Siri
na pessé (Bugis) adalah sebuah konsep yang sangat menentukan dalam identitas
orang Bugis dan masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya. Konsep siri’ mengacu
pada perasaan malu dan harga diri sedangkan pessé mengacu pada suatu kesadaran
dan perasaan empati terhadap penderitaan yang dirasakan oleh setiap anggota
masyarakat.
1. Pendahuluan
Bangsa
Bugis dan masyarakat Sulawesi Selatan umumnya dikenal sebagai penganut
adat-istiadat yang kuat. Meskipun telah berkali-kali menemui tantangan berat
yang ada kalanya hampir menggoyahkan kedudukannya dalam kehidupan dan pikiran
mereka, namun pada akhirnya adat-istiadat tersebut tetap hidup dan bahkan
kedudukannya makin kukuh dalam masyarakat hingga kini
Keseluruhan
sistem dan norma serta aturan-aturan adat tersebut dikenal dengan pangngadereng
yang meliputi lima unsur pokok, yaitu ade’, bicara, rapang, wari, dan sara’.
Unsur yang disebutkan terakhir ini berasal dari ajaran Islam, yaitu hukum
syariah Islam. Kelima unsur pokok tersebut terjalin antara satu dengan yang
lain sebagai satu kesatuan organik dalam alam pikiran bangsa Bugis, yang
memberi dasar sentimen dan rasa harga diri yang semuanya terkandung dalam
konsep siri’. Hal ini tercakup dalam sebuah ungkapan dikalangan Bugis yang
mengatakan “utettong ri ade’é najagainnami siri-ku”, artinya, saya taat kepada
adat demi terjaganya atau terpeliharanya harga diri saya.
Ungkapan
di atas memiliki makna yang sangat dalam dikalangan Bugis. Dengan melaksanakan
pangngadereng, berarti seorang Bugis sedang berusaha mencapai martabat hidup
yang disebut dengan siri’. Menurut Mattulada (1985:108), siri’ inilah yang
mendorong orang Bugis sangat patuh terhadap pangngadereng karena siri pada
sebagian besar unsurnya dibangun oleh perasaan halus, emosi, dan sebagainya.
Dari sinilah timbul berbagai penafsiran atas makna siri’ seperti malu-malu,
malu, hina atau aib, iri hati, dan harga diri atau kehormatan.
Siri’
dalam pengertian orang Bugis adalah menyangkut segala sesuatu yang paling peka dalam
diri mereka, seperti martabat atau harga diri, reputasi, dan kehormatan, yang
semuanya harus dipelihara dan ditegakkan dalam kehidupan nyata. Siri’ bukan
hanya berarti rasa malu seperti yang umumnya terdapat dalam kehidupan sosial
masyarakat suku lain. Istilah malu di sini menyangkut unsur yang hakiki dalam
diri manusia Bugis yang telah dipelihara sejak mereka mengenal apa sesungguhnya
arti hidup ini dan apa arti harga diri bagi seorang manusia (Abdullah,
1985:40-41). Begitu pentingnya siri’ dalam kehidupan orang Bugis sehingga
mereka beranggapan bahwa tujuan manusia hidup di dunia ini adalah hanya untuk
menegakkan dan menjaga siri’.
Pada
hakikatnya budaya siri adalah produk kecerdasan lokal untuk membangun kembali
tatanan sosial orang Bugis di masa lalu yang kacau balau. Secara historis,
kondisi tersebut digambarkan dalam kronik-kronik Bugis dengan pernyataan bahwa
kehidupan manusia pada masa itu bagaikan kehidupan ikan di laut, yang besar
memangsa yang kecil atau disebut dengan sianrè balè tauwè.
Bangsa
Bugis juga mempunyai sebuah konsep lain yang disebut Pessé, yaitu semacam
perangsang untuk meningkatkan perasaan setia kawan yang di kalangan mereka.
Pessé adalah suatu perasaan ikut menanggung dan berbelas kasihan terhadap
penderitaan setiap anggota kelompoknya, termasuk orang yang telah dibuat malu.
Oleh karena itu, konsep pessé ini akan menjadi suatu sarana untuk memulihkan
harga diri orang yang telah dibuat malu.
