PATUH-Oi

Thursday, January 19, 2017

Alat Bukti Menurut KUHAP

Alat Bukti Menurut KUHAP


            Didalam KUHAP telah diatur tentang alat-alat bukti yang sah yang dapat diajukan didepan sidang peradilan. Pembuktian alat-alat bukti diluar KUHAP dianggap tidak mempunyai nilai dan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat.            Adapun alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang telah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikuta. Keterangan Saksi;b. Keterangan ahli;c. Surat;d. Petunjuk;e. Keterangan terdakwa.
            Berikut penulis akan memberikan penjelasan mengenai alat bukti antara lain sebagai berikut:
a.    Keterangan Saksi           
Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebut dalam pasal 184 KUHAP. Pada umunya tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.          Menurut M. Yahya Harahap (2002:286) bahwa: “Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemerikasaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya, disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.”
            Pengertian saksi dapat kita lihat pada KUHAP yaitu saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tenyang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.           
Dalam Pasal 185 KUHAP, berbunyi:
(1)  Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di depan saksi pengadilan
(2)  Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
(3)  Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila tidak disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4)  Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5)  Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
(6)  Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan :
a.   Penesuaiaan antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b.   Persesuaiaan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c.   Alasan yang mengkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d.   Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu tang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya;
(7)  Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

            Pada umumnya semua orang dapat menjadi seorang saksi, namun demikian ada pengecualian khusus yang menjadikan mereka tidak dapat bersaksi. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yang berbunyi:Kecuali ditentukan lain dalam undang-undangini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a.   Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah samapi derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b.   Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunya hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa samapi derajat ketiga;
c.   Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

            Selanjutnya dalam pasal 171 KUHAP juga menambahkan pengecualian untuk memberikan kesaksiaan dibawah sumpah, yakni berbunyi :
a.  Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
b.   Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.

            Dalam sudut penjelasan pasal tersebut diatas, Andi Hamzah (2002:258-259), mengatakan bahwa: “Anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, dalam ilmu jiwa disebut psycophaat, mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka itu tidak perlu diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu, keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja”.

Orang yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya dapat dibebaskan dari kewajibannya untuk memberi kesaksian, pada pasal 170 KUHAP berbunyi sebagai berikut:
(1)  Mereka yang pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi.
(2)  Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa keterangan saksi yang dinyatakan dimuka sidang mengenai apa yang ia lihat, ia rasakan, ia alami adalah keterangan sebagai alat bukti (pasal 185 ayat (1)),   bagaimana terhadap keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga?     
Misalnya, pihak ketiga menceritakan suatu hal kepada saksi bahwa telah terjadi pembunuhan. Kesaksian demikian adalah disebut testimonium de auditu.           
Sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu  tidak diperkenankan sebagai alat bukti. Selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yang mencari kebenaran material, dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dimana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya, maka kesaksian de auditu atau hearsay evidence patut tidak dipakai di Indonesia pula.   Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh hakim. Walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan hakim bersumber pada dua alat bukti yang lain. Andi Hamzah (1983:242).
           
Dalam hal lain juga dalam KUHAP tentang prinsip minimum pembuktian. Hal ini terdapat dalam pasal 183 yang berbunyi  :“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

            Dalam pasal 185 ayat (2) juga menyebutkan sebagai berikut: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya”.           
Menurut D. Sions (dalam Andi Hamzah, 1983:247) : “Suatu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan suatu kejadian tersendiri”.           
M. Yahya Harahap (1985 : 810) megungkapkan bahwa bertitik tolak dari ketentuan pasal 185 ayat (2), keterangan seorang saksi saja belum dianggap sebagai suatu alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa (unus testis nullus testis). Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum yang terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.            Namun apabila disuatu pesidangan seorang terdakwa mangaku kesalahan yang didakwakan kepadanya, dalam hal ini seorang saksi saja sudah dapat membuktikan kesalahan terdakwa. Karena selain keterangan seorang saksi tadi, juga telah dicukupi dengan alat bukti keterangan terdakwa.  Akhirnya telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian yakni keterangan saksi dan keterangan terdakwa.

