakan alat bukti yang sempurna,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Akta autentik
memberikan diantara para pihak itu suatu
bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/dinyatakan didalam akta.
Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat
dalam suatu akta autentik merupakan
perpaduan dari beberapa keuatan pembuktian dan persyaratan yang terdapat pada
akta. Ketiadaan salah satu kekuatan pembuktian ataupun persyaratan tersebut
akan mengakibatkan suatu akta autentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang
sempurna (volledig) dan mengikat (bindende) sehingga akta akan kehilangan keautentik
annya.
Dalam suatu akta autentik harus memenuhi kekuatan pembuktian lahir,
formil, dan materil (Sudikno Mertokusumo,1993 : 121). Kekuatan pembuktian lahir
yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir berarti kekuatan pembuktian yang
didasarkan atas keadaan lahir akta itu sendiri, dan sebagai asas berlaku acta
publica probant sese ipsa yang berarti suatu akta yang lainnya tampak sebagai
akta autentik serta memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu berlaku atau dapat dianggap
sebagai akta autentik sampai terbukti
sebaliknya.
Suatu akta notaris dikatakan memiliki
kekuatan pembuktian yang sempurna apabila akta tersebut mempunyai kekuatan
pembuktian lahir, formil dan materil, dan memnuhi syarat otentisitas
sebagaimana dipersyaratkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris sehingga akta
yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan
ketidakbenarannya.
Dalam kaitan dengan jabatan notaris yang
berwenang membuat akta autentik khususnya yang berkaitan dengan peralihan hak
atas tanah seperti yang dinyatakan dalam Pasal 15 Ayat (2) butir f
Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) yang berbunyi:
“kewenangan membuat akta yang berkaitan
dengan pertanahan”.
Tidak jarang terjadi bahwa ada oknum notaris
yang terjebak dalam tindak pidana. Bahwa notaris sebagai salah satu pejabat
negara dapat melakuan tindak pidana penggelapan biaya perolehan hak atas tanah
(BPHTB) dengan tidak menulis nilai transaksi yang sebenarnya dalam akta yang
dibuatnya sehingga terjadi pengurangan pajak yang seharusnya dikenakan,
Dalam hal ini notaris telah melanggar sumpah
jabatannya yang tertuang dalam pasal 16 ayat (1) butir a UUJN, yang berbunyi:
“bertindak jujur, saksama, mandiri, dan tidak
berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum”.
Tindak pidana penggelapan pajak merupakan
tindakan yang sangat bertentangan dengan ketentuan yang mengatur tentang
jabatan notaris, sehingga tindak pidana tersebut dapat dianggap telah melanggar
sumpah jabatan yang pada waktu pelantikan diucapkan oleh semua pejabat notaris.
Penggelapan pajak juga melanggar ketentuan
dalam pasal 266 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa:
“barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan
palsu kedalam suatu akte autentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus
dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain
memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam
jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun;”
Suatu akte notaril mengenai jual-beli sebagai
bukti bahwa para pihak tidak saja memberikan keterangan tertentu kepada
notaris, akan tetapi juga bahwa mereka telah membuat suatu perjanjian, menurut
pasal 1458 KUHPerdata bahwa:
“jual beli dianggap telah terjadi antara
kedua belah pihak, segera setelah orang itu mencapai kesepakatan tentang barang
tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya
belum dibayarkan”
Maka akte notaril harus juga membuktikan
tentang harganya, jadi juga tentang kebenaran yang telah
diberikan. Keterangan mengenai harga
transaksi yang tidak sesuai sehingga terjadi penggelapan pajak merupakan tindak
pidana Karena dapat menimbulkan kerugian menurut pasal 266 ayat (1) KUHP,
Kerugian yang dimaksud dalam pasal ini tidak perlu timbul tapi cukup dengan
kemungkinannya saja.
Tanggung jawab dan Ketelitian para pejabat
umum yang membuat akta autentik tersebut
dituntut sangat besar dalam membuat suatu akta. Notaris bukan saja bertanggung
jawab terhadap dirinya sendiri, bahkan mereka bertanggung jawab kepada Pihak
lain yang dirugikan. Akan tetapi dalam kaitannya dengan notaris tanggung jawab
Notaris dapat terbatas apabila akta tersebut adalah akta Para pihak (akta
Partij). Akta yang dibuat dihadapan Notaris isinya merupakan keinginan para pihak.
Notaris dalam hal ini hanya membuat akta yang diinginkan oleh para pihak.
Keinginan para pihak yang membuat perjanjian dituangkan oleh Notaris.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.