Konsep
siri’ dan pessé hingga kini terus memberi pengaruh terhadap seluruh sendi-sendi
kehidupan orang Bugis. Situasi siri’ akan muncul ketika seseorang ri pakasiri’
atau dibuat malu karena kedudukan sosialnya dalam masyarakat atau rasa harga
diri dan kehormatannya dicemarkan oleh pihak lain secara terbuka. Jika hal ini
terjadi, maka orang yang ri pakasiri’ dituntut oleh adat untuk mengambil
tindakan untuk menebus atau memulihkan harga dirinya di matanya sendiri maupun
di mata masyarakat, yaitu dengan cara menyingkirkan penyebab malu tersebut.
Orang
yang ri pakasiri (dibuat malu) tetapi tidak mampu melakukan pemulihan terhadap
harga dirinya yang tercemar akan dipandang hina dan dikucilkan oleh masyarakat.
Jika hal ini terjadi, maka bagi orang itu pembuangan dianggap lebih baik
daripada dikucilkan di tengah-tengah masyarakat. Faktor inilah yang menjadi
salah satu penyebab banyaknya orang Bugis pergi merantau atau meninggalkan
kampung halamannya karena tidak sanggup menanggung rasa malu di mata
masyarakatnya. Berbagai pendapat, bahwa perkawinan adalah realitas sosial yang
paling banyak bersinggungan dengan masalah siri ini. Jika pinangan seseorang
ditolak, maka pihak peminang bisa merasa mate siri (kehilangan kehormatan)
sehingga terpaksa menempuh siliriang (kawin lari). Tindakan ini merupakan
perbuatan melanggar adat sehingga seluruh pihak keluarga laki-laki gadis itu
merasa berkewajiban untuk membunuh pelaku demi menegakkan siri’ keluarga.
Orang
yang ri pikasiri’ dapat melakukan jallo (amuk), yaitu membunuh siapa saja,
bahkan orang yang tidak terlibat dalam masalah itu pun dapat menjadi sasaran
amukannya. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa hal yang cukup ekstrem. Namun,
sejak terintegrasikannya agama Islam ke dalam sistem pangngadereng bangsa
Bugis, penebusan-penebusan siri berupa pembalasan dan penganiayaan tanpa
pertimbangan kemanusiaan mulai berubah. Dengan kata lain, penebusan siri yang
sering dianggap orang melampui batas tersebut menjadi lebih terarah
penerapannya sejak kedatangan agama Islam. Islam mengajarkan kepada pemeluknya
agar menjauhkan diri dari kejahatan dan perbuatan maksiat seperti membunuh.
Namun, jika terjadi kasus yang menyebabkan harga diri seseorang diinjak-injak,
maka kasus tersebut diserahkan kepada pihak yang berwewenang, seperti lembaga
adat atau pihak kepolisian.
2. Konsep Siri’
Siri
adalah suatu hal yang abstrak dan berada di alam pikiran manusia Bugis.
Pengertiannya hanya dapat diketahui melalui pengamatan dan observasi dengan
melihat akibat konkret yang ditimbulkannya, yaitu berupa tindakan-tindakan.
Oleh sebab itu terkandung pengertian-pengertian tertentu yang meliputi berbagai
aspek kehidupan dan kebudayaan masyarakat dalam kata siri’ ini. Para peneliti
terdahulu telah mengkaji mengenai pengertian siri secara leksikal maupun
pengertiannya secara luas menurut sudut pandang mereka masing-masing.
Batasan pengertian kata siri’ sebagai berikut:
1. Siri’ berarti malu, isin (Jawa), atau shame (Inggris).
2. Siri’ merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan, mengusir dan sebagainya terhadap apa atau siapa saja yang dapat menyinggung perasaan atau harga diri seseorang.
3. Siri’ juga merupakan daya pendorong yang dapat ditujukan ke arah pembangkitan tenaga untuk membanting tulang dan bekerja mati-matian demi suatu pekerjaan atau usaha.
4.
siri merupakan pembalasan yang berupa kewajiban moril untuk membunuh pihak yang
melanggar adat.
5.
siri’ sebagai perasaan malu yang dapat menimbulkan sanksi dari keluarga yang
dilanggar norma adatnya .
Selain
pendapat para peneliti, berbagai ungkapan dalam bahasa Bugis yang terwujud
dalam kesusasteraan, paseng (nasehat), dan amanat-amanat dari leluhur dapat
dijadikan petunjuk untuk memahami tentang pengertian siri’.Seperti ungkapan
berikut:
a.