b.   Keterangan Ahli

Keterangan ahli juga merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP. Mengenai pengertian dari keterangan saksi dilihat dalam pasal 184 KUHAP yang menerangkan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan. Pasal tersebut tidak mnjelaskan siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli.   Andi Hamzah, (2002 : 268) menerangkan bahwa:Yang dimaksud dengan keahlian ialah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang. Pengertian ilmu pengetahuan diperluas pengertianya oleh HIR yang meliputi Kriminalistik, sehingga van Bemmelen mengatakan bahwa ilmu tulisan, ilmu senjata, ilmu pengetahuan tentang sidik jari dan sebagainya termasuk dalam pengertian ilmu pengetahuan.

Pengertian keterangan ahli sebagai alat bukti menurut M. Yahya Harahap (2002 : 297-302) hanya bisa didapat dengan melakukan pencarian dan menghubungkan dari beberapa ketentuan yang terpencar dalam pasal KUHAP, mulai dari Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal 179 dengan jalan merangkai pasal-pasal tersebut maka akan memperjelas pengertian ahli sebagai alat bukti :
1.        Pasal 1 angka 28Pasal ini memberi pengertian apa yang dimaksud dengan keterangan ahli, yaitu keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperluakan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Dari pengertian yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 28, M. Yahya Harahap (2002 : 298) membuat pengertian:a.   Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki “keahlian khusus” tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara pidana yang diperiksa.b.   Maksud keterangan Khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang diperiksa “menjadi terang” demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan.
2.   Pasal 120 ayat (1) KUHAPDalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.Dalam pasal ini kembali ditegaskan yang dimaksud dengan keterangan ahli ialah orang yang memiliki keahlian khusus yang akan memberi keterangan menurut pengetahuannya dengan sebaik-baiknya.
3.   Pasal 133 (1) KUHAPDalam hal penyidikan untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.4.   Pasal 179 KUHAP menyatakan:
(1)  Setiap orang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberi keterangan ahli demi keadilan.
(2)  Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Pasal 179 memberi penegasan tentang adanya dua kelompok ahli yang terdapat pada pasal-pasal sebelumnya (Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133 ayat (1). Seperti yang dituliskan M. Yahya Harahap (2002:300), ada dua kelompok ahli:
1.   Ahli kedokteran kehakiman yang memiliki keahlian khusus dalam kedokteran kehakiman sehubungan dengan pemeriksaan korban penganiayaan, keracunan, atau pembunuhan.
2.    Ahli pada umumnya, yakni orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu.

Sebenarnya apabila kita hubungkan Pasal 133 dan Pasal 186 KUHAP, maka dapat dilihat bahwa ternyata keterangan saksi tidak hanya diberikan di depan persidangan tetapi juga diberikan dalam rangka pemeriksaan penyidikan.

 Menurut M. Yahya Harahap (1985:819) bahwa dari ketentuan Pasal 133 dihubungkan dengan Pasal 186 KUHAP, jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat melalui prosedur sebagai berikut:Diminta penyidik pada taraf pemeriksaan penyidik.

Pada saat penyidik demi untuk kepentingan peradilan, penyidik minta keterangan ahli. Permintaan itu dilakukan penyidik secara tertulis dengan menyebutkan secara tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli itu dilakukan. Atas permintan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat “laporan”. Laporan itu bisa berupa surat keterangan yang lazim juga disebut juga dengan nama visum et repertum. Laporan atau visum et repertum tadi dibuat oleh ahli yang bersangkutan “mengingat sumpah” diwaktu ahli menerima jabatan atau pekerjaan. Dengan tata cara dan bentuk laporan ahli yang seperti itu, keterangan dalam laporan atau visum et repertum sudah mempunyai sifat dan nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.Keterangan ahli yang diminta dan diberikan di siding

Permintaan keterangan seorang ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan diperlukan apabila pada waktu pemeriksaan penyidikan belum ada diminta keterangan ahli. Akan tetapi bisa juga terjadi, sekalipun penyidik atau penuntut umum waktu pemeriksaan penyidikan telah meminta keterangan ahli, jika hakim ketua sidang atau terdakwa maupun penasehat hukum menghendaki dan menganggap perlu didengar keterangan ahli di sidang pengadilan, meminta kepada ahli yang mereka tunjuk memberi keterangan di sidang pengadilan. Dalam tata cara dan bentuk keterangan ahli di sidang pengadilan, tidak dapat melaksanakan hanya berdasarkan pada sumpah atau janji di sidang pengadilan sebelum ia memberi keterangan. Dengan dipenuhi tata cara dan bentuk keterangan yang demikian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli tersebut menjadi alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dan sekaligus keterangan ahli yang seperti ini mempunyai nilai kekuatan pembuktian.              

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa ternyata keterangan ahli dalam bentuk laporan menyentuh sekaligus dua sisi alat bukti yang sah. Di satu sisi, keterangan ahli yang terbentuk laporan atau visum et repertum tetap dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli, akan tetapi pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan juga menyentuh alat bukti saksi.
Apakah hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum memberikan nama pada alat bukti tersebut tidak menimbulkan akibat dalam penilaian kekuatan pembukti?               M. Yahya Harahap (1985:828), menegaskan bahwa keleluasaan hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum dalam memberikan nama pada alat bukti seperti yang telah disebutkan diatas, sama sekali tidak menimbulkan akibat dalam penilaian kekuatan pembuktian.
Kedua jenis alat bukti itu, baik alat bukti keterangan ahli maupun alat bukti surat, sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang serupa. Kedua alat bukti tersebut sama-samamempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, dan tidak mengikat. Hakim bebas untuk membenarkan atau menolaknya.

b.    Surat           

Pengertian surat menurut Asser-Anema (Andi Hamzah, 2002:71)surat-surat adalah sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.            Menurut I. Rubini dan Chaidir Ali (Taufiqul Hulam, 2002:63) bukti surat adalah suatu benda (bisa berupa kertas, kaya, daun lontar dan sejenisnya) yang memuat tanda-tanda baca yang dapat dimengerti dan menyatakan isi pikiran (diwujudkan dalam suatu surat).           
Dalam KUHAP seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat bukti surat hanya diatur dalam satu pasal yaitu Pasal 187, yang berbunyi surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
1.   Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabatat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
2.   Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksanan yang menjadi tanggungjawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
3.   Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
4.   Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

d.   Petunjuk 
          
Dalam KUHAP, alat bukti petunjuk dapat dilihat dalam Pasal 188, yang berbunyi sebagai berikut:
1.   Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiaan, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi sesuatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2.   Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a.   Ketrangan saksi;
b.   Surat;
c.   Keterangan terdakwa.
3.   Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim denga arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksian berdasarkan hati nuraninya.           
Dari bunyi pasal diatas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah merupakan alat bukti yang tidak langsung, karena hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti yang lainnya dan memilih yang ada persesuaiaannya satu sama lain.

e.   Keterangan Terdakwa    
        
Mengenai keterangan terdakwa diatur dalam KUHAP pada Pasal 189 yang berbunyi sebagai berikut:
(1)  Keterangan terdakwa ialah apa yang terdkwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
(2)  Keteranga terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3)  Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4)  Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.           
Menurut Andi Hamzah, (2002:273) bahwa KUHAP jelas dan sengaja mencantumkan “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir c. KUHAP juga tidak menjelaskan apa perbedaan antara keterangan terdakwa sebagai alat bukti dan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti.            Keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau terbentur pengakuan.   Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar, apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan ataupun pengakuan sebagaian dari perbuatan atau keadaan.
Bottom of Form