Siriemmi ri onroang di lino, artinya hanya untuk siri-lah kita hidup di dunia
ini. Pengertian siri’ dalam ungkapan ini merupakan hal yang memberikan
identitas sosial dan martabat kepada seseorang. Hidup seseorang dianggap
berarti jika pada dirinya terdapat martabat atau harga diri.
Dalam
kehidupan bangsa Bugis, siri merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka.
Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di
muka bumi ini selain daripada siri’. Bagi manusia Bugis, siri’ adalah jiwa
mereka, harga diri mereka, dan martabat mereka. Oleh sebab itu, untuk
menegakkan dan membela siri yang tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka
manusia Bugis akan bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling
berharga demi tegaknya siri dalam kehidupan mereka.”
b.
Mate ri sirina, artinya mati dalam siri atau mati karena mempertahankan harga
diri. Mati dalam keadaan demikian dianggap mati terpuji atau terhormat. Dalam
bahasa Bugis ada juga ungkapan mate rigollai, mate risantangi, yaitu menjalani
kematian yang bergula dan bersantan, atau dengan kata lain menjalani kematian yang
manis.
c.
Mate siri, artinya orang yang sudah hilang harga dirinya tak lebih dari bangkai
hidup. Agar tidak dianggap sebagai bangkai hidup, maka orang Bugis merasa
dituntut untuk melakukan penegakan siri walaupun nyawanya sendiri terancam.
Menurut mereka, lebih baik mati ri risi-na daripada mate siri, artinya lebih
baik mati karena mempertahankan harga diri daripada hidup tanpa harga diri.
Pengertian–pengertian
siri di atas memperlihatkan bahwa keberadaan konsep siri dalam kehidupan bangsa
Bugis dapat juga menjadi pemutus tali kekeluargaan dan persaudaraan di antara
mereka. Namun, dalam realitas sosial, keadaan demikian tidak terjadi karena
dapat dinetralisir oleh keberadaan sebuah konsep yang disebut dengan pessé.
Secara leksikal, pessé berarti pedis atau perih, sedangkan pessé dalam
pengertian luas mengindikasikan perasaan haru (empati) yang mendalam terhadap
tetangga, kerabat, atau sesama anggota kelompok sosial.
Pessé
melambangkan solidaritas bukan hanya pada seseorang yang telah dipermalukan tetapi
juga siapa saja dalam kelompok sosial yang sedang dalam keadaan serba
kekurangan, berduka, mengalami musibah, atau menderita sakit keras. Jadi, rasa
saling pessé antaranggota sebuah kelompok adalah kekuatan pemersatu yang
penting. Oleh sebab itu, ada pepatah orang Bugis yang mengatakan “iya
sempugi’ku, rekkua de-na sirina, engka messa pesséna”, artinya “kalaupun
saudaraku sesama Bugis tidak lagi menaruh siri’ atasku, paling tidak dia pasti
menyisakan pessé”. Dengan demikian, antara siri’ dan pessé harus tetap ada
keseimbangan agar bisa saling menetralisir keadaan-keadaan ekstrem yang dapat
menjadi pemecah-belah persatuan dan kesatuan komunitas bangsa Bugis.
Peristiwa
siri yang muncul dalam diri orang Bugis sebenarnya berasal dari aspek
pangngadereng itu sendiri. Oleh karena itu, pemulihan siri tersebut dapat
ditempuh melalui nilai-nilai pangngadereng juga. seperti ungkapan berikut:
1.
Ada empat hal yang memperbaiki kekeluargaan (pergaulan hidup): (a) kasih sayang
dalam keluarga, (b) saling memaafkan yang kekal, (c) tak segan saling memberi
pertolongan/pengorbanan demi keluhuran, (d) saling mengingatkan untuk berbuat
kebajikan.
2.
Bukankah dengan demikian berarti ade’ ada buat kasih sayang, bicara ada buat
saling memaafkan, rapang ada buat saling memberi pengorbanan demi keluhuran,
dan adanya wari buat mengingati perbuatan kebajikan?”
Tujuan
hidup menurut pangngadereng adalah melaksanakan tuntutan fitrah manusia guna
mencapai martabatnya, yaitu siri. Bila pangngadereng beserta aspek-aspeknya
tidak ada lagi, akan terhapuslah fitrah manusia, hilanglah siri, dan hidup
tidak ada artinya bagi orang Bugis. Oleh karena itulah orang Bugis sangat patuh
terhadap pangngadereng demi siri atau harga diri. Orang yang memiliki rasa siri
yang tinggi berarti orang yang mempunyai sifat yang mulia dan tinggi nilai atau
martabatnya di tengah-tengah masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut, maka
perilaku setiap individu harus didasarkan pada sifat “acca na lempu, warani na
getteng, mappasanre ri Puang SeuwaE,” artinya pandai mempertimbangkan dan
jujur, berani dan teguh pendirian, berserah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ungkapan ini menunjukkan bahwa esensi siri’ hanya mungkin diperoleh seseorang
yang pandai dan jujur, berani dan teguh, serta bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Dengan
demikian, konsep siri’ yang sampai sekarang diyakini secara konsisten oleh
orang Bugis mempengaruhi tatanan kehidupan bagi masyarakat pendukungnya.
Pengaruh-pengaruh tersebut di antaranya ketaatan kepada pangngadereng,
penegakan harga diri atau martabat, identitas sosial, tradisi merantau dan
motivasi kerja, dan kontrol sosial,yaitu
a.
Ketaatan kepada pangngadereng. Konsep siri merupakan tuntutan budaya terhadap
setiap individu untuk mempertahankan kesucian pangngadereng sehingga keamanan,
ketertiban, dan kesejahtaraan masyarakat tetap terjamin. Pangngadereng adalah
sistem norma dan aturan-aturan adat serta tata tertib yang berfungsi sebagai
kontrol sosial, baik bersifat preventif maupun represif, dalam mengatur seluruh
tingkah laku manusia. Sebagai langkah preventif, dalam sistem ini diajarkan
bagaimana manusia mengenal perbuatan yang baik dan buruk. Dengan demikian,
seseorang yang akan berbuat sudah mengetahui akibat-akibat dari perbuatannya.
Jika terjadi sebuah pelangggaran terhadap tata tertib masyarakat, maka sistem
ini akan memberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya kepada siapa pun
pelakunya, termasuk penguasa.
Pangngadereng
menunjung tinggi persamaan dan kebjiksanaan namun menolak segala bentuk
kesewenang-wenangan, pemerkosaan, penindasan, dan kekerasan. Sistem
pangngadereng mengandung esensi yang sangat bernilai bagi pendukungnya, yaitu
menjunjung tinggi martabat manusia. Oleh karena itulah setiap individu dituntut
untuk menjunjung tinggi dan menaati adat tata kelakuan atau sistem
pangngadereng yang berlaku. Dengan melaksanakan pangngadereng, berarti
seseorang telah berusaha mencapai martabat hidup yang disebut dengan siri.
b.
Penegakan harga diri dan martabat. Siri pada diri manusia Bugis dapat muncul
dari berbagai realitas sosial dan kehidupan sehari-hari. Jika seseorang telah
dibuat tersinggung oleh kata-kata atau tindakan orang lain yang dianggapnya
tidak sopan, maka seluruh anggota keluarganya akan ikut merasa tersinggung dan melakukan
pembalasan terhadap orang itu demi menegakkan harga diri keluarga. Salah satu
realitas sosial yang paling banyak bersinggungan dengan masalah siri adalah
perkawinan. Jika seseorang telah ri pakasiri’ atau dibuat malu karena anak
gadisnya ilariang atau dibawa lari oleh seorang pemuda, maka seluruh pihak
keluarga laki-laki gadis itu merasa berkewajiban untuk membunuh pelaku demi
menegakkan siri’ keluarga.
c.
Identitas sosial. Siri adalah unsur yang sangat prinsipil dalam diri orang
Bugis. Hidup seseorang dianggap berarti jika pada dirinya terdapat martabat
atau harga diri. Menurut mereka, tak ada satu nilai pun yang berharga untuk
dibela dan wajib dipertahankan selain daripada siri’ karena hanya untuk
siri’-lah kita hidup di bumi ini (siri’ emmi ri onroang ri lino). Ungkapan ini
menjadi identitas sosial yang dianut secara bersama-sama oleh golongan-golongan
tertentu dalam masyarakat Sulawesi Selatan.
d.
Tradisi merantau dan motivasi kerja keras. Keberadaan konsep siri dapat menjadi
motif penggerak banyak orang Bugis pergi merantau. Seseorang yang tidak mampu
melakukan pembelaan untuk menegakkan harga dirinya, maka ia akan dicap oleh
masyarakat sebagai tau de’ gaga siri-na (pengecut, tidak terhormat, atau tidak
memiliki harga diri). Oleh karena itu, tidak ada jalan lain yang harus ditempuh
kecuali meninggalkan kampung halamannya. Perantau yang berasal dari kelompok
ini umumnya merupakan perantau abadi, artinya ia dan keluarganya tidak ingin
kembali ke negeri asalnya.
Ada
pula orang yang merantau terkait dengan masalah siri¸ yaitu para pemuda yang
dibuat malu karena pinangannya ditolak akibat ketidamampuannya memenuhi mahar
yang diminta oleh pihak keluarga perempuan. Dengan merantau, mereka akan
berusaha bangkit untuk mengembalikan harga dirinya di perantauan, walau
bagaimanapun keadaan yang dihadapinya. Mereka tidak akan mengeluh, memohon
bantuan dan meratapi nasibnya sebagai perantau yang kalah dan cengeng dalam
menghadapi berbagai tantangan berat. Mereka akan berusaha mencapai keberhasilan
agar dapat memiliki kemampuan materi dan kemudian kembali ke negeri asalnya
untuk menunjukkan bahwa mereka adalah pemuda yang bertanggung jawab.
e.
Kontrol sosial. Dalam realitas kehidupan orang Bugis, pengertian siri tidak
melulu bersifat menentang dalam artian melakukan penebusan-penebusan demi
tegaknya harga diri seseorang, tetapi siri’ juga dapat dimaknai sebagai
perasaan halus dan suci. Seseorang yang tidak mendengarkan nasehat orang tua,
suka mencuri dan merampok, tidak melaksanakan shalat, atau tidak tahu sopan
santun juga dianggap sebagai orang yang kurang siri’-nya. Jadi, siri’ dapat
menjadi sebuah kontrol sosial bagi setiap individu maupun masyarakat dalam
melakukan aktivitas sehari-hari sehingga pelanggaran-pelanggaran adat, hukum,
maupun tata kesopanan dapat terjaga dengan baik.
Sehingga
dapat disimpulkan, bahwa Siri yang dianut oleh orang Bugis dan masyarakat
Sulawesi Selatan pada umumnya adalah sebuah konsep yang bertujuan untuk
membangun ketertiban, keharmonisan, dan keamanan kehidupan sosial sehingga
harga diri dan martabat manusia menjadi bernilai. Hingga sekarang, konsep ini
masih tetap dipegang teguh oleh masyarakat Bugis sebagai pedoman dalam
berperilaku sehari-hari. Hanya saja, nilai-nilai yang terkandung di dalam
konsep siri sudah mulai luntur. Nilai-nilai siri yang semestinya didasarkan
pada “acca na lempu, warani na getteng, mappasanre ri Puang SeuwaE” sudah
banyak diabaikan oleh sebagian orang sehingga muncul berbagai multitafsir
tentang mereka. Oleh karena itu, hendaknya pengertian siri tidak hanya dimaknai
secara sempit sehingga dalam prakteknya tidak menyimpang dari makna yang
sesungguhnya. Dengan demikian, tatanan kehidupan manusia di muka bumi ini
menjadi tertib, harmonis, dan aman.
Daftar Pustaka
Cristian
Pelras. 2006. Manusia Bugis. (Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa
Indonesia oleh Abdul Rahman Abu, et.al.). Jakarta: Forum Jakarta-Faris École
français d’Extrême-Orient.
Edward L. Poelinggomang. 2009. “Bushido’ dan Siri’ mengandung sikap patriot”
Hamid Abdullah. 1985. Manusia Bugis Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press.
Leonard
Y. Andaya. 1983. “Pandangan Arung Palakka tentang desa dan perang Makassar
1666-1669”, Dari Raja Ali Haji hingga Hamka: Indonesia dan masa lalunya, (Ed.)
Anthony Reid dan David Marr. Jakarta: Grafiti Pers.
Mattulada.
1985. Latao: Satu lukisan analitis terhadap antropologi politik orang Bugis.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sumber
: De bugis-teluk bone
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.